Wednesday, May 8, 2013

Cepat pulanglah, Pa!


            “Pa, jangan pulang malem-malem ya. Perutku sudah mules, tanda-tanda si dede mau keluar” suara pelan didampingi rintihan istriku terdengar jelas ditelingaku. Terbayang wajahnya yang sedang menahan sakit. Wajahnya yang manis, cantik dan selalu saja mampu menentramkan hati. “Iya ma, tunggu ya” jawabku dan jaringan telepon segera ku putus. Rasanya tak sanggup lagi aku mendengarkan rintihan itu.

            Debar jantungku semakin tidak terkendali, keringat sudah bercucuran deras. Warna bajuku sudah berubah pekat. Kepalaku berpikir sangat keras agar bisa segera sampai rumah. Istriku sangat membutuhkanku saat ini. Anak pertama kita jelas membutuhkan sosok ayah tepat ketika ia menghirup udara segar. Air mataku menetes.

            “Ren, ambil jaket dan selimut itu. Itu kita butuhkan sekarang!” suara Dery, patner kerjaku membuyarkan lamunanku. Aku segera mengambil jaket dan selimut yang ada disampingku dan mencoba melindungi tubuh. Dery tampak lebih santai, ia masih belum berkeluarga sehingga tidak banyak yang harus dia pikirkan. “Ren, kita berusaha aja. Gue tau banget perasaan lu, tapi harapan kita memang tipis” nasihat Dery semakin membuat detak jantungku tak terkendali. Air mataku semakin deras mengalir.   

            “KALIAN SUDAH DIKEPUNG!” suara teriakan itu terdengar lagi. Sudah hampir 5 jam aku meringkuk kaku bersama Dery. Salah satu teman seperjuanganku yang lain sudah terkulai tidak berdaya, darah segar mengalir deras dari pelipisnya. “Ren, sudah tidak ada harapan” Dery mengambil pistol ditangan teman kami yang sudah terkulai lemas. “Jangan Der, gue belum siap. Jangan tinggalin gue sendiri” rintihku. Bayang wajah istriku melintas.
            “Sorry Ren, waktu kita sudah habis. Gue pergi duluan, pilihan ada ditangan lu. Tapi lu harus inget janji kita sama bos” suara Dery terdengar sangat tegas. Dery menjauh dariku dan meletakkan pistolnya di pelipis.

“DOR!”

            Satu lagi kawanku pergi, tinggal aku sendiri. “JANGAN COBA-COBA UNTUK KABUR!” teriakan itu semakin menggetarkan seluruh tubuhku. Bayangan wajah istriku semakin jelas. Wajah bos juga semakin jelas. Sebuah cinta yang menunggu atau sebuah janji yang menunggu. Aku yang mati atau keluargaku yang mati? Maafkan aku ma. Jaga dede baik-baik. Papa pergi.
 
“DOR!”

            Ruangan itu sudah tidak bernyawa lagi. Semua polisi yang berada diluar satu persatu masuk dan mendapati tiga lelaki tewas bunuh diri. Darah segar mewarnai lantai ruangan yang putih bersih. 

***

            “Ayo bu, berjuang. Sebentar lagi anak ibu keluar” suara dokter menyemangati sosok ibu muda yang pucat pasi. “Aku ngga mau! Aku mau nunggu ayah dari anak ini!” jawab ibu muda itu dengan tubuh yang bergetar hebat. “Ayo bu, sebentar lagi” dokter itu tetap menyemangati. “Saya ngga mau.. Sayaaa mauuu menunguu...” lemas dan memelan. Suara ibu muda itu menghilang diantara tangisan bayi. 

            “Sayang sekali anak secantik ini harus kehilangan ibu dan ayahnya”

END

nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

2 comments:

  1. waahhh cerpennya keren meski sad ending gituu.

    ReplyDelete
  2. ending yang bahagia terlalu mainsteam bu, hehe terima kasih yaa

    ReplyDelete