Tuesday, February 26, 2019

TERLALU CINTA (5)



          "Lu perlu gue anter sampe Jogja?" Bastian mengangkut barang-barang bawaan Gweni ke dalam mobil travel. "Ngga usah, gue udah dapet gebetan nih. Nanti sampe Jogja gue mau ketemuan sama dia" Gweni menunjukkan kegirangannya karena akan mendapatkan teman baru di Jogja. "Serius? Kayak apa? Hati-hati lu ketemu orang baru. Jangan mau di apa-apain ya" Bastian khawatir. "Hahahhahaa gilaaa lu udah kayak nyokap gue aja nasehatnya. Gue ngga bakal nakal separah itu laah" Gweni terbahak-bahak. Bastian hanya tersenyum kecut.
          Jogja saat senja sangat indah. Gweni merasakan kehangatan kota yang akan ia tinggali. Berbekal alamat dari Om Randy akhirnya Gweni sampai juga di kos-kosan tempatnya melepas penat. "Dek Gweni nanti jangan sungkan sama bibi, kalau ada apa-apa bilang aja sama bibi ya" wanita separuh baya membantu Gweni merapikan kamar barunya. Wanita itu bernama Bibi Darmi, beliau yang bertugas menjaga kos-kosan. Pemilik kos-kosan kebetulan tempat tinggalnya jauh. Mereka hanya sesekali menengok kos-kosan, selebihnya di serahkan pada Bibi Darmi. "Iya, Bi. Oiya yang kos di sini berapa orang ya?" Gweni mencari informasi. "Ada 10 orang, perempuan semua, Dek. Ibu Melly memang mengkhususkan tempat ini untuk perempuan. Takut ada yang maksiat katanya, hihi" tawa Bi Darmi. Gweni menanggapi dengan senyum simpul.
          "Gimana Jogja?" chat dari Bastian. "Baru sampe, enak. Kayaknya sih gue betah" jawab Gweni. "Udah ketemu gebetan lu?" Bastian tanpa basa-basi. "Beloooom. Gue baru sampe, udah ah mau tidur." Gweni segera merebahkan badannya ke kasur. 

Monday, February 25, 2019

TERLALU CINTA (4)


          "Gwen, kata Om Rendy awal bulan Konveksinya sudah mulai aktif. Kamu kapan mau pindahan?" Papanya Gweni memberi kabar yang membuat Gweni sedih, ia harus segera meninggalkan kota tercintanya. "Mungkin minggu depan, Pa" Gweni menjawab sebisanya. "Om Rendy sudah sediakan kos-kosan untuk kamu, jadi kamu tinggal datang" Papanya Gweni menambahkan. Gweni hanya mengangguk, pikirannya entah berada dimana. "Kamu cepat sekali besarnya, Nak. Mama pasti kangen kamu nanti" Mama merangkul Gweni yang masih dengan pikiran kosong. Gweni membalas pelukkan Mama.
          "Jogja?" Bastian hampir menyemburkan kopinya. "Biasa ajaa dong.." Gweni menatap tajam Bastian. "Lu netap disana? Terus yang nemenin gue ngopi siapa dong?" Bastian tampak kecewa. "Cari temen sih, atau cari pacar sekalian biar nyokap lu seneng" Gweni malah menggoda. "Ribet cuy punya cewek, males gue" Bastian berbohong. "Homo dasar" Gweni melempar tisu kearah Bastian. Mereka tertawa.
          "Gue bakal kangen sama lu, Gwen" mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Gweni. "Bisa aja lu, nanti kita video call deh" jawab Gweni. "Gwen, sebenernya gue mau ngomong sesuatu" Bastian mencoba untuk berbicara. "Hah? Eh ngomong apaan sih? Gue buru-buru nih mau packing buat jalan besok. Lu doain perjalanan gue lancar yaa" Gweni menghindar. Ia tahu apa yang akan di bicarakan Bastian. Gweni tidak mau Bastian sampai mengucapkannya. Gweni hanya ingin mereka bahagia seperti ini saja, tanpa ada ikatan apa-apa. "Iya gue doain, semoga lu baik-baik ya" Bastian tersenyum. Hatinya rapuh. Bastian melihat Gweni yang menghindar. Ia bertanya-tanya tentang apa yang ada di dalam pikiran Gweni. 

Friday, February 15, 2019

TERLALU CINTA (3)


          "Gimana wisuda lu kemaren?" Bastian membuka obrolan saat kopi mereka sudah di sajikan. "Ya seneng gue, ternyata orang tua tuh segitu senengnya ya kalo liat anaknya wisuda. Gue jadi ngerasa berguna udah hidup, haha" Gweni mengenang acara wisuda yang haru bersama keluarganya. "Maaf yaa gue ngga dateng, pas banget sih sama sidang skripsi gue" Bastian memohon maaf. "Traktir pizza dulu baru gue maafin, haha" Gweni menuntut. Bastian hanya tersenyum kecut.
          "Gwen, mantan lu kemaren dateng?" Bastian bertanya dengan takut-takut. Bola mata Gweni membesar. "Hmm lu liat instastory gue ya? Stalkerrrr" Gweni malah meledek. Bastian terdiam. "Gue juga ngga nyangka dia dateng. Bawa bunga juga. Keadaan bahagia kayak gitu, kedatangan dia sebenernya kayak ngerusak suasana. Untungnya dia ngga banyak omong dan ngga lama-lama. Semoga niatnya emang baik" Gweni mencoba menjelaskan.
          "Sohib lu?" Bastian penasaran dengan sahabatnya Gweni yang berkhianat. "Ngga ada. Gue juga ngga nanya ke Rio, takutnya kalo gue nanya dikiranya gue belum move on lagi" Gweni menghembuskan nafas panjang. "Emang lu udah move on? Haha jomblo aja belagu luu" Bastian mencoba mengubah suasana. "Yee jomblo juga gue punya banyak sosmed buat kenalan ama cowok-cowok kece, haha" Gweni menyombongkan diri. Memang sejak tragedi pengkhianatan itu Gweni mulai banyak mencari gebetan, tapi selalu saja hilang di tengah jalan. Mungkin karena Gweni hanya main-main atau sebenarnya hatinya sudah ada yang mengisi, namun ia enggan untuk mengakui. "Gween.. Gween.. Lu masih aja nyari cowok dari sosmed, mendingan gue nih udah jelas kece" Bastian menyombongkan diri. Gweni terkejut namun segera ia tutupi dengan mencibir Bastian. "Preeet bgt lu, Bas!"

Thursday, February 14, 2019

TERLALU CINTA (2)



          Semenjak malam itu Gweni dan Bastian menjadi dekat. Mereka sering ngopi bareng. Beli buku bareng. Sampai akhirnya Gweni berani bercerita tentang pengalaman pahitnya dikhianati kekasih dan sahabatnya sendiri. "Gue bukan benci sama mereka, Bas. Justru gue benci sama diri gue sendiri. Pasti gue buruk banget sampai mereka bisa ngelakuin itu ke gue" Gweni bercerita dengan tatapan kosong. "Kok gitu? Mereka yang buruk lah. Selingkuh, bohong dan berkhianat. Lu itu korban, jangan salahin diri lu sendiri" Bastian tidak setuju dengan Gweni. "Tetep aja, walau mungkin 1% gue juga salah" Gweni tetap pada pendiriannya. Bastian hanya pasrah. "Gwen, mau ke rumah ngga? Kebetulan nyokap lagi bikin tester kue buat di jual bulan puasa nanti. Biasanya gue sampe gumoh makanin kue bikinan nyokap, haha" Bastian mengajak Gwen ke rumahnya. "Serius? Boleh lah, ayok!" tanpa ragu Gweni menerima tawaran Bastian.
          "Assalamualaikum.." Bastian mengucap salam sambil membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Gweni mengekor di belakangnya. "Waalaikumsalam, sudah pulang Tian?" suara Ibunya Bastian dari dapur. "Iya, Bu. Kenalin nih temen aku, Gweni" Bastian mengenalkan Gweni pada Ibunya. "Wah cantik sekali kamu, Nak. Teman kuliahnya Tian ya?" wajah Ibu Bastian berseri-seri. Gweni tersipu malu. "Bukan tante, aku temen ngopi aja" jawab Gweni. "Haduh panggil Ibu aja jangan tante, biar sama kayak Tian" Ibunya Bastian merangkul Gweni menuju sofa. Bastian menyiapkan minuman dan kue buatan Ibunya.
          "Kuenya enak banget, Bu. Gweni suka banget" Gweni tidak menyangka kue buatan Ibunya Bastian sangat enak. "Wah alhamdulillah kalo suka, doain nanti dagangan Ibu laku ya" Ibunya Bastian tersenyum senang. Bastian merasakan ada yang aneh di dalam dadanya. Melihat Ibunya dan Gweni akrab seperti ini membuat hatinya bergejolak. Sebenarnya sejak awal bertemu Gweni ia sudah melihat ada yang lain dari Gweni. Namun dengan pemandangan di depan matanya kali ini membuat hatinya semakin tidak dapat dikendalikan. "Tian?" Ibunya Bastian memanggil untuk yang ketiga kalinya. "Eh iya, Bu. Kenapa?" buyar semua lamunan Bastian. "Kamu ini ada temen main kok malah bengong, Ibu mau mandi nanti sore ada pengajian. Kamu temani Gweni ya, jangan bengong!" Ibunya Bastian berlalu. Gweni tertawa kecil. "Ketawa lagi lu" Bastian merengut. "Lagian lu ngapain bengong siang-siang kayak gini?" Gweni jadi penasaran dengan apa yang dipikirkan Bastian. "Kepo lu" Bastian masih merengut. Gweni malah semakin tertawa melihat ekspresi Bastian.

Monday, February 11, 2019

TERLALU CINTA (1)




          Sabtu malam minggu kali ini adalah hari terburuk untuk Gweni. Ia baru saja melihat pacarnya selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Saat ini ia bukan hanya benci pada Rio (pacarnya) dan Mulan (sahabatnya) tapi dia juga benci pada dirinya sendiri. Hari ini dia random hadir ke reunian SMP Diani (tetangganya).
          "Gwen, nanti lu kenalan sama temen-temen gue aja ya, jangan canggung" Diani membuyarkan lamunan Gweni. Gweni membalas dengan senyum dan anggukan. Motor Diani sampai parkiran berpapasan dengan Bastian teman sekelasnya dulu. "Bas, kenalin nih temen gue" Diani mengenalkan Gweni. Mereka berdua berjabat tangan sambil menyebutkan namanya masing-masing. Mereka masuk kedalam ruang reuni, suasana bising sekali karena acara sudah dimulai. Gweni terpisah dengan Diani. "Mau gue temenin?" suara Bastian mengejutkan Gweni yang masih linglung. "Eh iya boleh, makasih" jawab Gweni singkat. "Lu kenapa ikutan Diani reuni? Lu kan bukan alumni" Bastian membuka obrolan. "Hmm lagi ngga tau mau kemana jadi ikutan aja, hehe" Gweni menjawab sebisanya. Mereka ngobrol lumayan banyak, Bastian sabar menemani Gweni yang terlihat kosong.
          "Gwen, gue kayaknya nginep di rumah temen nih. Mau ada nonton bareng drama korea gitu" Diani menghampiri Gwen yang duduk bersama Bastian sambil menikmati alunan musik. "Oh iya ngga apa, gue bisa balik naik ojek online kok" Gweni tersenyum. "Sorry banget yaa" Diani tampak tidak enak namun Gweni tidak terlalu ambil pusing. "Gweni rumahnya sebelahan sama Diani? Bareng gue aja baliknya" Bastian menawarkan tumpangan. Gweni yang masih kosong mengiyakan saja tawaran teman barunya itu.
          "Kita mau langsung balik atau mau mampir dulu?" Bastian membuyarkan lamunan Gweni. "Gue ikut aja" jawab Gweni singkat. Bastian bingung harus bagaimana, namun dia ingat satu kedai kopi kesayangannya sedang ada live musik malam ini. Insting Bastian mengarahkan motornya menuju kedai kopi kesayangannya. "Ngopi dulu ngga apa ya? Ada band kece live sekarang nih" Bastian mencoba ekspresif agar Gweni meninggalkan kekosongan hidupnya. "Eh, band apaan?" Gweni baru tersadar kalau dia sudah di dalam kedai kopi. "Band indie tapi udah terkenal juga, vokalisnya suami istri loh" Bastian masih berusaha ekspresif.
         "Bagus banget.. Gue baru nonton mereka sekarang tapi langsung sukaaa" Gweni menunjukkan mata berbinar. Bastian tidak kalah haru, ternyata usahanya berhasil. "Nanti gue kirimin deh lagu-lagu mereka. Keren kan? Selera gue sih bagus. Haha" Bastian merasa menang. Gweni malam itu hidup lagi, ia sudah bisa menatap dengan utuh bukan lagi tatapan kosong. "Eh udah tengah malem nih, lu diomelin ga balik jam segini?" Bastian baru ingat bahwa ia membawa perawan. "Santai sih, tadi gue udah pamit kok bakal balik malem" Gweni menenangkan. Bastian menghela nafas panjang.
         "Bas, makasi ya buat malam ini. Maaf kalo gue dari awal ketemu udah ngerepotin lu banget" ucap Gweni saat sampai depan rumahnya. Gweni menyadari hari ini ia sangat merepotkan Bastian. "Haha santai, malah gue jadi ada temen tadi. Biasanya gue ke kedai itu sendirian, tapi asik aja kalo lagi ada live gitu" Bastian masih merasa haru dengan keadaan Gweni yang jauh lebih baik dari awal bertemu. "Boleh kapan-kapan kalo ada live lagi ajak gue" Gweni menawarkan diri. Bastian tersenyum. 

Thursday, February 7, 2019

Kisah Bella (END)

.
.
Aku tahu. Tapi aku pura-pura tidak tahu. Aku berharap kamu baik-baik saja. Walau tampak jelas kau tak baik-baik saja. Harus bagaimanakah? Segalanya sudah terlanjur. Kita tak mungkin membuat bubur menjadi nasi lagi kan? Entah ini salah aku, atau salah kamu. Pastinya kita berdua menyesal akan hal ini. Sesal ini abadi. Biarlah. Jangan menangis ya. Kita berpura-pura baik saja.
Sampai jumpa lagi, Beno. Kamu memilih melanjutkan pendidikanmu jauh di negara orang. Aku tidak apa-apa. Pendidikan itu sangat baik untuk kamu. Masa depanmu ada di tanganmu sendiri. Biarlah, sekarang waktunya aku yang menunggu. Menunggu kamu kembali. Entah kembali untuk membersamaiku. Entah kembali untuk kebahagiaanmu yang lain. Aku tidak apa-apa.
Sampai jumpa lagi, Beno. Nanti kita akan tahu, seberapa memerlukan kita satu sama lain.
Sampai jumpa lagi, Beno. Maaf aku harus jujur, jujur bahwa aku rindu
.
.
-END-

Kisah Bella (28)

.
.
Aku dan kamu memang saling, tapi tidak memiliki.
Aku dan kamu memang dekat, tapi selalu terasa jauh.
Aku dan kamu memang ingin, tapi tidak bisa.
Apakah kita akan terus begini?
Aku yang selalu menerka-nerka, kamu sedang apa?
Kamu sedang dimana?
Seringnya aku membuka semua sosial media, hanya untuk memastikan ada kamu di sana.
Seringnya juga aku mendapati kamu tidak sedang online.
Lalu aku berasumsi, sedang sibuk apakah?
Harimu sangat menyenangkan?
Aku hanya mampu melihat status kamu yang sudah 18 jam yang lalu.
Berkali-kali aku lihat.
Berharap, ketika dilihat kemudian ada statusmu yang baru.
Namun semua harapku berakhir dikehampaan.
Hari berganti dan selalu aku mengintaimu.
Menunggumu berkeluh kesah di sosial mediamu.
Menunggumu menuliskan kebahagiaan.
Menunggumu memposting apapun.
Menunggumu.
Menunggumu.
Menunggumu.
Aku sampai lupa akan apa kesibukanku.
Segalanya berubah menjadi kamu.
Apakah kamu tahu?
Apakah kamu mau?
Bagaimana cara agar aku bisa mendapatkan jawabannya?
.
.
-Beno kepada Bella-

Kisah Bella (27)

.
.
"Undangan nikah? Sher, lu mau nikah ama siapa? Gila lu!" aku terkejut bukan main. Sheryl memberikan aku undangan pernikahan atas nama dirinya. "Nikah sama Robi lah" Sheryl hanya tersenyum simpul. "Terus Jody? Lah lu pacaran aja selingkuh ini mau nikah gimana sih?" aku masih tidak habis pikir dengan keputusan Sheryl.
"Jody kan cuma selingan. Ngga serius. Lagian Bell, kita sebagai cewek kalo nikah ya sama cowok yang sayang sama kita. Lu bayangin ya, gue datang bulan aja sakitnya kayak apa. Gue ngga kebayang nanti gue hamil, gue ngelahirin, gue gendut, ngga cantik lagi. Siapa yang mau bertahan kalo bukan cowok yang emang dari awal udah sayang dengan tulus sama kita?" kali pertama Sheryl berkata bijak dan aku setuju. "Lu yakin mau nikah sama Robi?" tanyaku masih ragu. "Yakin. Haha. Lu kelewat cerita gue sedikit sih, jadi pas gue selingkuh sama Jody ternyata dia juga udah punya pacar. Sompret ngga tuh cowok? Ya jadi gue pikir, biar bagaimanapun kekurangan Robi tapi sayangnya dia ke gue tuh tulus banget. Beda jauh sama si Jody sompreeet. Sampe gue ngerasa, rasa sayang Robi ke gue tuh udah cukup untuk kita berdua" Sheryl tampak serius. Kali ini aku percaya. Menikah bukan hal yang main-main. Sheryl punya pertimbangan besar untuk keputusan ini. Bahagia sekali rasanya mendengar sahabatku akan menikah.
.
.
"Dateng sama brondong lu yaa" Sheryl meledek. Astaga masa iya aku datang ke acara pernikahan sahabatku bersama Beno?

Kisah Bella (26)

.
.
"Harap tenang, Budi dan ibunya sedang mengambil jenazah kucing di jalan. Mereka menguburkan kucing tersebut dengan layak. Bagaimana jika kucing itu dibiarkan di jalanan? Kucing itu pasti sedih saat tiba di Bumi lagi."
"Baca apaan sih, Dek?"
"Hehe karangan anak les private aku"
"Lucu banget ngomongin kucing"
"Namanya juga bocah. Eh Kak, tau ngga sih? Beno tuh beneran naksir sama kakak"
"Ya kaliii"
"Beneran kak, dia tuh paling anti loh sama cewek. Aku juga heran pas kemaren di kampus dia nanya-nanyain kakak terus"
"Kamu suka ama Beno?"
"Ihhh nggak lah kak, aku udah ada inceran dong. Haha. Lagian Beno tuh dijulukin Homo, temen-temen aku banyak yang suka ama dia tapi dia cuek-cuek aja"
"Lebay ah"
.
.
"Assalamualaikum" terdengar suara lelaki di depan rumah. "Waalaikumsalam, eh Beno. Sinta baru aja keluar, ada acara sama temen-temennya katanya" jawabku takjub melihat lelaki yang baru di perbincangkan semalam kini berada di depan rumah. Sejak hari itu, Beno sering datang ke Rumah. Datang tanpa tujuan yang jelas. Kadang hanya bermain bersama Kanu. Kadang hanya menemani papa bermain catur. Kadang dengan senang hati bergosip dengan mama tentang selebritis yang sedang naik daun. Sinta semakin yakin bahwa Beno serius padaku, tapi masa iya? Usia kita terpaut 7 tahun.

Kisah Bella (25)

.
.
"Assalamualaikum" Sinta baru saja pulang kuliah. Sinta sudah jadi mahasiswa tingkat akhir, setiap hari sibuk mengejar dosen pembimbing. "Waalaikumsalam, ajak masuk temen kamu" jawabku yang sedang bermain bersama Kanu di teras. "Kak, kenalin nih Beno temen perjuangan ngejar Bu Dahlia" Sinta memperkenalkan temannya. Cowok itu memiliki rambut ikal, badannya tegap dan wajahnya sedikit mirip Adipati Dolken.
"Gimana skripsinya, Dek?"
"Tadi udah ketemu Bu Dahlia sih kak, untung Beno jago ngebut. Haha" Sinta tampak senang hari ini, pasti skripsinya sudah ada kemajuan.
"Jangan ngebut-ngebut, bahaya loh jalanan sekarang" nasehatku. Beno hanya senyum-senyum. .
.
"Woy, ngeliatin kakak gue biasa aja kali. Naksir lu?" Sinta menyikut Beno. "Bingung aja gue, kakak lu cantik ngga kayak adeknya" Beno malah meledek. Habis sudah Beno dipukuli dengan berbagai jenis mainan Kanu. Maklum pejuang skripsi. Gampang sensi.


Kisah Bella (24)

. .
Namaku Bella, tapi kamu sering mengganti namaku dengan panggilan sayang yang membuat hati berbunga.
Tanggal lahirku 19 April, tapi hampir setiap bulan kamu memberikan aku kejutan.
Makanan kesukaanku roti bakar, tapi belakangan makan ayam bakar menjadi menyenangkan.
Minuman kesukaanku teh tarik, tapi akhirnya aku mengakui bahwa kopi jauh lebih nikmat.
Alamat rumahku di jalan pertengahan, tapi setiap mengantarku pulang kamu pasti membawaku ke kedai kopi dulu.
Cita-cita aku ingin menjadi dokter, tapi kamu mendoktrin aku bahwa jadi dokter itu tidak asyiq.
Film favoriteku drama, tapi belakangan aku lebih banyak nonton film action.
Aku suka musik pop, tapi setiap hari aku didendangkan musik rock yang akhirnya bisa aku dendangkan juga.
Aku senang tersenyum, tapi akhirnya kamu buat aku menangis.
.
.
Kamu mengubahku terlalu banyak.
Sampai aku tak tahu bagaimana hidup dengan layak.
Kamu mengubahku terlalu banyak.
Akhirnya aku tersudut dengan hati yang koyak.
Jadi, siapa aku sekarang?
Aku anak kecil yang rindu kebahagiaan.

Kisah Bella (23)

.
.
"Pulang sekolah mampir tempat biasa yuk" Randy duduk di sampingku yang sedang asik mengunyah siomay. "Aku pulang disuruh temenin Papa ke toko buku nih" jawabku. Ini jawabanku yang membuat Randy kecewa untuk yang kesekian kali. Randy tampak menarik napas. Aku tahu dia kecewa.
.
.
"Pa, kita mau cari buku apa?" tanyaku sambil berjalan di samping Papa. "Buat kerjaan Papa, kamu emang mau kemana sih?" Papa sepertinya tahu kalau aku gelisah. "Nggak kok, Pa" jawabku berbohong. Setelah satu setengah jam akhirnya Papa dapat buku yang di cari. Aku ijin tidak ikut Papa pulang, aku bilang ingin kerumah teman. Papa mengijinkan dan aku segera ke tempat favorit aku dan Randy. .
.
"Randy?" aku tidak menyangka dengan apa yang aku lihat di depan mataku. Randy bersama Kim. Hanya berdua. Kim menggenggam erat tangan Randy sambil tersenyum lebar. Aku segera berlari kencang. Berusaha dengan lari yang kencang akan menghapus apa yang baru saja aku lihat.

Kisah Bella (22)

.
.
Bumi, aku boleh titip salam?
Salam rindu dari hati yang paling dalam.
Seminggu sudah hati aku di bawa pergi olehnya.
Dia yang sekarang jauh di negara sakura.
Apa kabar kamu, Randy?
Sepertinya liburan kamu sangat menyenangkan.
Aku cukup melihat postinganmu disana.
Kamu terlihat lebih tampan kalau jauh begini :')
Bumi, bolehkah aku meminta sesuatu?
Kalau boleh, aku ingin meminta ia bisa sebahagia itu ketika di sini.
Aku ingin tetap menjadi alasan dia untuk tersenyum.
Bumi, tolong jaga dia disana. Jaga dia sampai kembali lagi kesini.
Bumi, rindukah dia padaku?
.
.
-Bella

Kisah Bella (21)

.
.
"Bell, nanti pulang bareng?" Randy menghampiri aku saat jam istirahat. Kelas 2 kami harus terpisah kelas karena aku masuk kelas IPA sedangkan Randy IPS. "Kayaknya kamu pulang duluan deh, aku ada tugas Kimia banyak banget" keluhku sambil mencatat ringkasan rumus Fisika yang Bu Lala tulis di papan tulis. "Aku tungguin aja gimana?" Randy memberikan tawaran. "Bella, nanti kita ngerjain Kimia dirumah Cindy aja yuk" belum sempat aku menjawab Randy, Irma sudah lebih dulu menjawab. Randy tampak kecewa namun ia tetap tersenyum. Sejak kelas 2 hubungan aku dengan Randy sedikit berjarak. Aku terlalu sibuk dengan tugas. .
.
"Bell, lu kenal Kim nggak?" Irma memulai percakapan saat kami sudah selesai mengerjakan tugas Kimia. "Kim? Kayaknya tau, kenapa?" aku mencoba mengingat-ingat. Kim anak IPS sekelas dengan Randy. "Gue denger katanya Kim tuh naksir berat sama Randy. Katanya naksir dari SMP loh" Irma menurunkan volume suaranya takut terdengar oleh Cindy yang tidak suka gosip. "Masa sih? Randy nggak pernah cerita" jawabku jujur. Irma hanya mengangkat bahunya.


Kisah Bella (20)

.
.
Seminggu full Randy mengantar aku pulang sekolah dengan motor biru kesayangannya. Teman sekelas sudah heboh kalau aku memiliki hubungan dengan Randy, padahal aku belum jawab apa-apa. Hari ini di tempat yang sama dengan seminggu yang lalu, Randy meminta jawaban. .
.
"Jadi, kamu mau kan?" senyum Randy sungguh menyejukkan. Entah bagaimana dia bisa menciptakan senyum sesejuk itu. Aku masih terdiam, mencoba berpikir jernih. "Bella?" ia memiringkan wajahnya agar terlihat oleh aku yang sibuk mencari jawaban di meja kita. "Eh? Hmm gimana ya?" aku malah balik bertanya. Randy terdiam. Ia meneguk minumannya yang sudah setengah jam di diamkan. "Ya udah, yuk aku anter pulang" ia berdiri kemudian memakai jaketnya. Saat itu juga aku melihat wajah Randy yang redup. Senyum yang menyejukkan seolah hilang. Aku adalah orang pertama yang menyesal akan hal itu.
.
.
"Aku mau" jawabku tegas tapi tak berani melihat wajahnya. Randy duduk lagi di kursinya. Aku melihat senyumnya yang sejuk itu hadir lagi. Dari sini semua berawal. Dari sini aku akan memulai. Dari tempat ini aku akhirnya memiliki senyum tersejuk dalam hidupku.  Ya Tuhan, ternyata aku benar-benar jatuh cinta pada ketua kelas yang satu ini.

Kisah Bella (19)

.
.
"Serius lu traktir gue disini?"
"Santai aja sih, lu kan pahlawan gue, hehe"
"Sumpah lu lebay banget, apa enaknya jadi ketua kelas deh?"
"Ya namanya juga obsesi. Btw, lu udah punya pacar?"
"Hah? Belum, kenapa?"
"Mau nggak jadi pacar gue?"
"Hah? Gila kali lu"
"Serius. Lu udah berjasa banget dihidup gue. Mau, ya?"
"Eh? Nggak gitu juga kali. Kita baru ketemu satu hari, masa mau jadian? Ckckck"
"Oke kalo gitu, gue kasih waktu satu minggu ya. Nanti kita ketemu disini lagi aja. Gue berharap lu jawab iya"
.
.
Tidak bisa dipungkiri, Randy memiliki senyum yang menyejukkan. Namun, apakah mungkin aku bisa jatuh cinta secepat ini?

Kisah Bella (18)

.
.
Hari pertama masuk SMU rasanya sama seperti kenaikan kelas saat SMP. Banyak wajah yang sudah aku kenal, hanya beberapa anak baru. Satu anak baru terlihat menonjol sekali hari ini. Namanya Randy. Dia tampak sibuk ingin berkenalan dengan semua anak yang di kelas. "Hei, kenalin gue Randy" sapanya ramah di depan mejaku. .
.
"Lu baru masuk yayasan ini ya? Heboh banget sih kenalan ke semua orang?" aku menyelidik. "Hehe lu orang lama ya? Bantuin gue dong" dia berbisik. "Bantuin apa?" aku makin penasaran. "Nanti pas pemilihan ketua kelas, suruh temen-temen pilih gue yak. Pliiisss" ia memohon. "Haah? Segitu pentingnya jadi ketua kelas?" aku terheran-heran. "Iya, bagi gue penting. Dari kelas 2 SMP gue pengen jadi ketua kelas tapi ngga jadi-jadi" ia memasang muka melas. "Oke deh, tapi kalo lu beneran kepilih, gue dapet apa nih?" aku merasa perlu mendapat imbalan. "Gampang, nanti gue traktir" jawabnya sambil berlalu. .
.
Bukan hal yang sulit menghipnotis semua teman sekelas untuk memilih Randy. Hampir semua yang ada di kelas ini aku kenal. Sedikit saja kampanye yang aku galakkan, nama Randy dengan cepat mendapat perolehan vote terbanyak.

Kisah Bella (17)

.
.
"Mba Karin, kok bisa setia banget sih sama Mas Danu?"
"Mas Danu kali yang setia sama Mba Karin, hehe"
"Dari SMP sampe nikah ngga pernah bosen Mba sama Mas Danu?"
"Hah? Dari SMP? haha. Dulu SMP awalnya cuma dijodoh-jodohin ama temen. Eh jadian beneran, tapi Mba Karin sama Mas Danu pacaran cuma 6 bulan."
"Masa? Terus?"
"Ya udah, kita jalan masing-masing. Sampe akhirnya pas Mba Karin lagi sibuk ngerjain skripsi, Mas Danu dateng lagi"
"Hoo gitu, terus?"
"Terus? Ya pacaran 2 tahun abis itu nikah."
"Hoo cepet juga berarti ya, aku fikir kalian jadian dari SMP."
"Haha nggaklah."
"Aku pengen deh kayak Mba Karin. Diperjuangin."
"Kalo kata anak sekarang, 'HARAP TENANG, INI UJIAN' hehe.. Bella yang sabar ya, Mba Karin yakin kalau jodoh Bella orang baik." .
.
Mengaminkan doa Mba Karin seperti menelan pil pahit. Aku takut, masa lalu yang kelam datang lagi.

Kisah Bella (16)

.
.
"Mba Karin?" aku terkejut saat pintu kamarku dibuka. Mba Karin membawakanku susu hangat dan roti isi coklat keju kesukaanku. "Sarapan dulu" Mba Karin tersenyum. Sudah pukul 11 siang dan aku memang belum makan apapun. Aku meminum susu hangat sambil terus mengamati wajah Mba Karin. "Kanu mana, Mba?" tanyaku sambil menikmati roti favoritku. "Jajan Pizza sama ayahnya" jawab Mba Karin masih dengan senyumnya.
.
.
"Mba Karin ngga marah sama aku?" tanyaku refleks.
"Marah? Buat apa? Mba Karin kan sayang sama Bella, Mas Danu apalagi" Mba Karin merapikan rambutku yang sudah sangat amat berantakan.
"Aku takut, Mba. Aku bikin malu keluarga" aku terisak. Perasaan bersalah terus saja menghantui. Mba Karin memelukku erat. Pelukkannya menghangatkanku di tengah hati yang rasanya beku. .
.
"Bella tahu, nggak? Mas Danu itu teramat sayang sama Bella. Mas Danu cuma takut Bella kenapa-kenapa. Itu aja." Masih dalam pelukkan Mba Karin, aku berjanji untuk melupakan Daffa. Aku berjanji akan menuruti semua nasehat Mas Danu.

Kisah Bella (15)

.
.
"Baru pulang, Bell?" Mas Danu sedang duduk di teras saat motor Daffa berhenti. "Eh iya mas" jawabku takut. Deru jantungku tak dapat di kontrol. Aku seperti sedang lari maraton. "Kenalin Mas, Daffa" lelaki tinggi putih itu sudah turun dari motor dan menyalami Mas Danu. "DAFFA? GUE GA SALAH DENGER?" Mas Danu berteriak sampai kupingku terasa panas. Astaga, apa yang akan terjadi? .
.
"Mas, Daffa cuma anter aku pulang aja kok. Kebetulan aja" jawabku bohong. Aku takut. Tanganku dingin. Wajahku sudah pucat. "Lu denger ya, jangan sekali-sekali lu temuin adek gue lagi! Pulang lu sekarang!" Mas Danu membentak Daffa. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Belum pernah aku melihat Mas Danu semarah ini. Hati aku hancur berkeping-keping. Daffa menyalakan motornya dan segera pergi. Wajahnya sedih namun pasrah. Kami berdua tahu, hal ini pasti terjadi. Cepat ataupun lambat.
.
.
"Gue ngga pernah ngajarin lu buat jadi cewek murah, Dek. Sekarang lu masuk kamar!" suara Mas Danu pelan namun tegas. Jelas terdengar bahwa ia sangat kecewa. Aku setengah berlari menuju kamar. Dunia saat itu terasa hancur. Sangat hancur.

Kisah Bella (14)

.
.
Lelaki tinggi putih itu sudah menungguku sejak pukul 4 sore. Kerjaanku sedang banyak-banyaknya, alhasil dia harus menunggu selama satu jam hanya untuk bisa mengantar aku pulang. Sudah beberapa hari ini aku dijemput olehnya. Ya, aku bermain api.
.
.
"Capek banget? Mau mampir makan dulu?" ia bertanya sembari memasangkan helm di kepalaku. "Boleh" jawabku singkat dan segera naik ke motornya. Kami mampir di kedai roti bakar dekat sekolah kita dulu. Ia banyak bercerita hari ini. Ia bercerita tentang perpindahannya dulu ke Kalimantan. Ia bercerita tentang ibunya yang sakit jantung. Bercerita juga tentang ayahnya yang memaksanya menikah. "Aku minta maaf. Aku ngga punya daya untuk melawan ayah" ia menggenggam jariku. Aku terkejut. Ini kali pertama ia menggenggam jariku. Aku hanya bisa tersenyum. Aku tidak tahu harus merespon dengan apa lagi.
.
.
"Cuacanya dingin banget, Bell. Kamu pake jaket aku ya" ia melepaskan jaketnya dan dipasangkan ke badanku. Aku menurut. Sepanjang jalan aku masih diam, aku merasa rindu pada sosok yang ada di hadapanku saat ini. Perasaan yang sangat aneh, ia ada di hadapanku tapi aku merasakan rindu. "Kalo masih dingin, kamu boleh peluk aku kok" ia memalingkan wajahnya sejenak agar aku bisa dengar ucapannya. "Itu pun kalo kamu mau" tambahnya. Aku hanya berpikir 5 detik kemudian memeluk tubuhnya. Beberapa hari yang lalu kami masih jaga jarak. Beberapa hari yang lalu kami masih tahu diri. Untuk hari ini, segala akal sehat kita lumpuh. Kita tidak peduli apapun, kita hanya peduli dengan waktu yang semakin berkurang.

Kisah Bella (13)

.
.
"Lu dianter siapa?"
"Jody"
"Udah putus lu sama Robi?"
"Belum, hehe. Lebih tepatnya dia ngga mau gue putusin. Biarin lah gue selingkuh dulu"
"Gila lu"
"Biarin aja lah, lagi haus gue. Haha"
.
.
Sheryl ternyata lebih memilih bermain api. Hati kecil aku tidak setuju tapi melihat sahabatku lebih ceria daripada biasanya membuatku sedikit luluh. Ternyata 'nakal' dia kali ini sudah membuat hidupnya lebih ceria. .
.
"Btw, gimana reuni lu kemaren?"
"Ya, akhirnya gue ketemu Daffa. Tapi, dia udah nikah"
"Wah gila tuh si Daffa"
"Kok gila?"
"Ya masa dia nikah ngga ngajak lu, Bell. Ngga ngajak gue juga, kan kita juga mau nikah"
"Tau ah, lu yang gila"
"Hehe"
.
.
Sheryl memang sahabat yang beda. Dia anti memberi kata "sabar". Dia lebih senang membuat sahabatnya tertawa dengan lelucon "receh" dia daripada memberi nasehat yang memang bukan keahlian dia. Aku beruntung punya sahabat seperti Sheryl. 😊

Kisah Bella (12)

.
.
"Woy ngelamun apaan lu, Dek?" Mas Danu mengejutkanku yang sedang asik bernostalgia dengan masa-masa SMP. Aku hanya tersenyum kecut. "Oh gue tau nih, lu ketemu mantan yaa di reunian kemareen? Haha" ledekan Mas Danu sama nyebelinnya sama Sinta. Aku tetap diam dan malas meladeni Mas Danu. "Cerita kek, diem aja lu" badan mas Danu mendorong tempat dudukku sampai miring. "Iya iya isshhh nyebelin banget sih lu, Mas! Sebenernya bukan ketemu mantan sih, yaa semacem memori lama yang keulang aja, hehe" jawabku jujur. "Nah pas dah tuh! Lu kan jomblo, ajak aja sini kerumah. Ntar gue yang labrak dah suruh nikahin lu" mata Mas Danu berbinar. Dia sepertinya sudah khawatir dengan status jomblo adiknya ini. "Ngga bisa Mas, dia udah nikah" aku menunduk.
.
.
"Dek, lu jangan main api ya. Jauhin deh tuh si Daffa. Dia kan emang indah di ingatan lu masa SMP,  ya udah biarkan begitu aja. Jangan lu bawa memori itu ke masa sekarang, ibarat makanan, Daffa itu udah kadaluarsa" Mas Danu memberikan nasehat setelah mendengar ceritaku tentang Daffa. Aku mengangguk.

Kisah Bella (11)

.
.
"Yeay good bye SMP,  selamat datang SMU" teriak Tomi ketua kelasku. Hari ini perpisahan sekolah kami. Semua orang sedang bersuka cita. "Yaelah Tom, lu SMU di Kharisma lagi kan? Haha pake segala good bye lu" sahut Moury bendahara kelas yang super cerewet. Tomi hanya tersenyum kecut. Aku, Tomi, Moury dan banyak anak lain yang masih melanjutkan SMU di yayasan yang sama. Seperti SMP, SMU Kharisma juga terkenal sebagai sekolah favorite dan unggulan. Aku mencari sosok laki-laki tinggi putih itu. Aku ingin minta maaf. Aku ingin meluruskan semua yang ia salah tanggap.
.
.
"Daffa" panggilku saat sosok tinggi putih itu ada di hadapanku. "Eh iya, kenapa?" suaranya kaku. Aku tidak suka perasaan ini. Aku merasa dia enggan berlama-lama denganku. "Hmm.. Gue mau minta maaf. Mungkin dulu gue salah, mungkin gue dulu terlalu cuek" kataku tertunduk. Ada keheningan beberapa lama. "Duduk dulu yuk" ajak Daffa. Dia menggandeng tanganku. Ada rasa hangat yang ia bagi dari tangannya sampai ke hatiku. .
.
"Kamu ngga salah sih, aku malah yang banyak salah. Pas sekelas dulu, aku usil banget sama kamu" raut wajahnya sudah tidak terlalu kaku. "Gue ngga pernah benci sama lu, Daff. Gue juga ngga pernah suka sama Faqih, dulu kayaknya lu salah paham. Maaf gue ngga tau" aku menatap matanya. Memohon maaf dengan tulus. Dia tersenyum. "Makasi ya, Bella. Aku maafin kamu. Kamu sebenernya ngga perlu jelasin apa-apa sampe minta maaf kayak gini" Daffa membalas tatapanku. Kami tersenyum. Perpisahan kali ini terasa hangat. Bagaimana jika malam ini tidak aku selesaikan? Pasti semuanya terasa kalut.

Kisah Bella (10)

.
.
"Semenjak ngga sekelas sama Daffa, kalian jadi jauh ya?" tanya Joyca tiba-tiba. Kami sedang mengerjakan soal Fisika yang butuh konsentrasi tinggi, tapi Joyca malah membuyarkan konsentrasiku. "Eh.. Hmm.. Engga kok, dari dulu kan juga cuma jail-jail aja dianya. Ngga beneran deket" jawabku sebisanya. "Lu aja yang ngga mau kan? Padahal si Daffa mah mau banget, hahaa" suara Joyca menggema. Satu kelas menatap kami. Joyca hanya senyum malu-malu. Saat itu Pak Dodo sedang tidak di kelas, tapi kelas senyi sekali. Seperti sedang ada ujian kenaikan kelas. .
.
"Eh Bell, jangan-jangan lu belum tau ya?" Joyca memulai lagi saat satu kelas sudah mulai sibuk mengerjakan tugas Fisikanya masing-masing. "Tau apaan? Lu mah kebanyakan gosip" jawabku. Kelas 1 memang banyak sekali gosip, tapi aku tidak terlalu mendengarkan. Apalagi dulu hidupku sudah penuh dengan kelakuan Daffa yang usil. "Daffa tuh beneran suka sama lu, tapi dia mikir lu suka sama Faqih. Gara-gara si Anisa tuh!" Joyca berusaha berbisik karena takut suaranya menggema seperti tadi. Aku di sampingnya terperanjat. Anisa?
.
.
"Nih ya gue ceritain, jadi si Anisa tuh suka sama Daffa. Dia hasut Daffa banget. Bilang kalo lu suka sama Faqih. Terus dia juga bilang kalo lu tuh benci sama Daffa. Sebenernya Daffa awalnya cuek-cuek aja. Dia tau kalo si Anisa lagi ngincer dia, tapi lama-lama dia mikir kalo lu beneran suka sama Faqih. Jadi yaa mungkin itu yang bikin Daffa sekarang ngejauh" Joyca menceritakan semua hal yang aku sama sekali tidak tahu. Anisa suka Daffa? Selama ini setiap kali Daffa berulah, Anisa selalu memakinya di depanku. Seolah dia membenci Daffa. Aku selalu berusaha agar usilnya Daffa tidak sampai membuat Anisa terganggu. Ternyata? .
.
"Heh? Dengerin gue ngga sih lu?" Joyca menyikutku yang masih melamun. Aku hanya mengangguk. Aku tidak ingin membahas lebih jauh lagi. Aku sakit.

Kisah Bella (9)

.
.
"Selamat ulang tahun" suara satu kelas bergema. Aku yang masih di pintu kelas sudah berubah menjadi patung. Tidak menduga, tidak menyangka dan tidak terpikirkan sama sekali kalau anak-anak satu kelas akan melakukan ini. Di depan kelas sudah ada kue coklat berukuran setengah dari meja belajar kami. Ada banyak lilin yang menyala. Aku di giring ke depan untuk meniup lilin-lilin yang menyala.
.
.
"Eh, Faqih kan juga ulang tahun tauu" suara Anisa memotong prosesi tiup lilin. "Faqih sini maju" kataku dan di sambut dengan Faqih yang di giring menuju depan kelas. Akhirnya kami berdua meniup lilin. Selepas itu kami memotong dan membagikan kue seadil mungkin agar satu kelas dapat kue. "Makasi ya, Bella" suara Daffa mengagetkanku yang masih sibuk memindahkan kue ke piring-piring kecil. "Eh iya sama-sama, pasti lu deh yang punya ide!" tuduhku. Daffa hanya senyum-senyum jahil seperti biasa. "Tapi Bella seneng kan?" tanyanya sambil menyendok kue ditangannya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. "Tapi aku cemburu loh, Bella tiup lilinnya sama Faqih. Harusnya sama Daffa" ia memasang muka melas. Aku tertawa sejadi-jadinya. .
.
Pulang sekolah Daffa menghampiri aku dengan muka melas. "Bella mau ngga terima hadiah dari Daffa?" katanya sambil tertunduk. "Hah? Hadiah apa sih? Tadi kan udah ada kue. Ngga usah berlebihan sih, Daff.." jawabku. Daffa masih tertunduk. Tidak biasanya Daffa seperti ini. "Hmm Bella seneng ya tadi ngerayain ultah bareng Faqih?" ia bertanya lagi. Masih menunduk entah apa yang ia sembunyikan. "Ya seneng dong, masa ultah di rayain satu kelas ngga seneng? Emang kenapa sih, Daff?" tanyaku penasaran dengan tingkahnya kali ini. "Ngga apa, ya udah Daffa pulang dulu ya" ia berlalu meninggalkan aku sendirian di kelas.

Kisah Bella (8)

.
.
"Kita mau kemana?"
"Kamu lagi mau makan apa?"
"Kalo aku jawab pizza?"
"Boleh, ayuk!"
"Eh.. Emang uang jajan kamu cukup?"
"Enggaklaah.. Tapi aku ada tabungan.."
"Ishh jangan deh, makan roti bakar aja"
"Dasar bidadari.."
"Gombal!"
.
.
Hari ini aku tahu banyak hal tentang kamu. Kamu bercerita banyak. Tentang ayah kamu yang tegas. Tentang ibu kamu yang lembut. Kakak kamu yang sudah meninggal karena sakit jantung. Adik kamu yang lucu. .
.
Dan tanpa kamu cerita, aku tahu kalau kamu orang yang sopan. Sampai saat kita jalan hanya berdua seperti ini saja, kamu hampir tidak pernah menyentuh aku. Kamu memang berbeda, Daffa. Setelah banyak penolakan yang aku lakukan, kamu tetap manis. Sama seperti makanan kita sore ini. 😊

Kisah Bella (7)

.
.
Selesai upacara bendera semua siswa berlarian menuju kelasnya masing-masing. Pagi ini matahari sangat terik. Aku yang lupa sarapan hampir saja pingsan. "Bella, mau aku beliin minum?" Daffa jalan disampingku. Menjagaku.
"Ngga usah, gue bawa minum" jawabku ketus. Saat itu kepalaku pening sekali. .
.
Kepalaku sudah membaik sejak masuk ke dalam kelas dan meminum banyak air. "Bella udah sehat?" Daffa masih setia menjagaku di samping tempat duduk. Aku mengangguk. "Daf, sana sih. Keringet lu bau banget tau ngga!" Anisa mengusir Daffa. Sudah sejak lama Anisa tampak risih dengan kelakuan Daffa yang menggangguku. Mungkin Anisa juga merasa terganggu, mungkin. Daffa tetap saja berada di sampingku.
.
.
"Daffa khawatir, takut Bella pingsan"
"Udah mendingan kok"
"Berarti Bella masih bisa jalan kan?"
"Masih, kenapa?"
"Asik, nanti pulang sekolah jalan sama Daffa ya."
.
.
Tanpa menunggu responku, dia pergi menuju kursinya. "Sumpah ya tu orang aneh banget" Anisa menggerutu lagi. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Daffa mau ngajak aku jalan kemana?
.

Kisah Bella (6)

.
.
Hari Rabu tepat pukul 8 pagi kami semua berkumpul di depan gerbang sekolah. Seragam olah raga masih cerah warnanya karena baru beberapa minggu dipakai. "Nilainya berdasarkan kecepatan sampai ya, jadi lari sekencang-kencangnya. Jangan lupa atur nafas supaya bisa sampai garis finish." Pak Sambas selaku guru olahraga memberi pengarahan. "Ini sih nilai paling gede si Mutia" bisik Joyca ketua kelasku. Kami semua yang mendengar mengaminkan, Mutia adalah anak berprestasi dibidang lari maraton di sekolah, siapa juga yang bisa mengalahkan? .
.
Namaku disebut pada sesi 2, berbarengan dengan Daffa. Cowok tinggi itu sejak awal sudah melempar senyum kepadaku. Aku tetap cuek. Tapi bukan Daffa namanya jika sedih hanya karena respon jutekku.
.
.
"Bersedia, siap, ya!" Pak Sambas memberi aba-aba. Kami yang ada pada sesi 2 berlari sekencang-kencangnya. Pada tikungan pertama tiba-tiba tali sepatuku terlepas. Aku berjongkok dan berusaha cepat mengikat tali sepatuku. "Aku temenin ya" Daffa tiba-tiba sudah jongkok di sampingku. "Heh!! Lari!! Ini buat nilai kali, gue masih lama!!" jawabku marah. Kenapa sih ada orang seaneh dia? "Aku mau nungguin Bella aja, biar nilai kita sama, hehe." Daffa memang gila, entah apa yang dia pikirkan. Untunglah akhirnya setelah berdebat panjang dia melanjutkan larinya tanpa menunggu aku, ternyata dia masih memikirkan nilai.
.
.
.
"15 menit." kata Pak Sambas sesampainya aku di garis finish. Daffa berdiri tepat di samping Pak Sambas. "Tadi Bella iket tali sepatu dulu pak, sebenernya larinya kenceng banget tadi." Daffa mencoba merayu Pak Sambas, namun Pak Sambas terlalu sibuk mencatat nilai teman-temanku yang baru sampai garis finish. Aku berusaha tidak menghiraukan Daffa dan duduk bergabung dengan yang lain.

Kisah Bella (5)

.
.
Ini hari pertama aku masuk sekolah baru. SMP Kharisma yang katanya favorit sekali. Aku masuk SMP ini karena mama, mama terlalu obsesi anaknya bisa masuk sekolah unggulan. Beruntung otakku lumayan juga, jadi bisa mengabulkan obsesi mama yang lumayan berat.
.
.
Sekolah baru dengan semua teman baru. Aku sama sekali tidak memiliki teman disini. Temanku di sekolah lama tidak ada yang tertarik sekolah disini, menurut mereka terlalu mahal dan saingannya berat. Menerima sekolah disini berarti menerima konsekuensi untuk mandiri dan belajar lebih giat.
.
.
"Hei, aku boleh duduk sama kamu?" sapa perempuan berponi rapi di depanku. "Oiya boleh, nama aku Bella" jawabku sambil memperkenalkan diri. Dia duduk dan tersenyum, "aku Anisa". Hari itu kami semua berkenalan. Ada juga yang main ke kelas lain menemui teman masa sekolah dasar. Hari yang bebas dan menyenangkan, mengenal banyak orang baru. .
.
"Hei, Bella ya?" lelaki tinggi dan putih itu tiba-tiba didepan mejaku. "I-iya." jawabku terbata. "Kamu cantik" dengan senyum kemudian dia keluar kelas. Astaga! Cowok gombal bikin kaget saja. Namun sejak saat itu, hari-hari aku berubah. Menjadi hari penuh dengan lelaki tinggi dan putih itu. Lelaki yang selalu mengikutiku kemanapun aku pergi.

Kisah Bella (3)

.
.
Hari libur waktunya kongkow dengan Sheryl sahabat baik aku sejak 4 tahun yang lalu. Sheryl itu cantik, punya pacar tinggi putih tapi rada kaku gitu. Pacar Sheryl namanya Robi. Mereka pacaran sudah 2 tahun. .
.
"Bell, lu inget Jody ngga? Temen kerja gue" Sheryl membuka pembicaraan setelah pesanan kita datang. "Jody guru Bahasa Inggris?" jawabku sambil menyeruput matcha latte. Aku ingat Sheryl pernah cerita tentang teman kerjanya itu. Guru Bahasa Inggris yang sering ngajak makan bareng di sekolah. "Iya, dia kemaren bilang sayang sama gue" Sheryl membuka matanya lebar berusaha menunjukkan rasa kagetnya. Aku sih tidak kaget. "Ya lu bilang lah kalo lu udah punya pacar" jawabku santai. Sheryl melengos. Memainkan sedotan di hadapannya. "Ya gue ngga mungkin bilang gitu, lagian tanpa gue bilang juga dia pasti udah tau.." sahut Sheryl. .
.
Kami berdua makan sambil asik menikmati suasana Resto ala Jepang. "Jadi lu bakal gimana, Sher?" tanyaku setelah selesai makan. Sheryl tampak tidak nafsu makan saat ini. Piringnya masih utuh paling hanya terambil 2-3 suapan saja. "Jody kayak cuek aja sih, dia ngga minta jawaban" jawab Sheryl sambil menyapu pandang ke sekeliling resto. "Tapi dia ngomong gitu ada maksud lah. Dia pasti minta lu pilih dia atau Robi?" jawabku tegas. Sebenarnya aku juga tidak terlalu kenal dengan Robi maupun Jody. Menurutku, lelaki tidak ada yang suka di duakan, sama seperti perempuan. .
.
"Bell, kayaknya gue putus aja kali ya sama Robi.. Hmm.. Bosen gitu, gue pengen ngerasain yang lain aja." Sheryl berpikir. Aku menatapnya tajam. "Ya terserah lu sih, kan lu yang punya rasa. Gue sih cuma saran aja. Ngga logis lu punya pacar, tapi deket juga sama cowok lain yang bahkan udah bilang sayang ke lu." aku berusaha memberi saran agar sahabatku ini tidak bermain api. Sheryl tampak setuju namun juga bimbang.

Kisah Bella (2)

.
.
Mama sedang asik menonton sinetron kesukaannya saat aku pulang. "Eh Bella udah pulang, ini tadi Moury kesini nganter undangan" mama menyodorkan kertas undangan berwarna biru dongker. "Hah? Moury mau nikah ya mah?" kataku kaget. "Bukan, undangan reuni" jawab Mama santai dan matanya tetap fokus pada sinetronnya. "Oalah, ya udah aku masuk kamar dulu ya" aku melompat menuju kamar. .
.
"Guys, pada dateng yaa reunian kita. Lu pada kangen kan sama gue? Haha" chat Moury baru aku baca, kebetulan sejak siang HP-ku mati. "Males gue, ketemu lo lagi lo lagi. Haha" jawabku jujur. "Serius Bell lu wajib dateng, nanti gue undang Band yang suaranya kece banget. Lu pasti nyesel kalo ngga dateng. Titik!" Moury memang jagonya membujuk. .
.
"Woii senyum-senyum aja lu kak!" Sinta tiba-tiba duduk di kasurku. "Ini temen gue ngundang reunian SMP maksa banget, haha." jawabku sambil menaruh HP. "Dateng aja sih kak, kali aja lu ketemu jodoh" jawab Sinta asal. Dia memang usil, apalagi dia tahu kondisi kakaknya yang sudah jomblo akut. "Sial! Ngapain ke kamar kakak? Pasti ada maunya deh!" aku memasang muka sebal. "Hehe, bantuin ngerjain PR yaa, susah banget kak.. Guru aku ngajarinnya soal-soal gampang, giliran ngasih PR soalnya susah banget, eerrr" muka Sinta lecek banget kayak baju bekas. Aku menerima buku PR dia dan membantunya mengerjakan PR. Sesekali ada bayangan masa-masa SMP. Masa-masa kisah cinta dalam hidupku di mulai. Masa-masa indah yang aku lewatkan begitu saja. Ada banyak rasa sesal yang aku pendam sampai saat ini. Entah bagaimana cara menghapus rasa sesal yang seperti sudah menyatu dengan tubuh.

Kisah Bella (1)


.
Hei, perkenalkan namaku Bella. Aku kerja di salah satu Bank Swasta. Aku jomblo akut, huhu. Aku anak kedua dari 3 bersaudara. Kakakku, Mas Danu sudah menikah dengan Mba Karin dan punya anak laki-laki usia 2 tahun, namanya Kanu. Adikku, Sinta masih SMU. Sudah 4 tahun ini aku bersahabat dengan Sheryl si Guru Matematika. Sheryl ini sudah punya pacar, tapi dia lebih sering galau daripada aku. Pacarnya yang cuek. Pacarnya yang kaku. Pacarnya yang susah diajak nonton. Kadang mendengar keluh kesah Sheryl membuat aku malas untuk mencari pasangan. Beberapa masa laluku juga menjadi alasan, mengapa aku masih jomblo sampai saat ini :')
Btw, selamat tahun baru semuanya, semoga tahun ini banyak kebahagiaan yaaa, aamiin 💚