Wednesday, October 23, 2019

PATAH (28)


               Waktu berjalan terasa sangat cepat, akhirnya aku dan Ghea berhasil menyelesaikan skripsi tepat waktu dan wisuda bersama. Suasana saat wisuda sangat membanggakan, semua orang tersayangku hadir termasuk Kak Adam. Keluarga Ghea juga hadir semua bahkan kucing kesayangannya ikut di bawa ke gedung! Sepulang wisuda memang kita sudah agendakan untuk pertemuan dua keluarga membicarakan rencana pernikahan Bang Indra dan Ghea. Aku bahagia sekali dua orang yang paling penting dalam hidupku bersungguh-sungguh ingin menjalani sisa hidup bersama. Kak Adam awalnya menolak ikut pertemuan itu namun karena Bilqis yang memaksa akhirnya ia mau bergabung. "Ghe, gue seneng banget sebentar lagi lu bakal jadi kakak ipar gue.." aku memeluk Ghea yang cantik sekali dengan kebaya berwarna biru. Ghea tersenyum manis, Kak Indra beruntung memiliki calon istri yang nyaris sempurna. "Kak Adam mana?" tanya Ghea sambil melihat sekitar. Aku juga baru tersadar kalau Kak Adam menghilang.
                "Kak?" panggilku saat melihat Kak Adam duduk sendiri di dapur. "Eh kok kesini?" Kak Adam tampak terkejut melihatku menghampirinya. Aku membuat 2 cangkir kopi susu untuk kami berdua. "Acaranya udah selesai kok, lagi pada ngobrol-ngobrol aja" kataku sambil membawa kopi susu ke meja di hadapan Kak Adam. "Tanggalnya udah di tentuin?" tanya Kak Adam. "Sudah, mau ambil awal bulan depan katanya. Semoga aja semua berjalan lancar" jawabku kemudian menyeruput kopi. Kak Adam menatapku tajam, aku tidak tahu apa yang ia pikirkan tapi aku merasa sangat canggung. "Kalo kamu, mau nikah sama aku kapan?"
              Pertanyaan Kak Adam menbuatku terkejut namun juga malu. Jujur aku sudah lama menunggu Kak Adam memulai pembicaraan ini, namun sayangnya setiap hari kita hanya sibuk dengan urusan kita masing-masing. "Kamu masih mau kan nikah sama aku?" Kak Adam memberikan tekanan pada pertanyaannya. "Mau kok!" jawabku tegas. Aku hanya tidak ingin Kak Adam berpikiran yang bukan-bukan. "Kak Adam memangnya sudah siap? Orang tua Kak Adam gimana?" aku blik bertanya. Kak Adam terdiam dan meminum kopinya yang hampir dingin. "Nanti selesai acara nikahan Bang Indra aja ya aku bawa keluarga aku kesini" jawaban Kak Adam membuatku lega. Akhirnya kita akan menjalin hubungan yang lebih serius lagi. Rasanya ingin memeluk Kak Adam saat ini juga, namun suasana rumah yang ramai seperti ini rasanya canggung sekali. 

Saturday, September 28, 2019

PATAH (27)


            Sejak hari pernikahan Bang Ramzy, Kak Adam tidak pernah datang kerumah. Setiap aku telpon jawabannya sibuk dan berjanji akan datang saat kerjaan sudah tidak padat. Nyatanya? Kak Adam tidak pernah datang. Aku hanya bisa meratapi sepinya hari-hariku yang hanya ditemani skripsi. Tidak hadirnya Kak Adam dirumah juga membuat Bilqis dan Tante Lintang bertanya-tanya. "Udah lama juga Kak Adam ngga kesini" Bilqis membuka obrolan. Aku hanya melirik. "Eh iya, Adam apa kabarnya?" Tante Lintang menatapku. "Baik kok, lagi banyak kerjaan aja" jawabku sebisanya. Bilqis sedang melihat-lihat modul kuliahnya sedangkan mama asik menonton televisi. "Besok Bilqis pengen bikin cookies deh Kak, Kak Adam bisa suruh kesini ngga? Biasanya dia paling suka cookies bikinan aku" kali ini Bilqis yang menatapku. Aku jadi merasa canggung, tapi aku teringat nasehat Kak Adam waktu itu. Kak Adam benar, semua orang di sekitarku menyayangiku. Bilqis dan Tante Lintang yang setiap hari tidak aku pedulikan saja tetap berusaha baik padaku. "Iya nanti aku coba bilangin, biasanya sih kalo Bilqis yang undang dia pasti mau" jawabku sambil tersenyum manis. Mulai sekarang aku akan baik pada Bilqis, biar bagaimana pun ia tetap saja adikku. Bilqis tampak senang dengan jawabanku, ia bahkan beranjak dari duduknya dan memelukku. Canggung tapi rasanya hangat juga.
                  Tante Lintang yang sedang asik menonton televisi tiba-tiba dikejutkan dengan dering ponselnya. Selesai bercakap-cakap Tante Lintang mematikan televisi dan menuju kamarnya. "Oh iya, Rara hari ini bisa tolong temani Bilqis ke toko buku? Tante ada urusan kayaknya sampai sore" Tante Lintang ragu-ragu meminta tolong padaku. "Bisa kok, Ma. Nanti aku temani Bilqis, Mama ngga usah khawatir" jawabku canggung. Ini kali pertama aku menyebut Tante Lintang dengan panggilan "Mama" dan terlihat sekali kalau Tante Lintang dan Bilqis sangat bahagia. "Makasi" kata Tante Lintang dan segera bersiap. Kak Adam benar, selama ini aku menutup mata padahal sekitarku sangat banyak cinta dan kasih sayang. Aku memang bodoh dan aku butuh kamu, Kak. Kapan Kak Adam mau datang lagi kerumahku?
               Aku dan Bilqis berkeliling di dalam toko buku. Buku yang Bilqis cari sepertinya tidak ada dan kita sudah hampir menyerah. "Bilqis?" ada seorang lelaki seprtinya temannya Bilqis. "Eh Dio, lagi ngapain?" Bilqis malah balik bertanya. "Iseng aja sih nyari komik, ehehe." lelaki itu tersipu-sipu. Sepertinya lelaki itu ada rasa pada Bilqis. Setelah ngobrol-ngobrol ternyata Dio tahu tempat untuk membeli buku yang Bilqis cari namun karena Dio hanya membawa motor akhirnya aku memutuskan untuk berpisah saja. Aku mencari kedai es krim untuk mendinginkan kepalaku yang panas terbakar rindu. 

Wednesday, September 25, 2019

PATAH (26)



              "Maaf ya lu jadi ikutan keluar dari acara gara-gara gue" kataku pada Kak Adam di salah satu resto seafood dekat gedung pernikahan Bang Ramzy. "Santai aja, gue kan emang disuruh jagain lu" jawab Kak Adam sambil memilih menu seafood. Aku sadar kalau aku sangat jahat. Saat ini pasti hati Kak Adam terluka, ia tahu bahwa wanita di hadapannya masih merasa sakit pada pernikahan lelaki lain. "Kak, gue minta maaf" belum selesai aku berbicara Kak Adam sudah memotong dengan tertawa. "Rara Rara.. Minta maaf mulu kayak lagunya Reza! Ra, lu tuh harusnya buka mata. Semua orang di sekitar lu itu sayang banget sama lu, tapi lu ngga pernah melihat mereka. Bang Indra, Ghea, Papa, Bilqis bahkan Tante Lintang! Lu tuh sibuk ngejar apa yang ngga lu punya, coba deh lu tuh buka mata dan lu lihat apa aja yang udah lu punya." suara Kak Adam halus namun rasanya menusuk sekali. Aku seperti tertampar dan tersadar akan kebodohanku.
                Makan di resto dan pulang kerumah kami lebih banyak diam. Aku tahu Kak Adam kecewa padaku dan aku tak tahu harus meminta maaf dengan apa. Sampai dirumah Kak Adam malah asik ngobrol bareng Bilqis yang cerita panjang lebar pengalaman hari pertama masuk kuliah dan memamerkan kue-kue hasil buatannya di kampus. Bilqis tampak bahagia sekali menceritakan kuliah tata boganya walau hati kecilnya masih menginginkan kuliah seni seperti Bang Indra. "Udah malem nih, Kakak pulang dulu ya Bil" Kak Adam pamit pada Bilqis. Aku yang sedari tadi hanya sebagai nyamuk menengok sebentar saja. "Ra, mau anter gue kedepan" Kak Adam memintaku mengantarnya. Aku mengangguk dan mengekor sampai depan rumah.
           "Skripsi gimana?" Kak Adam menanyakan skripsiku. Aku tahu ini hanya basa-basi karena dia jelas tahu semua perkembangan skripsiku. "Besok semoga ngga banyak revisi" jawabku sebisanya. Kak Adam mengambil sesuatu dari dalam kantungnya. "Di baca ya, Ra. Ini tadi gue iseng nulis pas di resto" aku menerima secarik kertas dari tangannya. Kak Adam segera menghilang dari hadapanku dengan motornya. Aku duduk dengan kaki terlipat, membaca baris demi baris tulisan Kak Adam.

"Kamu bebas
Boleh datang sesukamu
Boleh juga pergi sesukamu
Kamu bebas
Mau baik padaku
Atau mau mengabaikanku
Kamu bebas
Menganggap aku ada
Menganggap aku tak ada
Kamu bebas
Mengandalkanku dalam setiap masalahmu
Atau melupakan bahwa aku selalu ada di sampingmu
Kamu bebas
Sayangnya aku tak bisa lepas
Hatiku telah kau rampas
Meski dibenakmu aku tetap tak berbekas"

Tuesday, September 24, 2019

PATAH (25)



              "Rara.. Bangun! Adam udah dateng tuh!" suara Bang Indra seperti petasan yang mengganggu tidur nyenyakku. Aku mengusap wajahku dan terkejut karena Kak Adam sudah ada di kamarku. "Heh! Jangan macem-macem ya!" aku nyaris teriak namun aku lega ketika melihat Ghea juga ada di kamarku. "Tenang anak perawan, gue bakal jagain lu kok!" Ghea malah meledek. "Pagi-pagi kok udah pada kerumah gue? Mau ngapain?" tanyaku bingung. Aku sama sekali lupa kalau hari ini adalah hari penting. "Ra, kita mau kondangan. Yuk siap-siap, Bang Indra udah selesai mandi tuh" Ghea mengangkatku agar segera bangun dan mandi. Sampai kamar mandi aku baru ingat bahwa ini adalah hari pernikahan Bang Ramzy dan Kak Intan.
               Pukul 10 kami semua sudah siap dan akan berangkat. Hatiku masih ragu apakah akan datang atau aku minta di tinggal saja. Bang Indra tampak santai sambil mengendarai mobil, ia terlihat sudah sangat ikhlas apalagi di sampingnya sudah ada Ghea yang tidak kalah jika di bandingkan dengan Kak Intan. Aku harusnya juga sudah iklas karena Kak Adam selalu menemani dan menjagaku dalam keadaan apapun tapu entah kenapa rasanya masih saja sakit. Tepat pukul 11 kami sampai di gedung resepsi pernikahannya. Kami mengikuti prosesi adat kira-kira setengah jam. Aku tidak begitu memperhatikan mempelai karena tamu yang ramai menutupi kedua mempelai. Hatiku sedikit lega setidaknya aku dan Bang Ramzy tidak bisa saling tatap.
            "Ra, barengan aja yuk salamannya" Bang Indra mengajakku. Aku ragu namun Kak Adam sudah mengiyakan dan menggandeng tanganku menuju pelaminan. Jantungku rasanya mau copot namun aku berusaha mengatur nafasku. "Kamu cantik banget, jadi gue gandeng ya biar ngga diambil orang" Kak Adam meledekku yang masih mengatur nafas. Berkat gombalan tipisnya Kak Adam aku mampu tersenyum simpul dan saat yang sama mataku menatap Bang Ramzy yang juga sedang melihatku. Aku terkejut namun aku tetap melanjutkan jalanku menuju pelaminan walau aku merasa mata Bang Ramzy terus saja memperhatikanku.
                "Makasi banyak kamu mau dateng!" suara Kak Intan terdengar tulus. Kak Intan bahkan memelukku hangat tanda terima kasih. Aku hanya tersenyum sebisanya. "Makasi udah mau dateng, Bi" Bang Ramzy kelepasan memanggil aku "Bi" aku nyaris meneteskan air mata namun aku segera turun pelaminan. Kak Adam mengikutiku sampai keluar gedung. "Ra, lu kenapa?" aku segera memeluk Kak Adam dan menumpahkan air mataku di pundaknya. Aku tidak dapat menjawab pertanyaan Kak Adam karena aku sendiri tidak tahu aku ini kenapa? Aku masih merasakan sakit sedangkan jelas-jelas batas antara aku dan Bang Ramzy sudah nyata adanya. 

Sunday, September 22, 2019

PATAH (24)


              Sore itu aku selesai bimbingan skripsi. Sampai rumah aku sudah di sambut dengan seorang wanita yang wajahnya ingin sekali aku lupakan. "Boleh bicara sebentar, Ra?" wanita itu meminta waktuku. Aku duduk berhadapan dengannya, aku tidak tahu harus merasakan apa saat ini. "Ra, aku udah tahu semuanya. Aku minta maaf atas apa yang dilakukan Ramzy. Ramzy sama sekali tidak ada niat untuk menyakiti kamu, keadaan yang membuat semua ini terjadi" wanita itu berbicara dengan intonasi yang enak di dengar. Aku tahu ia merasakan sakit juga tapi ia berusaha mati-matian mengubur rasa sakit itu. "Meski sulit, aku harap kamu mau memaafkan Ramzy dan juga aku. Kami hanya orang-orang yang menaruh kebahagiaan orang tua kami di atas segalanya. Untuk kamu pasti ini rasanya tidak adil, tapi aku harap kamu bisa menerima ini sebagai pendewasaan. Aku datang kesini mengundang kamu secara langsung untuk hadir di acara pernikahan kami" ia memberikan kartu undangan berwarna biru muda. Aku menerimanya tanpa bersuara apapun.
                "Intan? Tumben kesini ngga bilang-bilang" suara Bang Indra memecah kesunyian. "Eh iya aku mau anter undangan" ia menyalami Bang Indra dan menyerahkan kartu undangan. "Oh akhirnya ya kalian" suara Bang Indra getir. Rintihan hati Bang Indra bisa aku dengar dan entah bagaimana aku merasa Kak Intan pun mendengarnya. "Ya udah aku sekalian pamit ya, mau anter undangan ke yang lain juga" Kak Intan merasa canggung. "Eh kok buru-buru, mau dianter?" Bang Indra menawarkan namun Kak Intan menolak karena ia diantar oleh supir.
              "Mau dateng?" Bang Indra menatap mataku tajam. Aku mengangkat bahu menandakan tidak tahu. Aku memang tidak tahu harus datang atau tidak. Kenapa juga harus Kak Intan yang mengantar undangan? Kenapa bukan Bang Ramzy? Apakah mereka sengaja membuatku "tahu diri" bahwa aku tidak layak dibandingkan dengan Kak Intanml? Memang Kak Intan itu cantik, baik, lembut, ramah, dewasa dan banyak sekali sikap yang tidak ada padaku. Rasanya aku malu sekali. Malu karena aku pernah berani bertanya pada Bang Ramzy untuk memilih aku atau Kak Intan? Anak kecil juga pasti akan memilih Kak Intan! Bodoh! Aku sungguh bodoh! Harusnya aku punya kaca yang besar di kamar agar aku tidak besar kepala dan egois! "Gue pasti dateng sama anak-anak yang lain, lu dateng juga ya! Ajak Adam, dia pasti mau!" suara Bang Indra memotong suara hatiku yang sedang memaki-maki diriku sendiri. "Gue ngga janji deh, Bang!" jawabku dan segera berlari masuk kamar. 

Friday, September 20, 2019

PATAH (23)


           Sudah lama sekali Kak Adam tidak datang kerumah, ia sibuk bekerja. Aku senang saat dia lulus segera dapat kerja di kantor tempat penelitian skripsinya. Namun rumah dan kampus terasa sepi karena tidak ada lagi sosok Kak Adam yang jahil tapi ternyata mampu membuatku rindu. "Kak, aku mau kerumah temen ya buat kerja kelompok" Bilqis pamit padaku, aku hanya mengangguk. Aku mengganti saluran televisi sampai berulang-ulang karena tidak ada acara yang bagus. Akhirnya aku memutuskan menonton salah satu acara talkshow yang lebih banyak gibahnya daripada faedahnya. "Assalamualaikum" suara yang aku rindukan tiba-tiba saja terdengar. "Waalaikumsalam" jawabku ragu. Benar saja ada Kak Adam, ia segera masuk dan duduk di sofa menemaniku. "Sepi banget, pada kemana?" katanya sambil melepaskan jaket jeansnya. "Biasalah pada sibuk" jawabku canggung. "Biasanya Bilqis nih yang bikinin aku minum" katanya meledek. Aku miliriknya sebal, apakah dia tidak tahu bahwa aku rindu? Malah meledek dan setengah memuji Bilqis. "Iya udah aku bikinin" aku segera meninggalkan dia di ruang tamu. Walau aku membelakanginya namun aku tahu bahwa ia sedang tersenyum senang karena berhasil membuatku kesal.
            Sampai dapur aku malah duduk dan bingung harus membuat apa. Biasanya memang Bilqis yang rajin menyambut tamu, membuatkan minum dan juga cemilan. "Bingung ya mau bikin apa?" Kak Adam mencubit pipiku dan segera mengambil cangkir. Aku hanya meliriknya dengan muka masam. "Makanya lain kali kalo adeknya bikin minum buat tamu ikutan dong" Ia masih meledek walau tangannya sibuk meracik kopi. "Ngeledek terus sih kak!" jawabku masih dengan muka masam. "Assalamualaikum, loh Adam kok bikin minum sendiri?" suara Tante Lintang mengubah mimik wajahku. "Waalaikumsalam, ngga apa kok Tante udah biasa" jawab Kak Adam. Aku salim pada Tante Lintang sebagai sopan santun saja. "Memang Bilqis kemana, Ra?" tanya Tante Lintang. "Katanya ada kerja kelompok" jawabku seadanya. Akhirnya Tante pamit masuk kamar untuk bersih-bersih.
              Aku dan Kak Adam kembali ke ruang tamu dengan kopi buatan Kak Adam. "Skripsi udah dikerjain?" tanya Kak Adam. Aku hanya tersenyum kuda. Skripsi itu ternyata memang menyeramkan, mencari judul saja sudah susah apalagi sampai cari referensi, membuat penelitian sampai mendapatkan hasil. "Udah sampe mana? Sini aku bantuin" Kak Adam menawarkan bantuan. Akhirnya aku mengambil laptopku dan Kak Adam benar-benar membatuku. Referensi jurnal dan ebook dia juga lumayan banyak dan menunjang judul skripsiku. Rasanya hari ini aku beruntung sekali!

Saturday, September 14, 2019

PATAH (22)


                  Hari ini aku tidak ada rencana kemanapun, aku memilih menghabiskan waktu dirumah saja. Menunggu Bang Indra pulang dan mendengar cerita kencan dia bersama Ghea. Entah mengapa aku malah lebih senang dan bersemangat dengan percomblangan ini. "Kak, ada tamu" suara Bilqis mengganggu aku yang sedang melamun. Aku segera keluar kamar dan menuju teras. "Kak Adam?" aku terkejut melihat orang yang sedang duduk di teras. "Hei, Ra!" ia tersenyum manis. "Ada perlu apa ya?" aku masih berdiri mematung melihat Kak Adam. "Kangen aja sama calon istri" ia masih tersenyum manis. "Calon istri apaan sih? Jangan banyak mimpi" aku makin tidak paham dengan kedatangan Kak Adam. "Loh gue kan udah dapet restu dari Abang lu, jadi lu udah 50% milik gue. Tinggal tunggu ijab qobul aja" senyum di bibirnya tidak pernah hilang. Aku malah kesal dan ingin kembali ke kamar, namun Bilqis datang membawa minuman dan cemilan untuk Kak Adam. "Di minum kak" Bilqis segera meninggalkan kami berdua setelah menaruh minuman dan cemilan. "Temenin gue dulu, Ra" Kak Adam memegang tanganku pelan. Entah mengapa aku malah luluh dengan tatapan dia kali ini. Kami berdua duduk di teras, aku lebih banyak diam dan mendengarkan Kak Adam bercerita tentang perjuangan skripsinya.
               "Assalamualaikum" Bang Indra akhirnya pulang. "Waalaikumsalam" jawabku dan Kak Adam bersamaan. "Waduh kompak banget nih" Bang Indra meledek. Kak Adam tersenyum kegirangan sambil menyalami Bang Indra. "Udah lama?" tanya Bang Indra. "Baru kok" jawab Kak Adam. "Gimana Ghea?" aku sudah tidak sabar mendengar cerita Bang Indra. "Parah lu, Ra! Kenapa lu ngga bilang dari awal kalo temen lu itu Ghea? Gue kan bisa dandan dulu, ngga seadanya gini" Bang Indra malah menggerutu. "Yaampun kayak gitu juga udah ganteng, Ghea suka Bang Indra apa adanya kok!" kataku jujur. "Ya udah, karena sama-sama tertarik mau gimana lagi?" senyum Bang Indra merekah. Aku melompat bahagia dan memeluk Bang Indra erat, rasanya bahagia sekali. "Selamat ya Bang" Kak Adam sudah berdiri dan menyalami Bang Indra. "Pajaknya traktir martabak pak petruk yaaa!!!" aku berteriak di kuping Bang Indra. Bang Indra mendorongku karena teekejut juga menghindari pecahnya gendang telinga. "Pajak apaan? Gue ngga jadian kok" Bang Indra mengusap kupingnya yang panas. "Lah? Katanya sama-sama suka! Gimana sih?" aku duduk kembali dan memasang muka kesal. "Ya emang harus jadian? Hahaha kita berdua komitmen buat serius, kalo tabungan gue udah cukup dan dia udah lulus kita langsung nikah" Bang Indra mencubit hidungku dan segera masuk ke dalam rumah. Aku bingung harus bahagia atau sedih, mereka tidak jadian tapi komitmen? Sok dewasa banget sih!
         

Wednesday, September 4, 2019

PATAH (21)


             Hari-hari setelah kejadian malam itu membuat aku dan Bang Indra sedikit berjarak. Bang Indra pulang kerja langsung masuk kamar, aku juga setiap berpapasan dengan Bang Indra hanya diam tak tahu harus berbicara apa. Malam itu, saat aku asik membaca novel di kamar ternyata ada yang mengetuk pintu kamarku. "Masuk" kataku tanpa tahu siapa yang mengetuk. Aku berhenti membaca novel setelah melihat sosok Bang Indra di dalam kamarku. Bang Indra duduk di kursi belajarku dan mengambil foto kita berdua yang terpajang di meja. "Kita dari dulu deket banget, Ra. Gue kangen sama adek gue yang manja, yang cerita apa aja ke gue. Dulu gue bosen, tapi sekarang malah kangen" Bang Indra berbicara sambil terus menatap foto kita berdua di tangannya. Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. "Gue minta maaf kalo saat lu butuh gue malah gue ngga ada, sampai akhirnya lu harus jatuh ke hati yang salah" Bang Indra melihatku yang sejak tadi terdiam. "Bang Indra ngga salah" jawabku singkat. "Gue kemaren marahin Ramzy buat lu, Ra. Gue memang belum bisa move on dari Intan, tapi gue udah mengubur semua harapan gue ke dia" Bang Indra menatapku terus, ia berusaha meyakinkan. "Iya aku tahu" jawabku singkat. "Makasi ya, Ra" Bang Indra tersenyum. Rasanya aku sudah sangat lama tidak melihat senyum itu.
               Kami memutuskan untuk jajan martabak di dekat rumah. "Bang Indra kapan mau deketin cewek lagi?" tanyaku sambil menunggu martabak matang. "Udah sering kok, tapi ngga ada yang mau. Hehe" jawab Bang Indra sambil tertawa. "Masa iya? Eh temen aku ada loh yang suka sama Bang Indra" kataku tiba-tiba teringat Ghea. "Serius? Siapa juga temen lu yang kenal gue?" Bang Indra menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Adaaa deeh. Cantik kok, kalau mau nanti aku bikin kalian jalan bareng gimana?" aku bersemangat menjodohkan Bang Indra dan Ghea. "Kok lu mencurigakan sih? Temen lu bukan Lucinta Luna kan?" Bang Indra sampai berdiri karena takut melihat aku bersemangat. Aku malah tertawa terbahak-bahak mendengar Bang Indra menyebut nama Lucinta Luna. "Hari sabtu Bang Indra libur kan? Nanti ketemuan ya sama temen aku. Janga di cuekin tapi, ajak jalan!" aku tetap bersemangat walau Bang Indra terlihat ragu. Martabak sudah matang dan kami makan dengan sangat lahap. Martabak Pak Petruk ini memang juara dalam rasa, walau dagangnya masih dengan tenda namun setiap hari selalu ramai pembeli.
                 "WHAT? GILA GUE SESEK NAPAS NIH!" Ghea bereaksi berlebihan saat aku bilang rencanaku untuk mempertemukan dirinya dengan Bang Indra hari sabtu besok. "Bang Indra udah setuju, pokoknya kalian harus jalan. Kalo bisa langsung jadian!" kataku tegas. Ghea terlihat berbinar bahagia namun juga grogi. Ghea belum pernah dijodohkan seperti ini, biasanya selalu lelaki yang mendekati dia tapi kali ini aku memaksanya untuk ikut dengan rencanaku! Hehe

Friday, August 23, 2019

PATAH (20)


            Sore itu aku sendirian menonton televisi, Bilqis dan Mama sedang pergi belanja. Bang Indra asik sendiri di dalam kamar, rumah terasa sunyi sekali. "Assalamualaikum" suara yang tidak asing di telinggaku terdengar di depan pintu. "Waalaikumsalam" jawabku. Sosok Bang Ramzy akhirnya muncul lagi di hadapan mukaku, campur aduk rasanya tapi aku harus siap. "Ada perlu apa?" tanyaku terdengar sedikit ketus. "Gue mau meluruskan semuanya, Bi" jawabnya dengan nada tulus. "Ya udah lah Bang, semuanya udah terjadi mau gimana lagi?" aku semakin ketus. Rasanya lelah dengan semua omong kosong Bang Ramzy. Setelah jawaban dia saat itu, rasanya aku sudah tidak ingin melihat wajahnya lagi. Meski tak dapat aku pungkiri, ssmakin hari aku semakin merindukannya.
                "Akhirnya lu berani dateng juga, Ram!" suara Bang Indra mengejutkan aku yang hanya saling pandang dengan Bang Indra. "Gue minta maaf ya, Ndra" suara Bang Ramzy terdengar sangat tulus. "Kenapa selama ini lu diam? Lu anggap gue apa?" Bang Indra membentak. Aku terkejut dengan nada bicara Bang Indra. "Gue ngga nyangka lu permainkan adek gue dan juga Intan!" suara Bang Indra makin keras. Aku semakin terkejut dengan reaksi Bang Ramzy. Ia tersenyum sinis. "Lu lagi marahin gue karena adek lu atau karena Intan?" kali ini Bang Ramzy ikut bersuara keras. Aku yang ada di antara mereka hanya diam dan tidak tahu apa yang mereka bicarakan.
                "Asal lu tahu, adek lu butuh lu saat dia putus si selingkuhin pacarnya! Adek lu butuh lu, saat bokap lu pengen nikah lagi! Gue tanya, lu kemana? Gue yang ada di sana!" Bang Ramzy semakin emosi. Air mataku menetes, aku setuju dengan ucapan Bang Ramzy namun aku tidak terima Bang Indra di bentak seperti ini. "Lu nemenin adek gue sebagai abang atau sebagai bajingan!" Bang Indra menunjuk muka Bang Ramzy dengan penuh emosi. "Ya gue tahu, gue salah. Gue jatuh cinta sama adek lu. Gue minta maaf" suara Bang Ramzy mulai mereda. "Gue juga sudah janji sama lu kan, kalo gue akan jagain Intan dan ngga akan ninggalin dia" Bang Ramzy tersenyum manis pada Bang Indra. "Maksudnya apa?" aku beranikan diri bertanya. Aku tidak mengerti dengan janji yang Bang Ramzy sebutkan. "Abang lu itu ngga pernah bisa move on dari Intan. Sejak masuk kuliah sampai sekarang dia hanya cinta sama Intan, sayangnya Intan justru cinta sama gue dan gue memang jodohnya" Bang Ramzy tersenyum manis. Mendengengar jawaban Bang Ramzy membuatku hancur. Ternyata Bang Indra jauh lebih sakit tapi ia tidak pernah menunjukkan padaku. Bahkan saat pernikahan Papa, Bang Indra sepanjang acara melihat Kak Intan dan Bang Ramzy bersama. Aku pergi ke kamar dan meninggalkan mereka berdua. Aku butuh ruang untuk istirahat. 

Tuesday, August 20, 2019

PATAH (19)



            Aku bingung, takut dan malu berjalan menuju rumah bersama Ka Adam. Bang Indra akan bicara apa? Aku benar-benar ingin kembali saja ke kampus, aku tidak siap dengan reaksi Bang Indra. "Assalamualaikum" aku mengucap salam dan di sambut oleh Bilqis. "Waalaikumsalam, wah Kak Rara udah pulang" Bilqis tersenyum manis apalagi saat melihat Kak Adam. "Hei, kamu adiknya Rara? Lebih cantik deh" Kak Adam mulai gombal. "Iya kenalin, aku Bilqis. Tapi menurut aku cantikan Kak Rara kalo aku mah manis aja" Bilqis mulai berulah. Entah belajar darimana dia bisa-bisanya sok akrab dengan orang baru di kenal. "Manis? Nanti di rebutin sama semut loh, hihi. Gue Adam, calon suami Kak Rara" Kak Adam memperkenalkan dia dengan bangganya. Aku bahkan tidak menyangka dia berani menyebut dirinya "calon suami". Bilqis hanya tertawa dan mempersilakan Kak Adam duduk dan menawari minum. Aku meninggalkan Kak Adam sendiri di ruang tamu. Aku lebih memilih mengganti baju dan istirahat di kamar.
              Hampir jam 7 malam suara Kak Adam dan Bilqis masih terdengar ramai. Entah mereka membicarakan apa tapi terdengar mereka sangat bahagia. "Assalamualaikum" suara Bang Indra terdengar sampai kamarku. Hatiku langsung berdebar tidak karuan. Aku tidak berani dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Ketakutanku makin tinggi saat suara mereka sudah tidak terdengar di ruang tamu. Apa yang terjadi?
             Pukul 8 malam aku beranikan diri keluar kamar. Aku melihat ruang tamu hanya ada Bilqis sedang belajar, akhirnya aku ke teras dan melihat Bang Indra sendirian. "Bang Indra sendirian?" tanyaku ragu. "Iya, temen lu udah gue suruh balik" Bang Indra menjawab sambil menatap ke atas langit. "Dia bilang apa aja?" aku sangat penasaran. Bang Indra menarik nafas panjang dan menatapku tajam. "Lu nangisin Ramzy tapi mengabaikan orang kayak Adam? Lu gila apa kenapa, Ra?" Bang Indra masih menatapku. Aku bingung dan tidak tahu akan kemana arah pembicaraan Bang Indra. "Ra, kalo lu nanya gue. Gue setuju banget lu sama Adam, asal lu jangan gangguin dia lagi skripsi. Biar dia cepet lulus, dapet kerja dan bisa nikahin lu!" Bang Indra menunjuk keningku kuat-kuat. Nikah? Bang Indra ini kena santet Adam apa gimana? Aku sampai terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kejadian hari ini. "Bang, lu setuju sama Kak Adam? Bang, dia itu udah malu-maluin gue di kelas pas awal ketemu" aku membuka aib Kak Adam. "Iya dia udah cerita, makanya gue setuju karena dia berani ngakuin dosa-dosa dia. Bagus tuh cowok kayak gitu" Bang Indra mencubit pipiku pelan. "Bang, gue masih belum bisa move on" suaraku hilang di bawa angin. Aku melihat reaksi Bang Indra yang tidak suka dengan omonganku barusan. Aku menyesal. Aku berjanji tidak akan mengatakan itu lagi. 

Friday, August 16, 2019

PATAH (18)



           Kuliahku sudah semester 4, semester ini menurut senior adalah semester terberat. Pak Darma kembali mengajar kelasku, kali ini aku tidak melihat sosok Kak Adam yang biasa jadi tangan kanan Pak Darma. "Nyariin Kak Adam?" suara Ghea terdengar meledek. Aku hanya melirik sebal dan fokus mendengarkan ocehan Pak Darma.
            "Pak, Kak Adam udah ngga jadi asdos bapak?" tiba-tiba saja Ghea menghampiri Pak Darma ketika perkuliahan sudah selesai. Diam-diam aku juga ingin tahu kenapa Kak Adam tidak ikut mengajar, biasanya dia paling senang kalau mengajar di kelasku. "Oh iya, Adam sedang fokus skripsi jadi saya sendiri saja" jawaban Pak Darma membuatku sedikit kecewa. Ghea makin sering meledekku karena aku tidak mampu menutupi rasa kecewaku. "Makanya terima aja sih Kak Adam, daripada lu galauin calon suami orang!" kata-kata Ghea kali ini sungguh menusuk jantung.
             Aku dan Ghea makan siang di kantin biasa, aku dengan menu siomay kesukaan dan Ghea dengan bakso super pedas. Suasana kantin saat ini sungguh ramai, semua terlihat lapar. "Ra, lu liat deh Kak Citra makannya kayak orang kesurupan. Kayak belum makan dari tiga hari" Ghea menunjuk Kak Citra yang terkenal jago dandan. "Iya, tumben deh dia ngga jaim gitu" jawabku sambil memperhatikan gaya makan Kak Citra. "Cewek-cewek cantik gosip aja" suara Kak Adam mengejutkan aku dan Ghea. "Apaan sih Kak, bikin kaget!" Ghea memukul Kak Adam pelan. Aku hanya memasang muka malas. "Kayaknya tadi ada yang nyariin gue deh" Kak Adam melirikku. Aku diam pura-pura tidak tahu sedangkan Ghea sudah puas tertawa melihat ekspresiku.
             "Ra, gue kapan nih bisa ngobrol baik gitu sama lu? Capek deh di jutekin terus. Gue lagi skripsi loh, lu bantu semangatin gue kek!" Kak Adam mengekor aku yang mau pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore tapi dia masih segar seperti baru jam 8 pagi. "Semangat yaa" jawabku sambil malas dan terus berjalan. "Ra, serius dikit kek" suara Kak Adam menjadi pelan. Aku berhenti dan menatap dia penuh. Melihat dia di hadapanku seperti ini membuatku sedikit gemas, menurutku dia tidak terlalu buruk namun hatiku masih penuh dengan Bang Ramzy. "Kak, Abang gue udah males denger gue di bohongin sama cowok. Jadi kalo lu emang serius, lu ijin sama abang gue dulu deh!" aku memberi penekanan pada satiap kata-kataku. Ia mendengarkan aku secara baik, tanpa memotong dan membantah. Aku kembali berjalan menuju halte dan ia tetap mengekor. "Gue ikut lu kerumah" katanya yang langsung membuatku terheran-heran. 

Wednesday, August 14, 2019

PATAH (17)



           Menikmati angin malam sudah menjadi hobi baruku, aku sering duduk sendiri di teras hanya untuk menatap langit Jakarta yang makin penuh polusi. Malam minggu kali ini terasa lain, ada motor yang tidak asing lagi untukku datang secara tiba-tiba. "Bintang" suara lelaki itu terdengar sedikit berbeda. Aku yang masih belum bisa menerima kenyataan mencoba masuk ke dalam rumah dan tidak ingin bertemu dengan dia. Namun ia sekuat tenaga menahan aku, sampai aku akhirnya mau duduk bersampingan dengannya. "Gue minta maaf" Bang Ramzy menunduk, ia terlihat sangat menyesal. Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. "Gue di jodohin sama nyokap gue, Bi" ia mencoba menjelaskan. Aku tetap terdiam. "Gue waktu pertama di kenalin sama Intan, gue setuju aja sama perjodohan itu. Gue pikir, gue cuma bisa ngelakuin itu buat bikin nyokap bahagia. Saat itu gue belum tahu namanya jatuh cinta, Bi. Sampai akhirnya gue ketemu lu, denger cerita lu dari Indra. Ngeliat lu nangis, ngeliat lu berjuang menghadapi setiap masalah yang ada. Gue ngga sadar kalau gue udah jatuh cinta sama lu, Bi.. Gue minta maaf kalau perasaan gue malah bikin lu sakit.. Gue ngga ada niat sama sekali bikin lu sakit, gue justru mau jagain lu biar lu ngga nangis" suaranya terdengar serak.
          "Bang Ramzy pilih aku atau Kak Intan?" entah bagaimana kata-kata itu bisa keluar dari bibirku. Aku sampai terkejut juga dengan keberanianku menanyakan hal ini pada Bang Ramzy. "Gue pilih nyokap gue, Bi" ia menunduk. "Pilihannya aku atau Kak Intan? Aku ngga bahas mama Bang Ramzy!" aku nyaris menangis. "Ngga akan ada nama Intan kalau bukan nyokap yang pilih, Bi" ia menatap mataku yang sudah berair. Air mataku tumpah, aku tidak tahu lagi bagaimana cara menahan air mata ini. "Berarti Bang Ramzy pilih Kak Intan, kan?" aku menegaskan jawabannya. "Semoga lu bisa paham, Bi" ia menatapku semakin dalam. Tatapan matanya semakin membuatku tak mampu membendung semua perasaan yang ada. Aku menangis sejadi-jadinya. "Bang Ramzy jahat. Aku pikir Bang Ramzy akan temenin aku terus setiap aku butuh, ternyata ngga. Aku ngga tahu lagi harus percaya sama siapa.." aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku benar-benar terpukul malam ini. 

Terdengar lagu Tak Sejalan - Vidi Aldiano di sepanjang malam..

Kuyakin kaulah yang membuatku bahagia..
Kadang kala yang lain tak dapat kupercaya..
Keinginan hati terus aku kejar
Nyatanya tak sejalan..
Ingin bersama denganmu selamanya
Namun nyatanya kau dengannya
Harapan kini hanyalah
Harapan saja..

Thursday, August 8, 2019

PATAH (16)



           Sudah tiga hari Rara tinggal di rumah Ghea. Rara mencoba melupakan semua masalah dalam hidupnya namun tidak pernah berhasil. "Ra, Tante Linda dateng tuh" Ghea yang masih mengenakan baju tidur menarik tanganku agar segera turun ke ruang tamu. "Rara, kenapa ngga pulang nak? Semua cemas mikirin kamu" Tante Linda mengusap rambutku yang sudah tidak berbentuk. "Aku capek.. Semua orang ninggalin aku.. Semua orang ngga ada yang peduli sama aku" aku terisak di depan Tante Linda. Aku menumpahkan semua keluh-kesah. "Tante Linda pergi, Papa pergi, Bang Indra pergi, Bang..." aku tak mampu melanjutkan kata-kataku. Air mataku tumpah dan hanya Tante Linda yang bisa menenangkan aku saat ini. "Rara.. Siapa bilang Tante pergi? Ini Tante ada disini.. Papa juga ada dirumah.. Bang Indra juga.. Semua sayang sama Rara, ngga ada yang ninggalin Rara.. Malah sekarang Rara punya Mama dan dek Bilqis dirumah.. Wah rame sekali ya" Tante Linda menenangkan aku.
           Banyak sekali cara yang Tante Linda lakukan untuk mengajak aku pulang. Akhirnya aku luluh juga dengan syarat Tante Linda menginap di rumah satu malam. Suasana rumah saat aku pulang sangat hening, sepertinya Tante Linda memerintahkan mereka untuk tidak memarahi aku. "Kak Rara, mau aku buatkan teh?" tanya Bilqis dengan muka polosnya. "Gue ngga doyan" jawabku ketus. Aku masih belum bisa menerima Bilqis sebagai adik Bang Indra, apalagi sebagai adikku!
          "Tante tinggal disini lagi yuk, temenin Rara" aku membujuk Tante Linda untuk tinggal dirumah lagi. "Ngga bisa, Ra. Tante kan harus temenin Om Satria" Tante Linda tersenyum menenangkan. Terdengar pintu kamarku diketuk kemudian Bang Indra masuk. "Ra, maafin gue ya. Gue bukan abang yang baik" Bang Indra ikut duduk di ujung kasurku. Aku tidak mampu menjawab, aku hanya terdiam sambil menatap Bang Indra. "Sudahlah, kalian adik kakak harusnya jangan berkelahi. Harusnya saling sayang dan saling menjaga" ucap Tante Linda. "Iya Tante, Indra udah salah ngga jagain Rara" jawab Bang Indra. Aku masih tidak bisa menjawab. Sebenarnya Bang Indra tidak terlalu salah, aku juga salah karena tidak cerita ke Bang Indra seperti biasanya. Akhirnya Bang Indra menyerah karena aku tak kunjung berbicara, Bang Indra keluar dari kamarku. 
            Setelah Tante Linda pulang, hari-hari di rumah sendiri tapi terasa sangat asing. Kini ada Tante Lintang dan Bilqis di rumah, mereka banyak mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa aku kerjakan sendiri. Aku lebih sering menyendiri di kamar atau menonton televisi. "Kak Rara mau Bilqis buatkan teh hangat?" Bilqis masih berusaha baik. "Ngga usah" jawabku ketus. Bilqis berlalu ke dapur membantu mamanya lagi. Aku sebenarnya sedikit tergoda juga untuk baik pada Bilqis dan Tante Lintang namun ego dalam diri aku masih terlalu besar. 

Thursday, August 1, 2019

PATAH (15)


           Aku memberanikan diri menyalami teman-teman Bang Indra termasuk Bang Ramzy dan perempuan di sebelahnya. "Ini adek lu, Ndra?" perempuan itu menyalami aku sambil bertanya pada Bang Indra. "Yoiii" jawab Bang Indra singkat. "Cantik loh" perempuan itu memujiku, aku menatap Bang Ramzy yang mulai salah tingkah. "Oiya nama gue Intan" ia memperkenalkan diri. "Pacarnya Ramzy itu, Ra" Bang Indra memberi tahu. Aku sudah hampir meneteskan air mata tapi aku berusaha menahannya. "Pacar? Calon istri dong!" Bang Rully menanggapi. Mereka semua tertawa-tawa dengan celotehan Bang Rully tapi terlihat jelas bahwa mereka semua setuju dengan ucapan Bang Rully. Aku segera pergi meninggalkan mereka, aku berharap tidak ada yang tahu bahwa aku menangis lagi.
                Aku menangis lagi, aku merasa bodoh! "Ra, udah jangan nangis lagi. Banyak orang" Ghea berusaha menenangkan aku. "Gue minta maaf, Bi" tiba-tiba suara Bang Ramzy ada si sampingku. Aku menghapus air mataku, aku sama sekali tidak ingin Bang Ramzy melihat aku menangis. "Gue bisa jelasin semuanya, Bi" Bang Ramzy memegang tanganku. Aku segera menepisnya dan pergi. "Bi, tolong dengerin gue dulu" Bang Ramzy tetap berusaha menahanku. "Maaf aku sibuk, Bang!" jawabku sambil terus pergi meninggalkan Bang Ramzy.
               Selesai acara aku lebih memilih ikut Ghea kerumahnya. Aku tidak ingin pulang, suasana hatiku benar-benar kacau. "Seriusan lu mau nginep disini?" tanya Ghea saat sampai di rumahnya. Aku mengangguk yakin. Pukul 7 malam Bang Indra datang menjemput, tapi aku tidak mau ikut pulang. "Ra, Bang Indra jemput tuh" Ghea menunjuk ke arah teras. Aku acuh tak acuh.
            "Raranya ngga mau pulang katanya, Bang" kata Ghea. "Itu anak kenapa sih? Papa nikah malah uring-uringan gitu" Bang Indra menggaruk rambutnya. "Dia butuh waktu buat adaptasi kayaknya, Bang. Apalagi tadi Bang Ramzy bawa cewek" Ghea mencoba menjelaskan kondisi sahabatnya. "Ramzy? Kenapa emang?" Bang Indra makin bingung. "Bang Indra ngga tahu kalau Rara deket sama Bang Ramzy?" Ghea malah ikut bingung. "Astaga! Gue kecolongan!" Bang Indra kesal sendiri. Ghea melihat Bang Indra dengan iba namun ia tidak bisa membantu apa-apa. "Bang Indra tenang aja, Rara aman kok disini. Pelan-pelan Ghea usahain bujuk Rara untuk pulang." Ghea mencoba menenangkan Bang Indra yang terlihat sangat kacau. Bang Indra pulang tanpa hasil, tapi ia tahu kalau sahabatnya ternyata berkhianat. Sahabatnya sudah menyakiti hati adiknya. 

Monday, July 29, 2019

PATAH (14)



           "Bang Indra, kalo orang bilang sayang tuh maksudnya gimana sih?" tanyaku pada Bang Indra. Bang Indra menatap aku tajam. "Yaa tergantung, sayang apa dulu nih? Bisa sayang sebagai adek, sayang sebagai teman atau sayang sebagai apa? Lagian kalo cowok bilang sayang mah jangan terpesona dulu, bisa aja dia sayang sama semua orang" jawab Bang Indra. Aku mengangguk-angguk sedikit kecewa. "Emang siapa yang bilang sayang sama lu, Ra?" sekarang Bang Indra yang bertanya. "Hmm ada deh, ehehe" jawabku malu-malu. "Capek gue deh denger lu di bohongin cowok, kalo ada yang deketin suruh ijin ke gue dulu yak!" Bang Indra memberi perintah. Aku manggut saja sebagai adik yang baik.
           Semenjak lulus kuliah dan bekerja, teman-teman Bang Indra jarang datang ke rumah. Rumah jadi semakin sepi, apalagi Tante Linda sudah tidak tinggal di sini. Suasana sepi ini membuat Papa semakin yakin untuk menikah lagi, Papa tidak peduli aku yang selalu menentang. Papa yakin bahwa aku butuh Mama baru, sedangkan aku merasa bahwa aku sudah mandiri.
             "Senyum, Ra!" Bang Indra memaksaku senyum sedangkan aku sudah malas sekali dengan acara pernikahan ini. Beruntungnya aku mengundang Ghea untuk menemaniku. "Ra, Mama baru lu cantik" Ghea mencoba memuji Tante Lintang. "Biasa aja" jawabku ketus. Sebenarnya kalau di lihat dengan teliti, Tante Lintang memang cantik untuk wanita seusianya. Wajahnya terlihat lebih muda namun pembawaannya dewasa.
              "Kak Rara, foto sekeluarga yuk" Bilqis menarik tanganku. Aku sebenarnya malas namun menurut saja demi lancarnya acara. Selesai foto bersama Bilqis dan Bang Indra sibuk menyapa tamu-tamu yang hadir sedangkan aku duduk saja bersama Ghea. "Lu ngga undang Kak Adam?" Ghea meledek aku. "Gilaaa aja gue ngundang dia, bikin rusuh acara" jawabku kesal. Ghea tertawa bahagia melihat wajahku yang manyun. "Ra, itu temen-temen Bang Indra ya? Ada yang ganteng ngga buat gue?" Ghea menujuk ke arah kanan kerumunan orang. Aku fokus pada satu orang dan aku benar-benar terkejut dengan apa yang aku lihat. Bang Ramzy datang bersama wanita dan wanita itu ia gandeng tangannya mesra. "Tapi gue liat-liat yang paling ganteng tetep Bang Indra deh" Ghea masih belum sadar dengan apa yang terjadi padaku. "Ra? Lu kenapa?" Ghea menggoyangkan tangannya di depan wajahku sampai aku tersadar.
              Aku menarik Ghea keluar gedung. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku benar-benar tidak menyangka dengan apa yang aku lihat barusan. "Ra, lu kenapa?" tanya Ghea sambil terus mencoba menenangkanku. "Gue sebenernya lagi deket sama temennya Bang Indra, tapi barusan gue lihat dia bareng cewek" aku menjelaskan sambil terus menangis. Air mataku tidak dapat di bendung. "Mungkin itu adik atau kakaknya, lu jangan nangis dulu" Ghea terus saja menenangkan aku yang tak juga berhenti menangis. 

Monday, July 22, 2019

PATAH (13)


          Kamarku sudah seperti kapal pecah, semua isi lemari aku keluarkan. Aku bingung pakai baju yang mana. Semua rasanya tidak ada yang cocok, semua baju terlihat sudah lama dan kumuh. Tanpa di sadari Adzan Magrib sudah berkumandang berarti sebentar lagi Bang Ramzy akan datang jemput. "Udah siap, Bi?" tanya Bang Ramzy saat aku menemuinya di teras. "Udah, langsung jalan aja yuk!" ajakku. Aku tidak pamit pada Papa dan Bang Indra karena sejak siang mereka tidak ada di rumah.
           "Kalo malem kok keliatan cantik gini, Bi" Bang Ramzy membisikkanku saat kita sudah sampai lokasi. Kita harus berbisik di telinga karena suara soundnya besar sekali. "Karena gelap jadi keliatan cantik, kalo terang keliatan aslinya" jawabku kesal. Bang Ramzy tertawa lepas kemudian merangkulku. Jantungku tidak dapat berdetak secara normal. Rasanya aku tidak ingin waktu berjalan, aku ingin waktu berhenti saat ini saja. Sepanjang malam Bang Ramzy menjagaku, penontonnya sangat banyak tapi aku selalu di dekap erat sampai tidak ada yang bisa menyentuhku selain Bang Ramzy.
        "Mau foto sama vokalisnya ngga? Gue kenal" Bang Ramzy menawarkan. Aku mengangguk mau karena suara vokalisnya sangat unik, aku yakin suatu saat pasti dia terkenal. "Wuih Ramzy bawa cewek, tumben! Tapi makasi banyak lu mau nonton gue" vokalis itu menyalami Bang Ramzy. Bang Ramzy menyampaikan kalau aku mau foto bareng, akhirnya kita foto bertiga. "Btw, pake dukun mana lu bisa dapet cewek imut gini?" vokalis itu merangkul Bang Ramzy, aku hanya mendengarkan mereka bercakap-cakap. "Adeknya temen gue, cantik kan?" jawab Bang Ramzy. Aku tersipu malu mendengar Bang Ramzy memujiku di depan temannya. Rasanya mau terbang tapi sayang aku tak punya sayap.
             "Makasi banyak ya, Bang! Aku seneng banget tadi" kataku saat turun dari motor Bang Ramzy. "Kapan-kapan kalo gue ajak lagi, mau?" tanya Bang Ramzy sambil mengedipkan satu matanya. Dasar genit! Kataku dalam hati. Aku hanya mengangguk setuju. Sangat setuju!! Bang Ramzy turun dari motornya dan menghampiriku. Ia memegang bahuku kemudian mencium keningku. Aku mematung, aku tidak tahu harus merespon apa. "Pantesan tadi temen gue heran banget, ternyata lu emang cantik" katanya sambil mengusap pipiku. Aku semakin mematung. "Gue balik ya, Bi. Makasi buat malam ini" kata Bang Ramzy dan ia segera naik motornya kemudian melaju pulang. Aku masih mematung, aku merasa ini seperti mimpi. Aku memegangi pipiku, tanganku, dan kakiku karena tidak percaya dengan apa yang baru saja aku alami. 

Saturday, July 20, 2019

PATAH (12)



          Setelah banyak malam terlewati dengan begadang, akhirnya Bang Indra dan kawan-kawannya lulus kuliah. Aku melihat wajah-wajah bahagia mereka saat merayakan kelulusan mereka di rumah. Mereka membuat pesta di halaman depan rumah. "Rara, sini ikutan. Ayam bakar bikinan gue enak banget loh!" Bang Rully yang paling heboh memanggilku. Aku yang asik mendokumentasikan moment sampai terkejut. "Iya, Bang! Nanti aku ke sana" jawabku cepat. "Enak apaan? Gosong nih!" Bang Indra menoyor kepala Bang Rully. Mereka langsung tertawa-tawa lagi tanpa beban. Rasanya ingin cepat wisuda juga melihat mereka bahagia seperti itu.
          Pagi hari aku membereskan perabotan dapur yang berantakan selesai acara. Bang Ramzy tiba-tiba saja muncul sambil mengucek matanya. "Eh, Bi. Maaf ya berantakan banget semalem" Bang Ramzy duduk di salah satu kursi yang ada di dapur. "Ngga apa, Bang. Seneng banget semalem pada ketawa lepas tanpa beban, bikin pengen cepet lulus" jawabku sambil terus mencuci sisa piring. "Eh, itu sampah mau di buang?" tanya Bang Ramzy saat aku hendak mengangkat dua plastik sampah besar. Aku mengangguk. "Sini gue aja yang buang" Bang Ramzy tanpa basa-basi langsung mengambil dua plastik besar dari tanganku. "Eh masa Bang Ramzy yang buang?" tanyaku merasa tak enak dengan tamu. "Santai, tapi tolong bikinin kopi ya" katanya sambil berlalu.
          Aku meracik kopi dengan takut, aku tidak tahu takaran yang pas untuk Bang Ramzy. Aku buat saja seperti biasa aku membuat untuk Papa. "Kopi buat Papa, Ra?" tiba-tiba saja Papa muncul di dapur. "Eh ini buat Bang Ramzy, Papa aku bikinin juga deh ya. Sebentar.." jawabku dan segera membuat satu kopi lagi untuk Papa. "Udah bangun, Om?" Bang Ramzy menyapa Papa selesai membuang sampah. "Sudah. Kamu nanti mau ke pameran seni ya?" tanya Papa pada Bang Ramzy. "Ngga, Om. Ngantuk banget semalem begadang" jawab Bang Ramzy. "Rara ikut?" tanya Papa padaku. "Hah? Aku mana paham pameran seni gitu" jawabku kaget. "Loh nanti siang Indra mau ke sana sama Bilqis, kamu ngga mau temenin?" tanya Papa lagi. Aku hanya diam mematung. Bang Ramzy yang tahu situasi segera mengajak Papa ngopi di teras. "Ngopi di depan yuk Om, biar dapet udara segar" ajak Bang Ramzy. Papa setuju dan mengekor.
          Aku duduk di sofa menyalakan televisi tapi tidak ada acara yang bagus. Pikiranku berlarian kesana-kemari. "Mukanya jangan di tekuk dong, Bi" suara Bang Ramzy mengejutkanku. Aku mengehela nafas panjang. "Ntar malem jalan sama gue yuk" ajak Bang Ramzy sambil membetulkan jaketnya. "Kemana?" tanyaku. "Temen gue ada yang manggung deket sini, ntar malem gue jemput ya. Sekarang gue mau balik dulu" Bang Ramzy mengacak-acak rambutku kemudian berlalu pergi. Aku yang tadinya kesal jadi berbunga-bunga. Bang Ramzy selalu sukses mengubah perasaan hatiku yang buruk menjadi baik bahkan sangat baik :)

Friday, July 19, 2019

PATAH (11)



         "Ra, di cariin Ka Adam tuh" Ghea yang baru masuk ke dalam kelas menunjuk sesosok lelaki yang berdiri sambil senyum-senyum di depan kelas. "Males ah gue" jawabku jujur. "Kalo lu ngga samperin dia, dia bakal masuk ke kelas" Ghea memperingati. Aku menarik nafas panjang kemudian menghampirinya ke depan kelas. "Ada apa?" tanyaku langsung pada intinya. "Gue mau kasih lu sesuatu" ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Coklat?" tanyaku heran saat melihat apa yang ia ambil. "Iya, buat lu" katanya dengan senyum yang tak pernah hilang. "Yaa makasih, gue balik ke dalem ya ka. Mau belajar!" jawabku ketus tak peduli dengan reaksi dia.
          "Lu di kasih coklat? Waah enak bangeet" Ghea dengan muka manisnya. Aku hanya mengangguk lalu duduk di sampingnya. "Ka Adam nembak lu, Ra?" tiba-tiba saja Ghea bertanya seperti itu. Aku menggeleng sekuat tenaga. "Gue kan udah bilang kalo gue ngga minat sama dia. Lagian dia udah gue jauhin masih aja sih usaha terus" aku menggerutu. Ghea hanya tertawa lepas. Aku menatap Ghea tajam. "Kok ketawa sih?" tanyaku heran. Ghea masih saja tertawa tanpa henti.
          Tepat Adzan Magrib aku sampai rumah, rasanya lelah sekali dengan jadwal hari ini. Semua dosen memberi tugas dan semua dosen meminta dikumpulkan hari ini. Hampir saja patah tanganku dipaksa menulis banyak. "Baru balik?" Bang Indra yang sedang mengerjakan skripsi menyapaku. "Gilaaa aku capek banget, Bang! Aku mau langsung tidur yaa" keluhku yang ingin segera masuk kamar. "Gue mau ngobrol sama lu, Ra" Bang Indra menahanku. Aku akhirnya duduk di sofa dekat Bang Indra.
           "Mau ngobrol apa?" tanyaku tanpa basa-basi. "Soal Papa dan Tante Lintang" Bang Indra menutup laptopnya. Aku menatap Bang Indra tajam, menanyakan apa maksudnya? Bang Indra membenarkan posisi duduknya dan menarik nafas panjang. "Gue setuju kalo Papa mau nikah lagi, kebetulan Tante Lintang itu teman lama Papa. Mereka memang dekay dari dulu, bahkan ssbelum Papa ketemu Mama" Bang Indra mencoba menjelaskan fakta yang aku belum tahu. "Aku ngga nyangka Bang Indra bisa secepat itu setuju. Aku sih ngga ngerasa Papa perlu nikah lagi, kita kan udah dewasa!" jawabku ketus. Aku beranjak dari dudukku dan masuk ke dalam kamar. Bang Indra masih terdiam dan tidak menyangka kalau Rara sangat tidak ingin Papa menikah lagi. Aku di dalam kamar hanya menangis sejadi-jadinya. Aku kecewa dengan Bang Indra yang begitu mudahnya menerima orang lain untuk masuk ke dalam keluarga ini. Selain Mama baru, Bang Indra akan punya adik baru dan itu jelas sangat mengganggu. Bagiku, Bang Indra adalah abang aku satu-satunya dan aku harus menjadi adiknya Bang Indra satu-satunya juga!
          

Thursday, July 18, 2019

PATAH (10)



          Dua jam lebih aku duduk di kedai kopi bersama Bang Ramzy. Topik tentang Papa mau menikah lagi tidak kami bahas panjang, kami lebih banyak membahas hal-hal menyenangkan. "Kalo ada konser jazz aku pengen nonton deh, Bang Indra ngga pernah mau ngajak aku. Kata Bang Indra aku tuh masih anak kecil, huft.." aku mengeluh setelah Bang Ramzy bilang kalau dia punya banyak teman yang sudah sering manggung dari satu kota ke kota lain. "Yaa kapan-kapan lu gue ajak deh, Bi" katanya. Aku terkejut, selain karena ajakannya juga karena panggilannya padaku. "Bi?" tanyaku. Bang Ramzy tersenyum manis. "Bintang" jawabnya singkat. Aku menatap tajam wajah Bang Ramzy seperti tidak percaya. "Gue mulai sekarang manggil lu Bintang aja ya, lebih dewasa dan bercahaya. Kalo Rara tuh emang terdengar kayak anak-anak" Bang Ramzy menjelaskan dengan santai sedangkan hati aku sudah porak-poranda. Muka aku pasti sudah sangat merah. "Ada yang panggil lu Bintang selain gue?" tanyanya. Aku menggeleng mantap. "Bagus, berarti gue spesial dan satu-satunya ya" ia tersenyum lagi. Rasanya jantungku mau lepas!
          Sepanjang perjalanan pulang pikiranku campur aduk. Awalnya memikirkan Papa yang mau menikah lagi, lalu panggilan baru yang spesial dari Bang Ramzy. "Pegangan, Bi. Nanti kalo lu jatoh, gue yang babak belur di habisin Indra" katanya sambil menarik tanganku. Aku yang sedang tidak karuan segera memeluk Bang Ramzy. "Makasi ya, Bang" kataku. "Santai, kalau butuh temen ngobrol gue selalu siap buat lu. Gue kan sayang sama lu, Bi" katanya sambil memegangi tanganku lembut. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara memulihkan hatiku yang sudah tidak karuan ini.
           "Kemana aja sih, Ra? Bikin panik aja" Bang Indra sudah menungguku di teras rumah. Aku hanya menatap Bang Indra lekat-lekat, aku tidak tahu harus menjawab apa. "Tenang, Ndra. Dia ama gue kok daritadi" Bang Ramzy memegang  bahu Bang Indra untu menenangkan. Aku segera masuk kamar, aku tidak peduli dengan apa yang ada di pikiran Bang Indra. Bang Indra terlihat bahagia bertemu Tante Lintang, Bang Indra seperti mendukung kalau Papa ingin menikah lagi. "Lu bawa kemana adek gue?" tanya Bang Indra. "Ngopi, dia masih kaget bokap lu ngenalin temen deket secara tiba-tiba gitu. Dia cuma butuh waktu kok! Gue balik ya" Bang Ramzy menjelaskan dan segera pulang. Bang Indra baru tersadar bahwa adiknya pasti belum siap dengan hadirnya sosok baru di keluarga, karena bagi Rara almarhumah mama dan Tante Linda adalah sebaik-baiknya seorang ibu. Rara tidak akan siap dengan orang lain yang akan menjadi mama barunya. 

Tuesday, July 16, 2019

PATAH (9)



         Hari yang di tunggu akhirnya datang juga, hari pernikahan Tante Linda dan Om Satria. Nuansa penuh merah muda kesukaan Tante Linda memenuhi gedung resepsi pernikahannya. Tante Linda terlihat cantik dengan gaun putihnya bersanding dengan Om Satria. "Selamat bahagia ya Tante, Rara sayang banget sama Tante" aku memeluk erat tubuh Tante Linda. Tante Linda tersenyum senang, melihat banyak sekali kerabat yang datang.
          "Ra, si Tante kenapa bisa beda gitu ya? Cantik banget" suara Bang Indra tiba-tiba saja ada di sampingku. Aku menoleh terkejut tapi setuju dengan pendapat Bang Indra. "Tante kan jarang dandan, jadi pas di dandanin terlihat cantik banget" aku terus saja menatap Tante di pelaminan yang sibuk bersalaman dan berfoto bersama. "Kalian di sini rupanya" suara Papa terdengar dari kejauhan. Aku melihat Papa berjalan bersama 2 orang perempuan. "Kenalin ini Tante Lintang sama Bilqis" Papa memperkenalkan kedua perempuan di sampingnya. Aku dan Bang Indra bersalaman dengan mereka satu persatu. "Rara ternyata lebih cantik dari fotonya, Papa kamu sering cerita tentang kamu" Tante Lintang membuka pembicaraan. Aku canggung melihat Tante Lintang dan Papa sudah sangat dekat. "Cantik karena lagi di dandanin aja" Bang Indra meledek. Aku hanya manyun dan menatap Bang Indra sinis. "Rara sudah semester berapa sekarang?" Tante Lintang masih mencari topik. "Semester dua" jawabku singkat. "Skripsi kamu gimana, Ndra?" Tante Lintang berpindah menatap Bang Indra. Bang Indra tertawa-tawa karena skripsinya memang belum ada kemajuan. "Bilqis ini suka sekali melukis loh, nanti katanya mau masuk Fakultas Seni juga seperti Indra" Tante Lintang terus saja membuka obrolan, aku yang merasa asing segera pergi meninggalkan mereka tanpa pamit.
          "Rara, kok di luar?" Bang Ramzy yang baru datang terkejut melihat aku sedang duduk termenung di luar gedung. "Ngga apa-apa. Aku mau nyari udara segar aja" kataku dan beranjak dari duduk. "Eh, lu mau kemana? Gue temenin ya, tapi gue salaman dulu sama Tante Linda" Bang Ramzy menahan aku. Aku menurut, menunggunya sampai keluar lagi. Saat ini memang sepertinya aku butuh teman.
          Tak berapa lama aku menunggu, Bang Ramzy keluar dan menggandengku menuju parkiran motor. "Ngopi yuk" ajak Bang Ramzy. Aku menurut saja karena aku juga tidak tahu akan pergi kemana. Sampai di kedai kopi Bang Ramzy segera memesan espresso dan greentea latte. "Kenapa bete?" Bang Ramzy membuka topik. Aku menghela nafas panjang. "Lu takut bokap bakal nikah lagi?" Bang Ramzy frontal karena aku tak juga menjawab pertanyaannya. "Emang seberapa penting sih nikah lagi buat Papa? Anak Papa kan udah pada gede, aku juga udah berusaha banget buat mandiri, bisa masak, bangun pagi dan lainnya" aku mengeluarkan keganjalan hati. Bang Ramzy tersenyum. "Kenapa?" tanyaku ketus karena melihat respon Bang Ramzy yang menyebalkan. "Kebutuhan bokap pasti ada yang lu ngga bisa penuhin, dan sebagai anak harusnya lu paham" Bang Ramzy menatapku tajam. Aku tidak tahu harus menjawab apa.

Friday, July 12, 2019

PATAH (8)



          Hari ini adalah hari tergabut dalam hidup, semua mata kuliah dosennya tidak hadir. "Mau makan apa nih, Ra?" Ghea bertanya saat kita duduk di kursi kantin. "Siomay aja deh" jawabku singkat. Ghea masih duduk di kursinya dan membuka ponselnya yang baru saja berbunyi. "Astagaa, gue harus balik nih. Nyokap ngabarin kucing gue ilang!" Ghea segera lari tanpa menghiraukan aku yang duduk sendirian. Memang dasar Ghea itu sayang sekali dengan kucing dirumahnya. "Hati-hati, Ghe" kataku setengah berteriak karena Ghea berlari cukup cepat.
          "Satu porsi siomay campur tanpa kol dan pare" suara senior yang menyebalkan itu tiba-tiba ada di sampingku. Ia membawa sepiring siomay kesukaanku dengan bangganya. "Gue ngga pesen" kataku ketus. Senior itu tidak peduli, ia tetap duduk disana sambil memakan siomay kepunyaannya. Aku tidak menyentuh sedikitpun piring yang ia tawarkan untukku. "Udah makan, nanti sakit loh. Oh, mau gue suapin?" ia masih membujuk. "Ish.. Ya udah sini gue makan, daripada harus di suapin sama lu" aku segera menarik sepiring siomay di meja. "Alhamdulillah" ia tersenyum sambil terus memakan siomaynya.  Kami berdua makan dengan serius tanpa ada yang bersuara.
          "Makasi ya" kataku setelah selesai makan dan bergegas ingin meninggalkan dia. Ia hanya manggut-manggut tapi mengekor di belakangku. "Eh, ngapain sih?" kataku saat melihat Kak Adam masih mengekor sampai keluar fakultas. "Lu mau pulang? Gue anter aja ya?" Kak Adam tersenyum lebar seperti iklan pasta gigi. "Ngga usah!" jawabku tegas. Aku segera berlari dan mencoba menghindari Kak Adam. Entah kenapa aku masih saja kesal dengan kelakuannya yang mempermalukan aku di kelas. Sekeras apapun ia meminta maaf, rasanya tetap saja seperti berbekas.
          Sampai di rumah aku segera merebahkan tubuhku di kasur kamar dan menelpon Ghea. "Ghe, gimana kucing lu?" tanyaku saat sambungan telpon tersambung. "Udah ketemu kok, ke rumah tetangga gue ternyata. Ada apa nih telpon?" Ghea balik bertanya. "Gue tadi di traktir siomay sama Kak Adam" kataku datar. "Eh? Dia ngerasa bersalah banget loh, Ra. Waktu itu dia pernah nanyain lu ke gue, pas gue bilang lu abis putus dia kaget dan nyesel banget" Ghea bercerita panjang lebar. "Gheeee, lu kenapa bilang kalo gue abis putus sih? Dia jadi kayak modus gitu ke gue, males banget gue!" aku masih tak habis pikir kalau Ghea bisa cerita hal pribadi seperti itu ke senior. "Ya ngga apa juga, Kak Adam lumayan ganteng kok" Ghea malah meledek. Aku jadi kesal dan segera memutus sambungan telpon. Ka Adam ganteng? Duh bukan selera aku banget deh! 

Wednesday, July 10, 2019

PATAH (7)



          Malam kesekian setelah menyandang status jomblo, aku sering menghabiskan waktu di teras. Menikmati udara malam dengan secangkir teh hangat di tambah berselancar di dunia maya. Dunia maya sering membuatku senyum-senyum sendiri dengan jokes-jokes konyol akun receh. Dunia maya malam ini berbeda, aku mendapati akun Obi muncul dengan postingan terbaru yang menusuk jantung. Postingan berisi foto dia bersama seorang wanita dan dikomentari oleh wanita yang ia tag "akhirnya di post setelah berbulan-bulan di simpan" aku membaca komentar itu berulang kali. Tulisannya tetap sama, tidak ada yang berubah. Artinya, aku selama ini di selingkuhi tanpa aku tahu. Astaga... Aku melempar ponselku ke meja dan menatap langit luas, mencari jawaban atas segala kebodohanku.
          "Masih aja galauin orang yang sama?" suara Bang Ramzy mengejutkan aku yang masih menatap langit. "Aku ngga siap aja nerima kenyataan yang menjijikan ini" suaraku serak nyaris menangis tapi aku berusaha menahannya. "Ya udah gue temenin deh kalo lu mau ngeluarin unek-unek lu" Bang Ramzy duduk di sampingku dan menyalakan rokoknya. "Aku ngga kuat sama asep rokok Bang, aku masuk aja ya" aku beranjak dari dudukku namun Bang Ramzy menarik tanganku. "Eh jangan dong, ya udah deh gue ngga ngerokok. Kita jajan aja gimana? Lu suka jajan apa? Yok gue jajanin" Bang Ramzy terdengar tulus. "Es krim" jawabku jujur dan kami berjalan menuju kedai es krim dekat rumah. Sepanjang jalan justru Bang Ramzy yang banyak bercerita, ia cerita tentang kuliahnya yang menyenangkan dan bertemu teman-teman yang asik. Bang Ramzy mencoba mengalihkan fokusku agar tidak sedih lagi. 
           "Bang Ramzy skripsinya udah sampai mana?" tanyaku asal saat pesanan es krim kita sudah datang. "Masih bab 1, susah banget cari materi di bidang seni. Udah gitu sumber minimal 5 tahun kebelakang, yang jadul-jadul udah ngga dipake sama dosen pembimbing gue" Bang Ramzy berkeluh-kesah. Mendengar Bang Ramzy bercerita seperti melihat Bang Indra. Wajahnya saja mereka terlihat dewasa, saat mengeluarkan isi hati langsung terlihat aslinya seperti apa. "Rully tuh udah mau seminar proposal, dia gitu-gitu kalo masalah kuliah ngga main-main. Serius banget!" Bang Ramzy memuji temannya. Aku terkejut juga dengan fakta Bang Rully, yang aku tahu Bang Rully itu yang paling lucu dan senang bercanda.
         Perjalan pulang kerumah jalanan mulai ramai, oleh motor lalu-lalang. Beberapa kali aku nyaris di senggol motor yang lewat, akhirnya Bang Ramzy menggandeng tanganku agar jalanku tidak terlalu jauh darinya. Awalnya aku merasa biasa saja, Bang Ramzy sama seperti Bang Indra yang menjaga adiknya. Setelah sampai rumah dan ia melepas genggaman tangannya aku baru merasa aneh, rasanya ingin di genggam terus oleh Bang Ramzy. Perasaan macam apa ini? 

Tuesday, July 9, 2019

PATAH (6)



         "Ra, tugas Pak Darma udah selesai belum?" seperti biasa Ghea mengingatkanku akan tugas. "Belum.. Gue cabut aja deh" jawabku karena takut dengan hukuman Pak Darma. "Ehh tugasnya dikit kok, lu salin aja punya gue tinggal kata-katanya bedain dikit" Ghea melarangku cabut dari kelas. Aku menurut dan cepat-cepat menyalin tugas Ghea. Ghea memang sahabat yang sangat baik. "Bell, Pak Darma ada kabar ngga?" Ghea bertanya pada Bella selaku penanggung jawab kelas. "Beliau cuma bilang dateng agak telat, ngga ngasih tugas atau apa. Ngga jelas" Bella menjawab acuh. Berarti kesempatan untuk menyalin tugas Ghea semakin besar. "Selamat Pagi, perkenalkan saya Adam asisten Pak Darma. Saya di sini ingin menyampaikan tugas yang diberikan Pak Darma. Tugas kelompok presentasi seperti biasa, untuk materinya nanti saya beri pada penanggung jawab kelas ya" seorang senior tiba-tiba masuk kelas dan memberikan tugas. Aku masih asik menyalin tugas punya Ghea dengan sedikit modifikasi kata.  Ghea di sampingku fokus mendengarkan arahan dari asisten baru Pak Darma.
         "Udah selesai dek nyonteknya?" dengan sangat mengejutkan senior itu menghampiriku. Aku dengan tidak siap menatap dia penuh ketakutan. "Tolong ya buat yang lain, kebiasaan buruk dari SMA jangan di bawa ke kampus. Malu-maluin! Kalian sudah mahasiswa, nyontek udah harus kalian tinggalin!" senior itu memaki-maki aku dengan enaknya. Seisi kelas menatapku dengan iba. "Buat kali ini saya masih maafkan ya, tapi besok-besok kalau saya lihat lagi yang seperti ini saya akan laporkan ke Pak Darma" lanjutnya kemudian duduk di kursi depan untuk mengawasi kami berdiskusi untuk presentasi minggu depan. Tugas yang aku contek sudah selesai dan sudah dikumpulkan oleh Bella.
          Pukul 12 tanda istirahat dan pergantian mata kuliah. "Baik kita jumpa minggu depan, saya harap presentasi kalian sudah dipersiapkan dengan baik" senior itu menutup mata kuliah. Selesai dia berbicara aku segera keluar kelas, muak sekali aku dengan gayanya yang sok pintar. "Rara" suara senior itu mengekor aku yang keluar kelas. Aku tetap melanjutkan langkahku. "Rara" mengulang diikuti dengan menarik ranselku. "Ada apa ya kak? Masih belum cukup bikin gue malu?" kataku ketus tepat di depan mukanya. "Gue mau minta maaf, tadi gue keterlaluan" suaranya terdengar memohon. Aku masih acuh. "Gue traktir bakso gimana? Untuk tanda permintaan maaf?" ia masih terlihat memohon. "Gue ngga terima suap ya, Kak!" aku langsung pergi meninggalkan senior yang belagu itu. Untungnya ia tidak mengekor aku lagi, kalau sampai mengekor aku bisa habisi dia dengan segala caci maki yang tersimpan di pikiranku. 

Monday, July 8, 2019

PATAH (5)



          Malam minggu kesekian akhirnya orang yang aku rindukan datang. Jaket jeans kesayangannya masih selalu dipakainya. "Kemaleman ya?" katanya setelah duduk di kursi teras rumahku. Aku tersenyum simpul. "Akhirnya datang bukan karena terasa kemalaman, tapi karena terasa sudah lama" jawabku meledek. Ia tersenyum namun seperti separuh hati. "Aku kayaknya ngga bisa bikin kamu nunggu terus kayak gitu" katanya kemudian. Aku menatapnya tajam mencari jawaban. "Kita udahan aja ya, Ra" jawabnya tanpa aku tanya secara lisan. Seperti petir di malam hari, hatiku hancur. Ia pergi tanpa pamitan lagi, aku tak mengucapkan sepatah katapun sampai ia benar-benar menghilang dari hadapanku.
           Sepanjang malam aku berusaha tidur tapi tidak bisa. Tiba-tiba hari sudah pagi. "Pagi, Ra" Papa menyapaku yang berjalan dengan malas-malasan, aku menjawab seadanya. "Ada yang habis putus cinta tuu" Bang Indra meledek, aku hanya memanyunkan bibir. Bang Indra memang selalu menjadi orang pertama yang tahu segala kisahku. Papa termasuk orang tua yang cuek jadi tidak terlalu ambil pusing dengan permasalahan anak muda anaknya.
             "Bikin kopi enak kali ya" kataku dalam hati dan segera menuju ke dapur. Di dapur sudah ada Bang Rully dan Bang Ramzy yang sibuk membuat mie instan.
"Eh ada Rara, mau ngapain Ra?" Bang Rully selalu yang paling ramah. "Mau bikin kopi, Bang" jawabku jujur dan segera mengambil kopi untuk di seduh. "Suka minum kopi, Ra?" tanya Bang Ramzy. "Buat ilangin sedih aja" jawabku jujur karena masih kalut, aku sampai tidak sadar sejak tadi Bang Ramzy memperhatikanku. "Baru putus?" tanyanya lagi. Aku terkejut hampir menjatuhkan cangkir. Pasti Bang Indra cerita ke temen-temennya, dasar Abang yang engga bisa jaga rahasia!!
            "Cewek cantik kayak kamu, pasti cepet dapet gantinya kok!" Bang Ramzy setengah berbisik ketika mereka sudah selesai dan menuju kamar Bang Indra. Aku tersenyum simpul. Menurutku Bang Ramzy termasuk ganteng di banding teman Bang Indra yang lain, tapi Bang Ramzy jarang main kerumah. Mendengar pujian Bang Ramzy rasanya seperti terbang, menghapus sedikit luka yang masih basah. "Yeeee Ramzy gombal aja, di tinju sama Indra baru tahu lo" Bang Rully mengekor.
          Malam hari di teras rumah, aku masih meratapi kisah cintaku. Mengapa ya rasanya menyesal? Sepertinya memang dahulu aku yang salah. Aku terlalu mengabaikan Obi. Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Sibuk dengan tugas, sibuk dengan persiapan pernikahan Tante Linda dan sibuk mempersiapkan diri untuk ditinggal Tante Linda. Aku merasa amat bersalah. "Masih ngelamun aja lo" suara Bang Ramzy membuyarkan lamunanku. "Nyari Bintang, Bang. Tapi ngga keliatan, ketutup polusi Jakarta" jawabku asal. "Nyari Bintang? Lah ini Bintangnya ada di depan mata gue" sahut Bang Ramzy sambil menunjuk aku. Aku tertawa terpingkal, memang ya temannya Bang Indra kocak-kocak semua. "Eh loh kok ketawa? Nama lu kan Kejora, itu Bintang kan?" tanyanya sambil berlalu. Bang Ramzy menaiki motornya dan meninggalkanku yang tidak tahu harus bagaimana. Hatiku tergelitik tapi juga hangat, rasanya nyaman.

Wednesday, July 3, 2019

PATAH (4)


          "Selamat pagi, Bang Indra" aku menyapa Bang Indra yang masih kucek-kucek mata menuju meja makan. "Wuiih ada angin apa nih seorang Rara bangun pagi" Bang Indra malah meledek namun matanya yang tadi masih sipit sekarang terbuka lebar. Aku dan Tante Linda hanya bisa tertawa melihat ekspresi Bang Indra yang lucu. Aku dari subuh sudah bangun dan membantu Tante Linda dari mencuci piring, beres-beres meja makan dan masak. Hari ini kita masak capcay, seru sekali masak bareng Tante Linda. Aku bantu potong-potong sayuran sampai di ajari menumis dan bumbu-bumbunya. Baru satu hari aku sudah merasa sangat berbakat masak, hehe maaf kalau ini sangat berlebihan.
          Kami berempat sarapan di meja makan sambil membicarakan kesiapan acara siang ini. Setiap sabtu minggu kami memang selalu sarapan bersama, karena jika hari biasa pasti Papa sudah berangkat kerja dari subuh. Tante Linda terlihat bahagia sekali hari ini, kebahagiaannya seperti menular kepada kami semua.
          Tepat pukul 2 siang Om Satria dan keluarganya datang. Mereka memakai baju bernuansa biru, sangat sejuk melihatnya. Wajah orang tua Om Satria terlihat sangat bahagia. Acara berjalan dengan lancar, semua berbahagia tanpa ada kendala. Tanggal pernikahan yang memang sudah direncanakan oleh Om Satria dan Tante Linda pun segera di setujui kedua keluarga. "Terima kasih jamuannya yang sangat hangat, kami permisi pulang dulu" Ayah Om Satria berpamitan. Kami semua bersalaman sambil mengantar mereka ke depan. Tante Linda terus saja memegangi emas yang kini melingkari jari manisnya. Aura bahagia Tante Linda sangat terterasa memenuhi rumah ini. "Bahagia selalu ya, Tante" kataku yang segera memeluknya.
           Selesai acara kami semua istirahat, dekorasi yang masih terpajang kami biarkan saja untuk menghias ruangan. "Si Obi kok ngga pernah kesini lagi?" Bang Indra yang sejak tadi main game disebelahku tiba-tiba bersuara. "Sekarang aku LDR, Bang" jawabku singkat. "Emang enak LDR?" tanyanya lagi. Aku hanya mengangkat bahu. Sebenarnya sudah lumayan lama aku tidak berkabar dengan Obi. Kesibukan kuliah di tambah kabar Tante Linda mau menikah memenuhi isi otak dan hati sampai aku lupa kalau punya pacar. Masa SMA kelas 3 hampir setiap malam minggu dia datang kerumah, tapi semenjak ia kuliah di Malang belum pernah kerumah lagi. "Bagus sih kamu kan harus fokus belajar, kalo di samperin Obi mulu malah ngga belajar kamunya" Aku hanya mengiyakan kata-kata Bang Indra. "Obi, lagi sibuk? Aku mencoba mengetik chat untuknya, tapi tidak aku kirim. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal saat ini dan lebih baik aku menghindar dahulu. 

Friday, June 28, 2019

PATAH (3)



           Sudah pukul sebelas malam dan aku masih terjaga di ruang tengah. Dekorasi sudah selesai, hasilnya sangat cantik untuk acara lamaran. Bang Indra memberi kesan merah muda dan biru sesuai warna kesukaan Tante Linda dan Om Satria. "Loh Dek, belum tidur?" suara Papa mengejutkan aku. "Iya, nungguin Papa" jawabku singkat. Papa duduk di sofa dan membuka jas serta dasinya. Aku mengambilkan Papa air dingin. "Kamu harusnya tidur cepat, besok kan ada acara. Nanti kamu ngantuk." Papa merebahkan badannya sambil mengamati hasil dekorasi. "Kalo nanti Tante Linda nikah, kita gimana?" aku membuka diskusi yang sejak pagi aku pendam. "Anak Papa kan sudah pada besar, sudah bisa mengurus diri sendiri. Keluarga kita akan baik-baik saja, Dek" Papa menatap aku. Aku mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Semenjak Tante Linda tinggal disini, aku ngga ngerasa kesepian." aku berusaha menahan air mata. Papa terdiam dan mencoba mencari jawaban di langit-langit ruangan. "Tante Linda berhak bahagia, Dek. Papa ngga mungkin menahan Tante kamu itu disini. Tantemu itu harus menjalani kehidupan di level selanjutnya" Papa menarik nafas panjang.
           "Loh kok pada kumpul disini?" suara Tante Linda terdengar dari belakang. Papa tersenyum simpul. "Keponakanmu ini masih belum bisa terima sebentar lagi bakal di tinggal kamu, Lin" Papa melirikku. Aku mendengus kesal. Tante Linda duduk di sampungku dan memelukku hangat. "Maafkan Tante yang ngga bisa nemenin Rara lagi, tapi Tante janji kalo Tante akan selalu ada si saat Rara butuh" suara Tante Linda sangat menghangatkan hati. "Ajarin Rara masak kayak Tante" aku memeluk Tante Linda makin erat. Tante Linda mengiyakan kemauan aku, padahal Tante Linda tahu kalau aku goreng telur saja harus pakai jurus Captain Amerika.
          Malam itu akhirnya aku bisa merelakan Tante Linda untuk melanjutkan kehidupannya di level yang lebih tinggi. Nantinya mungkin aku akan sangat kerepotan, tapi aku janji untuk mandiri. "Kamu harus belajar masak yang bener, nanti kan kamu juga akan nikah. Jangan sampe setiap masak haris pakai baju dinasnya Captain Amerika, ahaha" Tante Linda meledek. Aku memasang muka kesal tapi tak kuasa untuk terus memeluknya.
          "Sudah yuk tidur, Papa udah ngantuk bangeet" Papa bergegas menuju kamarnya. Aku dan Tante Linda juga menuju kamar kami masing-masing. Besok harus menjadi hari yang paling bahagia untuk Tante Linda dan juga keluargaku. Aku jadi tidak sabar menunggu hari esok. 

Thursday, June 27, 2019

PATAH (2)



          Hari ini aku bolos kuliah, tidak ada semangat sama sekali untuk menuntut ilmu disaat pikiran sedang campur aduk. "Raa.. Kamu masih tidur?" suara Tante Linda dari depan kamarku. Penuh kekuatan aku mengarahkan badanku untuk bangun dan membuka pintu kamar. Aku lihat Tante Linda masih menggunakan daster. "Kamu bukannya ada kuliah pagi, Ra?" Tante Linda mengusap rambutku yang sudah sangat berantakan. Aku hanya menggeleng malas. Energi dalam tubuhku seolah pergi dari badan. "Ya sudah sarapan yuk" Tante Linda merangkulku dan mengajakku ke meja makan. Meja makan sudah tersedia nasi goreng dan buah anggur kesukaan Papa. Aku duduk dan segera makan, aroma masakan Tante Linda seolah menghipnotis untuk segera makan.
          "Besok Om Satria dateng jam berapa?" aku mencoba basa-basi. Muka Tante Linda terlihat bersalah dan aku jadi tidak tega. "Sekitar jam 2 siang" jawab Tante Linda dengan senyum yang agak di paksakan. Aku melanjutkan makan dengan pikiran yang campur aduk. Setahun setelah Mama meninggal, semua keperluan rumah ini diambil alih oleh Tante Linda. Tante Linda adalah adik Papa paling kecil. Tante Linda satu-satunya adik Papa yang belum menikah. Keberadaan Tante Linda di rumah ini sangat membantu aku, Bang Indra dan Papa untuk bengkit dan tidak terpuruk atas kepergian Mama. Lantas jika sekarang Tante Linda mau menikah, bagaimana keadaan keluarga aku?
          "Kapan acara pernikahanannya?" tanyaku lagi. Tante Linda memandangiku lama. "Sekitar 3 bulan lagi" jawabnya singkat. Kami kembali pada kemelut pikiran kami masing-masing. "Tan, aku udah telpon Bu Mimi untuk makanan besok beliau siap" Bang Indra segera duduk dan mengambil piring untuk sarapan. Tante Linda tersenyum dan berterima kasih. "Ra, lu bolos kuliah kan? Ntar bantuin gue dekor ruang depan ya" Bang Indra masih asik dengan nasi gorengnya walau mulutnya terus saja bicara untuk acara besok. Aku heran kenapa Bang Indra sepertinya tidak merasa kehilangan seperti aku? Bang Indra malah terlihat amat bersemangat. "Indra, dekor sama Tante aja. Rara biar kuliah kasian masih semester awal udah di ajarin bolos" Tante Linda menatap Bang Indra sungguh-sungguh. "Ngga apa kok, Tan. Aku emang males kuliah hari ini" jawabku singkat tanpa menatap Tante Linda.
          Selesai sarapan aku dan Bang Indra sibuk mendekorasi ruang depan untuk acara lamaran Tante Linda. "Abang kok keliatan semangat sih?" tanyaku sambil menggunting kertas-kertas sesuai arahan Bang Indra. "Ya masa mau bete kayak lu? Lagian Tante Linda itu udah banyak berjasa buat keluarga kita, masa kita cuma suruh bantuin gini aja ngga mau sih? Papa nih yang kasih mandat langsung. Lu tau sendiri Papa kalo kerja pagi sampe malem, mana ada waktu buat beginian!" Bang Indra menjelaskan panjang lebar. Aku setuju sih, tapi ini kan artinya Tante Linda akan pergi dari rumah ini. Aku masih belum bisa berpikir jernih apa yang akan terjadi dengan rumah ini tanpa adanya Tante Linda? "Ra, gunting gitu doang aja lama banget lu. Untung lu ngga masuk jurusan seni kayak gue, bisa kena hukum terus deh sama dosen" Bang Indra meledek aku yang masih menggunting satu pola, sedangkan Bang Indra sudah selesai lima pola. Akhirnya aku bisa tertawa dan sejenak melupakan pikiran-pikiran jenuh. 

Wednesday, June 19, 2019

PATAH (1)




         "Gue capek ngerjain tugas muluuu" siang itu aku mengeluh pada sesosok perempuan mungil berkacamata yang asik menulis laporan. "Menurut gue ini ngga banyak kok, kita kerjain sekitar dua jam juga selesai" perempuan mungil itu masih asik menulis laporannya. "Gilaa yaa, kalo di FTV kuliah tuh cuma jalan-jalan ajaaa.. Ini tugas terus ngga ada habisnyaa" aku masih mengeluh dan menaruh wajahku pada kertas-kertas laporan yang tak kunjung selesai. "Kebanyakan nonton FTV sih lu, Ra" perempuan mungil itu tak juga tertarik untuk istirahat, ia tetap asik menulis laporan.
          Aku Kejora tapi biasa di panggil Rara. Kuliahku baru semester satu tapi tugasnya seperti orang sudah semester lima! Wanita mungil yang rajin itu sahabat baruku, namanya Ghea. "Gue udah selesai nih, lu mau ngerjain apa langsung balik aja?" Ghea mengganggu istirahatku yang tenang. Aku hanya memberi isyarat untuk langsung pulang, aku sama sekali tidak minat untuk mengerjakan laporan yang membosankan itu. Ghea merapikan kertas dan buku-bukunya, aku-pun mengekor.
          Panas terik kota Jakarta memang tidak ada duanya, rasanya ingin segera sampai rumah dan minum es teh lemon buatan tante Linda. "Ra, duluan yaa" Ghea keluar dari Bus Transjakarta sambil melambaikan tangan. "Hati-hati, Ghe" ucapku. Teras rumah sudah ramai dengan teman-teman Bang Indra. Aku mengucap salam yang segera di jawab kompak oleh teman-teman Bang Indra. "Baru pulang, Ra?" Bang Rully berbasa-basi. Bang Rully ini yang paling sering main kerumah dan yang paling humoris diantara yang lain. "Iya, Bang. Aku masuk dulu ya" jawabku sopan.
          Sampai kamar aku segera berganti pakaian kemudian mencari Tante Linda. "Bang, Tante Linda mana?" tanyaku pada Bang Indra yang sedang menyeduh kopi. "Kerja kayaknya, tadi keluar pakai baju formal gitu" jawab Bang Indra sambil berlalu menuju teras. Aku menghela nafas panjang, gagal sudah menikmati es teh lemon buatan Tante Linda.
           "Raa.. Rara.. Lagi ngapain dikamar?" suara Bang Indra menganggu tidur siangku. Bang Indra segera masuk ke dalam kamarku tanpa minta izin terlebih dahulu. "Kenapa sih, Bang?" tanyaku yang masih menempel dengan kasur. "Kata Papa, tante Linda mau dilamar" informasi dari Bang Indra membuatku segera terduduk. Aku membuka mataku lebar-lebar untuk meyakinkan bahwa ini bukan mimpi. "Seriusan, Bang?" tanyaku masih dengan usaha membuka mata lebar-lebar. "Iya tadi Papa telpo, lu sih tidur ajaa. Pokoknya kita siap-siap buat sabtu besok lamaran Tante Linda. Lu jangan kabur-kaburan ya" Bang Indra segera keluar kamar meninggalkan aku yang masih belum sadar bahwa ini nyata, bukan mimpi. 

Thursday, April 25, 2019

Modyarhood: Inkonsisten dalam pengasuhan anak

Hallo mommy kece semuanya, apa kabar? Ehehe
Kali ini aku mau ikutan modyarhood lagi nih, temanya inkonsistensi dalam pengasuhan anak. Apaan tuh? Kok inkonsisten? Harusnya kan konsisten doooong.. *ala mamak-mamak nyinyir*
Ehehe yaa setiap orang tua pasti maunya nerapin aturan yang baik untuk anak-anaknya, tapiiiiii dalam prakteknya tuh adaaa aja khilafnya yaa namanya juga manusia kan tempatnya salah dan dosa.. Ehem jadi ceramah~
Baik kita mulai aja yaa, apa aja sih point yang bikin Bunda Khidir nih jadi inkonsisten..

1. Jangan pilih-pilih makan

Point ini bener-bener penerapan dari ayahnya Khidir, dia selalu ingetin kalau sama makanan ngga boleh pilih-pilih. Sejauh ini sih alhamdulillah Khidir mau makan apa aja, sayuran hijau, wortel, brokoli dia doyaan bgt. Protein kayak ikan, ayam, tempe dan tahu juga mau. Namun belakangan ini makin susah aja makannya, sering di lepeh-lepeh ya Allah sakiiitttt bgt rasanyaaa..
Padahal Bunda sudah masak dengan penuh cinta tapi malah di lepeh-lepeh. Khidir ngga tau kenapa sekarang jadi pemilih banget, mungkin karena udah banyak makanan yang dia rasain jadi kalo ada makanan yang dia rasa kurang enak langsung di lepeh.
Kesalahan Bunda adalah ketika Khidir sudah kelihatan ogah banget makan, langsung deh pakai jurus micin alias kasih makan mie instan, wadaw pasti langsung lahap makannyaa.. Padahal ngga sehat, tapi demi ada yang masuk ke lambung anak yaa begitulah ehehehe
Daaan mungkin juga dia suka lihat Bundanya ini milih makanan yang pedes-pedes aja, sayuran atau yang bening-bening gitu suka ngga diambil, ehehe *toyorr*
Semoga kedepannya Khidir ngga milih-milih lagi, tetep mau makan apa aja yang penting sehat ya nak.. Aamiin

2. Pipis di kamar mandi

Bunda nih sudah masuk tahap di nyinyirin "udah gede masih pakai pampers ajaaa" eaaaa eaaaa rasanya mulut mamak-mamak kayak gitu pengen Bunda sumpel pakai pampers *eh*
Sekarang sudah mulai pelan-pelan ajarin Khidir pipis di kamar mandi, aku lepas pampers di siang hari..
Nah karena sudah ngga pakai pampers, otomatis setiap jam Bunda tanya "mau pipis dek?" tanpa kenal lelah nanya setiap jam dan kalau sudah sampai 2-3 jam belum pipis-pipis juga langsung Bunda gotong anaknya ke kamar mandi.
Etapi kenyataannya, kadang kala Khidir suka kebablasan udah pipis aja di celana.. Uwuwuuww...
Beberapa kali Bunda langsung marah-marah ngga jelas karena rempong banget harus bersihin lantai, cuci celana dan gantiin celana baru~
Padahal harusnya kalau sudah konsisten mau lepas pampers ya harus siap berulang kali kerepotan beresin pipisnya~
Terus pas malam hari Khidir masih pakai pampers, ehhehe karena ku tak sanggup bangun tengah malam untuk ganti seprei ciiin..
Harusnya sudah komitmen ya siang malam ngga pakai pampers tapi gimana yaaa buuuu, uhuhuhu

3. Di panggil langsung jawab

Point ini bener-bener bikin depresii~
Sering banget nih Khidir kalau di tanya atau di panggil ngga mau jawab? Ini kenapa yaaa? Aku tuh sediih banget...
Misalnya bangun pagi, Bunda suka nanya "Mau minum susu dek?"
"Mau makan atau mandi dulu?"
"Mau Bunda masakin apa?"
Tapi anaknya yang di tanya hanya diam membisu sambil nonton upin ipin~
Bunda sampai matiin tv kalau lagi nanya malah di cuekin kayak gituuu
Nah tapi belakangan ini Bunda diingetin sama Ayah, ternyata Bunda juga suka ngga langsung jawab kalau Khidir nanya ehehehe
Kadang Bunda lagi fokus ngelayanin pembeli online di whatsapp atau lagi mantengin IG Story orang-orang yang happy mulu kayaknya, wkakakakaka
*ditampol rame-rame*

4. Penggunaan ponsel

Akhirnya Bunda merasa penggunaan ponsel untuk Khidir sudah sangat ngga sehat. Setiap Khidir nonton Youtube pasti ngga mau di stop, walau pemakaiannya udah lama dan melebihi batas wajar untuk usia dia. Akhirnya kita stop untuk Khidir nonton Youtube kecuali kepepet banget. Naaahhh~ kepepetnya ini jadi banyaaak karena inkonsisten orang tuanyaa, ahahhahaa
Beberapa kali karena maleees banget ngeliat Khidir ngga mau makan, ya udah deh kasih Youtube..
Atau kalau lagi males banget denger dia rewel, ya udah deh ngga apa kasih youtube~
Daan, karena Bundanya dagang online sering kali Khidir liat Bunda pegang ponsel dan dia minta dengan ngerengek-rengek yang nyebeliiin banget..
Endingnya kalau Bunda tetep pertahanin ngga kasih ponsel ke Khidir, dia langsung pergi sambil kesel "iihhh Bunda peliiiitt" ehehehe
Memang masalah penggunaan ponsel ini masalah banget untuk pengasuhan anak jaman sekarang, semangaaat yaa buat kita buibuu jaman nowwww~

5. Makan dan minum sambil duduk

Khidir nyaris hafal lagu nussa dan rara yang adab makan
"Cuci bersih tanganmu..
Ucapkanlah bismillah..
Gunakan tangan kananmu..
Biasakan tak berdiri..
Jangan tiup yang panas..
Lebih baik di kipas..
Minum dalam tiga tegukan.."
Yang nyanyi fix buibu jaman now, wkakakaka
Nah, Bunda nih lagi menerapkan banget yang namanya makan dan minum sambil duduk. Untuk adab yang lain insyaallah sambil berjalan juga, tapi yang paling susah sekarang ini adalah makan dan minum sambil duduk.
Sayangnyaaa~ Bunda suka ngga sabar nyuapin Khidir kalau harus nunggu dia duduk dulu, bisa berjam-jam deh makannya. Huftt
Akhirnya Bunda suapin Khidir sambil ikutin kemana dia jalan, jalan menyusuri kamar.. Menyusuri dapur.. Menyusuri ruang tamu.. Menyusuri masa lalu *eh*
Nah kan jadinya ngga konsisten yaa, bilangnya suruh duduk tapi nyuapin juga sambil jalan-jalan~

Naaahh sekiranya begitu deh buk inkonsisten sang Bunda Khidir terhadap peraturan yang ia terapkan sendiri, kalau diinget begini berasa buruk banget yaa perilaku Bunda ini sebagai orang tua *subhanallah..*
Tapi sebagai orang tua, aku selalu berusaha menjadi lebih baik dari hari kemarin.. Ya kalau menjadi lebih baik dari versi buibuk mungkin jauh ya, tapi setidaknya aku berusaha menjadi lebih baik dari hari ke hari untuk versi diriku sendiri.. *tsaaaaahhhh*
Aku cuma ingin kita semua sebagai buibuk tolong lah jangan suka komen yang nyelekit banget gitu, contohnya
"Yaampun anaknya kurus banget"
"Loh kok makan mie? Ngga sehat"
"Masih asi? Udah gede masih asi ajaa"
"Belum bisa jalan? Setahun kok belum bisa jalan"
"Belum bisa ngomong? Anakku udah ngoceh banyak pas umur segitu"
"Masih pakai pampers? Udah gede jugaa"
"Wah masih kecil di kasih main hape, ortunya ngga kreatif sih"
Daaan banyaaaak lagi laah~
Ketahuilah, tanpa kalian komenpun kami sudah merasa dan berusaha yang terbaik untuk anak kami.
Nah, kalau buibuk sekalian apa nih inkonsisten yang terjadi di rumah? Share dong.. Sharing is caring~
Salam cinta dari Bunda Khidir yaa 😘😘


Friday, April 19, 2019

TERLALU CINTA (END)



          Bastian dan Gwen sampai pada gedung pertemuan tempat pernikahan salah satu temannya. Terkejutnya Bastian pada foto prewedding yang terpajang di depan gedung. "Rio dan Wulan?" Bastian menarik tangan Gwen. Bastian menatap mata Gwen tanda tidak percaya. "Iya, udah ayo masuk" Gwen tidak peduli dengan semua pertanyaan yang akan di utarakan Bastian.
          Gwen menyalami Rio dengan wajah bahagia "Selamat ya, akhirnya loh" Gwen menggenggam tangan Rio lembut. "Makasi Gwen udah dateng" jawab Rio lembut. Kemudian Gwen menyalami Wulan "Selamat yaa" kali ini ia merasakan haru. "Gwen gue minta maaf" Wulan hampir menangis namun Gwen segera menyuruhnya diam. Ini bukan waktu yang tepat untuk menangis sedih, ini waktunya ia bahagia. "Hari ini hari bahagia lu, jangan nangis" Gwen tersenyum manis.
          "Lu hebat" Bastian berbisik tepat di telinga Gwen saat mereka menurini pelaminan. "Biasa aja" jawab Gwen asal. "Langsung balik yuk, ngga nyaman nih gue pakai batik bokap lu" Bastian menarik Gwen keluar. Gwen menurut tanpa perlawanan. Bastian sebenarnya tidak ingin pulang, hanya saja ia tidak suka Gwen berlama-lama di tempat pernikahan mantannya itu. Akhirnya Bastian menjalankan motornya menuju kedai kopi bang Andri, tempat favorit mereka.
           "Lu ngga sedih?" Bastian bertanya pada Gwen sambil membuka batiknya yang kebesaran. "Sedih sih, tapi yaa namanya ngga jodoh" jawab Gwen sendu. "Kalo sedih kenapa lu dateng sih?" Bastian kesal dengan jawaban Gwen. Sedih? Berarti ia masih ada rasa dong sama mantannya itu! "Gue di undang loh Bas, masa ngga dateng? Dan Wulan itu kan dulu sahabat gue. Salah gitu kalo gue mau dateng?" Gwen kesal. Bastian menatap Gwen lamat. "Gue paham sih, tapi harusnya lu ngga sedih. Harusnya lu bahagia" Bastian masih menatap Gwen. "Iya sih, cuma gue jadi inget dulu aja. Rio setiap gue ajak ngobrol masalah nikah, punya anak.. Dia ngga pernah mau. Dia selalu bilang kalau menikah dan punya anak itu ribet" Gwen nyaris menangis. Beruntungnya bang Andri datang mengantar kopi pesanan mereka.
           Mereka berdua saling diam. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. "Gwen, lu mau ngga nikah sama gue?" tidak tahu bagaimana datangnya, tiba-tiba saja kata-kata itu keluar dari mulut Bastian. Gwen menatap lama wajah Bastian "Nikah?". Bastian tersenyum. "Dari dulu gue suka sama lu, tapi untuk ngomong aja ngga pernah bisa. Lu selalu menghindar. Tapi barusan, gue denger lu pernah punya mimpi nikah sama mantan lu yang ngga ganteng itu. Gue ngga bisa, gue mau lu yang nikah beneran sama gue. Bukan cuma mimpi" Bastian panjang lebar. Gwen sudah berbunga-bunga. Ia tidak bisa sembunyikan senyumnya. "Eh kok senyum? Apa nih jawabannya?" Bastian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf ya Bas" Gwen menatap Bastian lama. "Maaf? Huftttt" Bastian menarik nafas. Ia merasa Gwen memang tidak pernah ada rasa pada dia.
            "Gue cerita sedikit ya, hmm gue ketika tahu Rio sama Wulan ada main di belakang gue, gue selalu mikir bahwa gue itu seburuk-buruknya manusia. Orang-orang yang paling deket sama gue aja bisa-bisanya berkhianat. Artinya apa? Artinya gue emang ngga pantes dapet sahabat seperti Wulan ataupun pacar seperti Rio. Mereka berdua itu baik. Berarti gue yang ngga baik, Bas" Gwen menjelaskan. "Sampai akhirnya gue ketemu lu, yang baik banget. Gue suka, suka banget sama lu. Tapi gue takut, kejadian penghianatan itu terulang. Gue sama sekali ngga siap" Gwen menunduk. "Tapi lu pacaran sama Dion?" Bastian menatap Gwen sinis. "Dion itu hanya teman, kita deket tapi dari awal kita sudah tahu kalau Dion akan menikah dengan orang lain. Menurut gue berteman dengan dia mengasikan" Gwen manatap wajah Bastian. "Terus? Sekarang mau lu gimana?" Bastian mulai kesal. "Iya, gue mau" Gwen masih menatap Bastian. "Mau apa nih?" Bastian masih bingung. Gwen hanya tertawa melihat Bastian yang penuh ekspresi, dari sedih, kesal, bingung. "Gwen?" Bastian masih bingung. "Udah ah, balik yuk. Gue mau bilang nyokap nih kalau sebentar lagi anak perawannya mau naik pelaminan" Gwen berjalan menuju parkiran motor. Bastian masih mematung namun hatinya sudah penuh bunga.


-END-

Thursday, April 18, 2019

TERLALU CINTA (22)


          "Gue minta maaf" Gwen menatap Bastian yang masih bisu. Gwen merasa bersalah. Ia selama ini tidak percaya pada Bastian sampai Bastian harus bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. "Andai aja lu selalu percaya gue" Bastian menatap kosong kursi-kursi di hadapannya. Gwen memegang tangan Bastian lembut. "Jujur waktu itu gue kecewa banget, gue sampai ngga mikir bahwa lu ngga mungkin ngelakuin itu" Gwen mencoba menguatkan Bastian. "Lu percaya?" kali ini mata Bastian lekat menatap Gwen. "Gue percaya, dulu kan lu nganter gue pulang tengah malem dan tidak terjadi apa-apa" Gwen memberi senyuman manisnya. "Sebenarnya malam itu terjadi apa-apa" Bastian masih menatap Gwen. "Maksudnya?" Gwen jadi tidak dapat berpikir jernih karena di tatap lekat oleh Bastian. "Hati gue udah milih lu sejak malam itu" Bastian akhirnya mampu mengungkapkan yang sejak lama ia simpan. Gwen mematung.

***

          Dua bulan proses perceraian Bastian dan Rere akhirnya selesai. Mereka bersalaman tanda damai, mereka memilih untuk saling memaafkan dan berteman baik. "Maaf untuk semuanya ya Bas" Rere masih menggenggam tangan Bastian. Bastian tersenyum ramah sambil mengangguk. "Gue juga minta maaf, banyak salah" kali ini Bastian menunduk. Ia merasa amat bersalah pada Rere. Rere hanya tersenyum dan berpamitan.
           Gwen menghilang semenjak Bastian mengungkapkan isi hatinya. Kini Bastian sudah berada di depan rumah Gwen namun ia masih belum berani untuk masuk. "Bastian?" Gwen tiba-tiba saja sudah ada di hadapan Bastian. Bastian amat terkejut sampai tidak berkata apa-apa. "Hmm kebetulan lu ada disini, mau nemenin gue kondangan ngga?" Gwen mengajak Bastian. Bastian masih mematung. Gwen menatap tajam wajah Bastian sampai akhirnya Bastian mengangguk. 

Friday, April 12, 2019

TERLALU CINTA (21)



          Bastian dan Gwen menuju kantor yang di beri tahu oleh Bang Andri. Mereka menunggu dari pagi sampai sore, tapi tanda-tanda keberadaan Rere belum juga terlihat. "Salah orang kali tuh Bang Andri" Bastian lelah. Gwen masih semangat menunggu. Gwen yakin hari ini dia pasti menemukan Rere.
           Selang setengah jam, Rere keluar bersama seorang laki-laki. "Rere!" Gwen memanggil dengan setengah berteriak. Saat itu suasana sangat ramai. Rere terkejut dengan siapa yang memanggilnya. "Ada perlu apa kalian disini?" Rere menatap Gwen dan Bastian sinis. "Maaf, mungkin kalian bisa bicara, biar gue pergi dulu" Gwen pamit. "Diam disini lu Gwen" Rere membentak Gwen. "Puas lu, Gwen? Lu udah puas dengan semua yang terjadi sama gue?" Rere mendekatkan wajahnya pada Gwen. "Rere, kamu apa-apaan sih?" Bastian mencoba melerai. Gwen masih terkejut dengan kata-kata Rere. "Kamu yang apa-apaan! Aku pergi dari rumah sudah lama, kamu kenapa ngga cari aku?" Rere menangis. "Ibu meninggal, apa kamu tahu?" Bastian membentak Rere.
           Rere terkejut. Ia tidak menyangka kalau Ibu meninggal, tapi amarah di dalam hatinya tidak dapat terbendung lagi. "Gue tahu kalau gue emang ngga pernah di harapkan dalam keluarga kalian, jadi lebih baik gue pergi kan?" Rere masih menatap sinis Bastian dan Gwen. Bastian terdiam. Bastian memang tidak pernah sedikitpun menginginkan Rere menjadi istrinya, sama seperti Ibu.
           "Rere, lebih baik kamu pulang" Gwen menatap Rere tulus. "Lu ngga tahu sakitnya jadi gue! Setiap hari Ibu cuma nanyain lu, gue engga pernah di anggap ada" kali ini Rere meneteskan air matanya. "Sekarang gue mau jujur, gue engga hamil. Bastian ngga pernah nyentuh gue. Bastian tahu itu, sangat amat tahu" Rere jujur. Gwen terkejut. Gwen menatap Bastian dengan banyak tanda tanya. "Sekarang gue mau pergi, kita urus perceraian kita" Rere pergi meninggalkan Bastian dan Gwen. 

Thursday, April 11, 2019

TERLALU CINTA (20)


         Seminggu sudah Ibu Bastian meninggalkan dunia. Bastian masih setia mengadakan pengajian dan mendoakan Ibu. Gwen tidak pernah absen datang. "Gwen, makasi udah selalu datang doain Ibu" Bastian menggenggam tangan Gwen. Tulus sekali hati Bastian kali ini. Bastian amat sangat terharu dengan apa yang sudah Gwen lakukan.
          "Bas, Rere kemana? Semenjak Ibu ngga ada, kok gue ngga liat dia" Gwen akhirnya menanyakan keberadaan istri Bastian. "Gue ngga tahu, kayaknya dia minggat" Bastian jawab asal. Mengingat keberadaan Rere sebagai istrinya sangat amat membuat dia menyesal. "Lu harus cari dia, Bas. Dia istri lu" Gwen menatap Bastian tajam. Bastian hanya mengangguk pasrah.

***

          Sore hari Gwen mampir ke kedai kopi favoritenya. Bang Andri tanpa di pesan segera menghampiri Gwen dengan kopi andalannya. "Sendiri?" Bang Andri menyapa Gwen. "Yoi" jawab Gwen santai. "Oiya, kemaren Rere kesini tapi kok ngga sama Bastian ya?" ucapan Bang Andri membuat Gwen terkejut. "Serius? Dia bilang apa aja?" Gwen sama sekali tidak minat menjelaskan apa yang terjadi pada keluarga Bastian. Gwen hanya butuh informasi keberadaan Rere. "Ngga ngomong apa-apa, lagian gue kan ngga deket. Rere bareng cowok sih, pake baju seragam kantor seberang" Bang Andri memberi informasi yang ia tahu. Gwen sangat berterima kasih pada Bang Andri. 

Monday, April 8, 2019

TERLALU CINTA (19)


          Semenjak Bastian menikah dengan Rere, Ibu Bastian sering sakit. Ibu Bastian seperti tidak ada semangat hidup. Ibu selalu menanyakan, Gwen dimana? Hal itu sangat membuat Rere geram. "Kenapa sih Ibu selalu nanyain Gwen? Gwen itu siapa?" Rere marah-marah tidak jelas pada Bastian. "Ibu memang sayang banget sama Gwen, semenjak ketemu Gwen mereka langsung akrab gitu. Sepeti Ibu dan anak kandung" Bastian mengenang pertemuan pertama Gwen dan Ibu. "Bas, kamu sadar ngga sih? Ada aku disini? Aku ini istri kamu!" Rere membentak Bastian. Rere sudah sangat lelah dengan semua yang ia alami.

***

           Gwen merintis lagi kariernya di Jakarta. Gwen mulai tidak betah di Jogja. Kantor Om Rendy tidak dapat bertahan, persaingan sangat ketat dan Om Rendy ternyata belum siap dengan segala konsekuensi perusahaan baru. Jakarta, dekat dengan Bastian namun ia sudah tidak bisa sesuka hati mengunjungi rumah Bastian seperti dulu. Komunikasi Bastian dan Gwen juga mulai terputus. Mereka tidak ada topik menarik untuk di bahas. Hanya sesekali Gwen tanya kabar Ibu, Bastian pun hanya basa-basi menanyakan kerjaan baru Gwen. Mereka menjadi canggung sekali.
           Pagi itu, cuaca sangat mendung. Kabar duka menyelimuti keluarga Bastian. Ibu meninggal. Bastian sungguh terpukul. Ia melihat sendiri Ibu menghembuskan nafas terakhirnya setelah shalat subuh. Ibu masih mengenakan mukena putih dan bersihnya. Saat terpuruk seperti ini, istrinya justru tidak ada di rumah. Istrinya pergi entah kemana. Gwen segera menuju rumah Bastian saat tahu berita duka tersebut.
          Setibanya Gwen di rumah duka, Gwen menangis sejadi-jadinya di samping jenazah Ibu. "Ibu.. Maafin Gwen, Ibuu" tangis Gwen tidak dapat di bendung. Gwen sangat rindu Ibu, namun Gwen hanya mampu melihat jenazahnya. "Ibu, ini Gwen datang. Ibu bangun ya bu, ini ada Gwen. Ibu kemaren nanyain Gwen, ini Gwen dateng buu" tangis Bastian pecah lagi. Ia menggenggam tangan Ibu dan Gwen. Ia amat sangat merasa bersalah. Ibu selalu menanyakan Gwen namun Bastian tidak pernah menyampaikan pada Gwen. Bastian tidak mau menyakiti Rere maupun Gwen. Kenyataannya sekarang justru dia yang merasakan sakit yang teramat dalam.