Thursday, May 28, 2015

Waktu

Andai waktu bisa diulang, sayangnya waktu tak bisa diulang~

***

Ponsel Tan sudah berdering sejak 5 menit yang lalu. Yang memiliki tak juga menyentuh ponselnya. Hati dan otaknya beradu pendapat. Diangkat atau tidak?

"Mengapa kau datang lagi?" suara Tan terdengar ketus. Matanya sama sekali tak menatap mata Tom. Tom memperbaiki posisi duduknya. Menatap Tan dengan pandangan lembut. Hatinya bahagia menikmati setiap lekuk wajah wanita yang selalu ia rindukan. "Aku hanya ingin melihatmu lagi. Satu tahun tak merubah apapun di dirimu." Tom tak berkedip dan menjawab pertanyaan Tan dengan santai. "Kau salah. Statusku sudah berubah. Aku akan menikah." suara Tan masih terdengar ketus dan matanya tetap tak mampu memandang mata Tom. Tom terdiam. Hatinya sakit.

"Bisakah kau maafkan aku?" suara Tom mengecil. Penyesalan terdalam merasuki setiap relung hatinya. Tan spontan melirik. Akhirnya mata mereka saling tatap. Tan tak pernah bisa pungkiri, mata Tom selalu mampu membuatnya luluh. "Untuk apa? Kau tidak salah" Tan tetap menatap mata Tom. Tom mengeluarkan nafas panjang. "Kau tau kalau aku yang salah, aku terlalu takut untuk mendekati kau. Kau bagai putri dikerajaan" Tom mulai canggung. Baru kali ini ia berani mengeluarkan pujian pada wanita yang selalu ia impikan. "Kau salah Tom, putri kerajaan yang mirip aku." Tan tertawa. Bergurau untuk mencairkan suasana. Tom pun ikut tertawa.

"Bahkan kau lebih dari yang aku bayangkan wahai putri kerajaan? Hehe maka apa daya aku yang hanya rakyat jelata?" suara Tom masih menyisakan tawa. Tan menatap lelaki di depannya. "Aku tidak sebaik itu Tom. Kau sebenarnya punya kesempatan yang sama untuk mendekati aku. Dulu.." suara Tan terdengar pilu. Tom mendekati wanita dihadapannya. Ia menyentuh pipinya, berharap senyum dan tawanya tak menghilang. "Aku lebih buruk daripada apa yang kau kira. Aku tak ingin menyeretmu ke kehidupanku yang tak membahagiakan" Tom menatap Tan lembut.

Tan menatap wajah Tom dengan sangat lama. Ingatan masa lalu terputar kembali. Awal ia melihat wajah Tom. Awal ia merasakan debaran menyenangkan. Hingga akhirnya lelaki yang menjadi alasannya tersenyum itu pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata. Tanpa ada kenangan bersama untuk dikenang. Lelaki yang sejak awal memandang rendah dirinya sendiri. Lelaki yang tidak pernah memperjuangkan apa-apa. Celakanya, lelaki itu sudah memasuki hati Tan terlalu dalam, dan semakin  lama semakin dalam.

"Sudah malam, aku harus pulang" suara Tan masih terdengar pilu. "Biar aku antar" Tom segera berdiri dan merangkul Tan. Dalam benaknya, wanita disampingnya adalah putri yang harus dilindungi. Tom tidak menyadari bahwa semakin erat ia merangkul Tan, hati Tan semakin hancur. Sesampainya di rumah Tom menatap wajah Tan, membelai wajahnya, mencium keningnya dan memeluknya. Tan menangis dalam pelukan Tom.
"Jangan menangis Tan, aku mohon" Tom semakin erat memeluk Tan.
"Andai waktu bisa diulang.." belum selesai ucapan Tan, Tom sudah melepaskan pelukkannya. "Sudah malam. Kamu istirahat ya, selamat malam." Tom pergi meninggalkan Tan yang masih terisak. Tan memandangi punggung Tom yang semakin lama semakin menjauh.
***
END

Tuesday, January 20, 2015

Palsu


Melupakan kamu adalah hal yang paling berat dalam hidupku. Melupakanmu adalah tugas wajib yang tak akan pernah selelsai. Aku melukai hatiku sendiri secara terus menerus. Hanya untuk melihat wajahmu, aku rela menunggu dipintu itu dalam waktu lama. Wajahmu yang tak akan pernah lagi menatap ke arahku.

*** 

Musim penghujan di akhir tahun datang lagi. “Aku jemput kamu ya” suara Leo di akhir telponnya. Aku bersiap-siap seadanya. Menunggu jemputan sambil menelisik buku-buku sastra yang harus ku kuasai materinya. “Kok lama?” kataku dengan jutek khas. “Maaf ya sayang, aku tadi anter kakakku dulu” jawabnya tetap riang. 

Leo adalah juniorku beda 2 angkatan. Aku berulang kali mengingatkan bahwa kita terlalu jauh beda usia. Namun dia tetap saja bilang cinta. Memaksa penuh harap agar aku bisa menjadi seseorang yang bisa menemani dia. Memang sih, aku yang sejak awal mendekatinya. 

“Kenapa sih kakak kamu itu nyusahin kamu terus?” aku tetap jutek. Leo mendekat sambil senyum manis, “sudah yuk berangkat, nanti tambah telat”. Leo menancap gas. Aku duduk disampingnya sambil terus menelisik buku sastraku.”Rajin banget sih baca buku terus” Leo membuka pembicaraan. Lalu lintas yang cukup padat membuat Leo punya banyak kesempatan untuk menengok kearahku. “Ya aku kan mahasisiwa tingkat akhir, bukan kayak kamu yang masih mahasiswa baruuu” aku malah makin kesal. “HAHAHA” Leo tertawa puas. Entahlah, Leo itu sepertinya memang paling senang melihatku kesal. Sedangkan aku, aku memang selalu kesal tiap kali melihat wajah Leo. Tidak pernah ada rasa cinta. 

“Heh Ta, Lu masih betah aja ama brondong lu? hahaha” si biang kerok kelas sekaligus sahabatku dikelas mulai komentar. “Kalo bisa juga gue udah putusin dari kemaren deh. Eh, tapi lumayan juga sih jadi tumpangan gue kan? hahaha” aku tertawa. “ah gila lu Ta, mending lu selesein cepet deh dendam lu. Jangan kelamaan” si biang kerok mulai lebay. “Ngurusin banget hidup gue deh lu, mending belajar buat UAS. Engga ada waktu lagi buat ngulang semester depan” kataku meledek. “Seriusan deh Ta, jangan kelamaan, gue takut lu jatuh cinta beneran ama brondong” si biang kerok makin lebay. “Tau ah, dasar comel lu. Gue mau belajar dulu” aku kabur meninggalkan biang kerok yang main drama. 

Lobi fakultas terasa lowong, banyak mahasiswanya yang sudah masuk kelas. Aku mengambil posisi untuk menelisik buku sastraku. Aroma maskulin khas tiba-tiba saja menusuk penciumanku. “Masih belajar ajaa” ledeknya, khas lelaki yang masih ingin main-main. “Apa sih? Kamu kok belum masuk kelas?” tanyaku basa-basi. “Dosennya ga jadi masuk. Aku nemenin kamu belajar aja ya” senyumnya yang manis menemani ruhnya yang selalu bahagia kalau didekatku. “Hmm kamu ngga bosen?” tanyaku mulai serius. Aku jadi kepikiran dengan celotehan si biang kerok. “bosen kenapa coba? Aku happy gini kok” jawabnya sambil terus tersenyum. “Le, kita udahan aja ya” ucapku akhirnya. “kenapa sih kak? Aku tahu kok kakak ngga pernah cinta sama aku. Aku Cuma butuh kakak pura-pura” jawabnya lirih. “Kalo aja lu tahu Le, gue tuh ngga pantes buat lu cinta.” Kataku tegas tanpa dijawab lagi oleh Leo.

Leo menarik tanganku menuju halaman belakang kampus. “Kak, aku beneran sayang sama kamu. Bukan main-main” ucapnya lirih. “Aku itu benci sama kamu” jawabku. Leo tetap diam, menunggu semua kejelasan. Aku memilih untuk mengakhiri semuanya sekarang. 

“Aku benci sama kamu. Sama kakak kamu. Sama semua tentang kamu. Aku benci. Aku selalu marah sama kamu. Aku membiarkan kamu semakin cinta sama aku, supaya kamu tuh tahu rasa sakitnya ditinggalin. Kalo kamu udah tahu rasa sakitnya, tolong kamu kasih tahu ke kakak kamu yang sok cantik itu. Tolong bilang sama dia kalo ditinggalin itu rasanya seperti sampah. Engga berguna. Lu harus tahu rasanya jadi gue, Le. Capeknya nunggu orang yang dulu bahagia bareng tapi sekarang jadi orang lain. Lu liat bahagianya kakak lu sekarang? Itu semua adalah kesediahan gue, Le. Kakak lu udah ngerebut kebahagiaan gue, Le. Dan lu minta gue buat ngebahagiain lu? Dengan pura-pura cinta sama lu? Gue minta maaf Le, gue ngga bisa” aku pergi meninggalkan Leo yang penuh luka berdarah di hatinya. Rasa yang sama yang aku rasain 3 tahun lalu. Saat Galih lebih memilih meninggalkanku untuk bersama dengan kebahagiaannya yang baru.

*** 

Melupakan kamu adalah hal yang paling berat dalam hidupku. Melupakanmu adalah tugas wajib yang tak akan pernah selelsai. Aku melukai hatiku sendiri secara terus menerus. Hanya untuk melihat wajahmu, aku rela menunggu dipintu itu dalam waktu lama. Wajahmu yang tak akan pernah lagi menatap ke arahku.

END