Saturday, May 25, 2013

Kembang api


            November datang lagi, tanpa undangan tanpa ajakan. Harapan baru segeralah dibuat, agar tak terulang kesalahan dulu yang sudah telat. Mataku mulai berkeliling meratapi halaman rumah sakit yang terlihat sibuk. Sayangnya aku tak suka berbicara, aku lebih senang melihat dan merasakannya sendiri.

            Sosok berbaju putih itu mendekatiku, selalu sehari tiga kali dia menghampiriku dan mengajakku mengobrol yang sama sekali aku tidak paham. Aku selalu diam dan diam namun ia selalu saja bercerita, tentang apa saja. Setiap cerita ia selalu mengakhirinya dengan memaksaku makan dan meminum banyak pil pil warna warni yang amat sangat pahit. Andaikan saja ada wadah untuk berkeluh kesah tentang ketidaknyamanan hidup, aku ingin berteriak atas apa yang aku rasakan.

            Wanita berbaju putih itu pergi setelah menyiksaku dengan makanan hambar dan pil pahit. Aku kembali mengamati halaman yang di penuhi orang-orang yang sedang berusaha bahagia. Mereka bernyanyi. Mereka menari. Mereka bermain bersama. Mereka seperti tidak tersiksa sepertiku. Andaikan saja aku bisa bahagia seperti mereka. 

            Aku sering menghabiskan waktuku sendiri, berdiam diri. Banyak yang menghampiriku, mengajakku tertawa dan menari. Aku selalu menolak, karena aku tahu mereka sebenarnya tidak sebahagia itu. Aku tahu mereka tersiksa juga seperti aku. Mereka juga merasakan rindu yang sama seperti yang aku rasakan.

            “Hei Rara, lagi apa kamu?” suara lelaki itu lagi. Lelaki yang selalu berusaha tersenyum di depanku. Aku sering melihatnya menangis ketika berbicara dengan wanita berbaju putih yang suka menyiksaku itu. Aku menatap wajahnya lekat. Wajahnya tampak lelah. Ia hampir setiap sabtu datang hanya untuk menemaniku. Sering aku pukul dia, aku jambak rambutnya agar ia segera pergi namun ia tetap saja tinggal. Aku sama sekali tidak mengenal siapa dia, tapi wajahnya seperti terpancar ketulusan.

            “Ra, tadi aku baru gajian. Kamu mau aku kasih apa?” ia bertanya. Entah bertanya kepada siapa karena aku tidak pernah menjawab setiap pertanyaannya. Ia-pun segera menjawab sendiri setiap pertanyaan yang ia berikan kepadaku. “Oh ya, kamu suka kembang api kan ya? Nanti kita beli yaa” jawabnya dengan senyum yang selalu sama. 

            Langit sudah mulai menghitam, hawa dingin seperti menusuk-nusuk kulit. Aku berdiri dan meninggalkan lelaki yang sedari tadi bercerita di sampingku. Ketika langkahku mulai banyak, hawa hangat menempel di telapak tanganku. Ia menggenggam tanganku. Menahanku untuk tetap tinggal. “Ra, kamu mau kemana?” ucapnya lembut. Sorot matanya memancarkan ketulusan yang sangat dalam. Aku menghempaskan tangannya. Aku berlari menuju kamar. Di dalam kamar aku melihat anak kecil sedang tertidur pulas. Aku memeluknya erat, mencoba menghangatkan tubuhnya dari hawa dingin.

            Setengah jam aku berbaring, wanita berbaju putih itu terus menerus mengawasiku. wanita itu kini tidak sendiri, lelaki yang sedari tadi menghilang kini kembali. Ia mendekatiku dan menarikku keluar. Aku sama sekali tidak menolaknya lagi. Ia berjalan tanpa bersuara sampai tiba di halaman. 

            “Ra, aku sayang sama kamu” ucap lelaki itu sambil menuntunku duduk di besi dingin akibat embun malam. Aku terdiam, menikmati halaman yang sepi dan tenang. Lelaki itu mengambil sebuah kotak dan mengeluarkannya. Ia terlihat bersemangat, membuka kotak dan menaruhnya sekitar 5 meter dari kami kemudian menyalakan korek dan ia berlari kearahku. 

“DAR.... DAR...”

            Suara ledakan itu menejutkanku. Terlihat benda yang ia letakkan menyala dan menyembul keatas. Itu kembang api! Ketika dia menolak gravitasi dan memencar disana, aku tersenyum melihatnya. Aku tersenyum dan merasa sangat nyaman melihat api-api itu menari di udara. Senyumku seolah tak bisa berhenti.

            “Ra, kamu cukup tersenyum saja sudah mampu membungakan duniaku :)” lelaki itu terus menerus menatapku. Entah kenapa aku merasa senang dan menangkap rasa yang ia kirimkan dari ucapannya barusan. Ia memelukku dan mencoba menghangatkanku. 

*** 

“Sus, pasien 405 masih suka ngamuk?”
“Udah jarang, gue salut banget deh sama suaminya. Sabar banget. Sekarang lagi malam mingguan tuh mereka di halaman. Pasien itu sekarang lebih seneng diem, dikamar juga meluk guling terus. Dikira guling itu anaknya yang meninggal kali”
“Yah namanya juga sakit jiwa, suka aneh-aneh. Ya udah gue pamit yaa sus. Semangat jaga malemnyaa”

END
           
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment