“Lama
sekali sih..” desahku ditengah kerumunan. Mataku berhenti pada seorang anak jalanan
tepat disebarang tempatku menunggu, aku melihat ada yang aneh dengan anak itu.
Seharusnya dia mengamen atau meminta-minta seperti anak jalanan yang lainnya,
tapi dia mengintip koran yang dibawa oleh seorang lelaki paruh baya.
“Apa
dia copet?” kataku dalam hati. Sebelum aku sepat memastikan, bis 57 melintas
dan aku segera naik. Melihat kejadian tadi aku menjadi gelisah sendiri didalam,
kucoba menghilangkan rasa gelisahku dengan melanjutkan novel percintaan di
tanganku.
Sampai dikampus aku berlari-lari
kecil menuju kelas. Tepat jam 8 aku sampai dikelas, kelas sudah ramai namun
belum ada dosen. Aku menuju kursi kosong disamping Baeti.
“Heh
Mira, tumben kamu telat” bisik Baeti saat aku duduk dan mengatur nafas.
“Biasa
bis 57 datengnya engga liat jadwal, aku tadi nunggu setengah jam diterminal”
jawabku. Dosen datang dan kuliah pun dimulai.
Selesai kuliah aku berbincang
dengan Baeti tentang anak kecil yang aku lihat diterminal tadi pagi, aku masih
penasaran dengan anak itu.
“Jangan
macem-macem Mira, nanti malah bahaya” Baeti menasehatiku. Aku hanya mengangguk,
memang benar kata Baeti tapi hati dan pikiranku tetap tertuju pada anak jalanan
itu.
Pagi ini aku datang lebih pagi
karena takut terlambat seperti kemarin. Berdiri ditempat yang sama seperti
kemarin, mataku berkeliling mencari bis 57 namun belum terlihat juga. Mataku
terhenti pada seorang anak yang mencurigakan kemarin. Bedanya, saat ini anak
itu ngamen seperti anak jalanan biasanya. Hatiku terasa lega. Bis 57 datang dan
aku segera naik. Aku mendapat duduk paling depan.
Setengah dari perjalanan aku
mendengar sayup-sayup anak kecil ngamen. Suaranya cukup lantang sampai aku bisa
mendengar dengan jelas setiap detail kata dalam lagu yang didendangkan. Aku
meraba kantong kecil ditasku mencari uang receh untuk anak tersebut. Betapa
terkejutnya aku saat anak itu ada didepan mataku. Anak itu yang membuatku cemas
sejak kemarin. Ternyata anak itu naik bis ini juga untuk mengamen. Dia
mengarahkan kantong lusuh tanda meminta saweran. Segera kumasukkan uang dalam
kantong lusuhnya. Dia tersenyum dan berterimakasih.
“Anak yang sopan” ucapku dalam hati.
“Anak yang sopan” ucapku dalam hati.
Namun
bagaimana dengan kejadian kemarin? Anak ini membuatku banyak berprasangka, dari
yang buruk sampai yang baik.
Anak itu kini berdiri dekat
dengan pintu bis. Kuperhatikan matanya tertuju pada seorang pemuda berbadan
besar. Pemuda ini memakai kaos yang penuh dengan tulisan. Kecurigaanku mulai
bertambah. Fokus aku mengamati anak ini.
“Kak,
itu bahasa apa sih?” kata anak kecil itu pada pemuda berkaos itu. Pemuda itu
terkejut dan kemudian tersenyum simpul.
“Bahasa
Inggris, kamu emang bisa baca?” jawabnya.
“Bisa
dong, aku kan seneng baca kak.” kata anak itu semangat. Hatiku sakit
mendengarnya. Ternyata anak ini hobby membaca sama sepertiku. Bodohnya dari
kemarin aku malah mencurigainya yang bukan-bukan.
Sampai dikampus aku banyak
berpikir. Selama ini aku mudah saja menuruti hobby bacaku dengan membelinya
ditoko buku. Kumpulan bukuku dirumah sudah sampai 2 lemari, dari novel, majalah
sampai buku pelajaran yang menurutku sangat penting. Anak kecil itu? Dia
memiliki hobby yang sama denganku, namun bagaimana cara dia menuruti hobbynya?
Kurasa untuk makan saja dia sulit, badannya terlihat kurus kering.
“Mira? Kamu ngelamun?” suara
Baeti mengejutkanku. Kuceritakan kejadian di bis tadi dan meminta tanggapan
dari Baeti. Menurutku Baeti tempat yang tepat untuk meminta saran. Baeti ini
sahabatku dan dia sahabat yang baik, sangat pengertian dengan keadaanku.
“Pernah
kepikiran bikin perpustakaan umum engga Mir? Seru tuh buat yang hobby baca”
ucap Baeti.
“Kamu
punya modal? Aku kan masih mahasiswa, mana ada uang.” Jawabku lemas.
“Kamu
bisa kok tanpa ngeluarin uang, kamu kan punya koleksi buku dari kecil.
Lemari-lemari kamu yang penuh itu kan udah mirip perpustakaan. Ya tinggal di
poles dikit” kata Baeti panjang lebar. Aku tertegun. Baeti hebat bisa berpikir
seperti itu, sedangkan aku yang punya malah engga kepikiran sama sekali. Senyum
dibibirku melai merekah. Aku menemukan jawabannya.
“Bukan
perpustakaan Baeti, terlalu berat namanya. Aku mau buat taman bacaan. Iya,
taman bacaan gratis. Ini akan jadi hadiah menarik untuk anak jalanan yang hobby
membaca. Pasti mereka seneng banget deh. Baeti, kamu mau kan bantu aku buat
merapikan koleksi aku. Ya biar mirip taman bacaan gitu.. ” pintaku. Baeti
mengangguk dengan senyum manis. Beruntungnya aku memiliki sahabat sepertinya.
Sabtu pagi Baeti sudah datang
kerumahku untuk bantu-bantu menyiapkan taman bacaan gratis. Kami berdua sibuk
mengelompokkan mana yang buku bacaan, komik dan pelajaran. Semua disusun rapi
agar tidak pusing mencarinya. Jam 12 teng semua sudah siap. Benar-benar
terlihat seperti taman bacaan walau dengan buku dan tempat yang seadanya.
“Mira,
aku besok bawa buku koleksiku deh kesini. Ya walaupun engga sebanyak punya
kamu. Tapi lumayanlah buat nambahin taman bacaan ini” kata Baeti bersemangat.
Aku tersenyum kegirangan dan langsung memeluk Baeti.
“Baeti....
kamu baik sekali sih, aku engga tau deh mau bales pake apa..” ucapku masih
terus memeluk Baeti.
Sore hari aku dan Baeti menuju
terminal blok M, kami akan mencari anak kecil yang kemarin. Kami menyusuri
sepanjang terminal namun belum terlihat juga batang hidung anak itu. Semangat
kami belum luntur, kami mencari keluar terminal dan mengamati tiap bis yang
lewat. Sampai hampir satu jam kami belum menemukan juga anak itu. Alhasil kami
berinisiatif untuk menanyakan pada anak jalanan yang kebetulan saat itu sedang
jalan didepan kami.
“Dek,
kenal sama anak kecil yang suka ngamen disini engga? Tapi yang suka banget
baca.” Tanyaku.
“Oh,
itu temen aku kak. Namanya Arini. Ada apa memangnya kak?” jawab anak kecil itu.
Baeti
mencoba menceritakan panjang lebar tentang kejadian pertama aku bertemu dengan
Arini sampai terciptanya taman bacaan dirumahku. Anak kecil itu manggut-manggut
namun aku melihat ratapan wajah yang sedih disorotan matanya.
“Arini
memang anak yang rajin kak. Tapi....” ucap anak itu tertahan.
Aku
dan Baeti penasaran dan mencoba memaksa anak itu untuk bercerita. Anak tetap
diam dan mengantar kami kesuatu gubuk kecil agak jauh dari terminal. Kami masuk
dan sangat terkejut dengan keadaan Arini. Anak kecil yang terbaring tidak
berdaya. Terlihat wajahnya sangat pucat. Aku segera menghampiri Arini, dia
hanya tersenyum. Aku melihat sebuah buku lusuh ada ditangannya. Yang paling
membuatku terkejut adalah kaki kirinya, ternyata Arini sudah tidak memiliki
kaki kiri. Air mataku hampir saja menetes, namun aku berhasil membendungnya.
“Desi,
kakak-kakak ini siapa?” tanya Arini pada anak kecil yang mengantarkan kami.
“Kakak
ini ingin ketemu kamu, katanya kamu mau diajak ketaman bacaan milik kakak ini”
kata Desi sambil menatap mata Arini dalam-dalam. Air mataku langsung menetes,
aku tak mampu membayangkan apa yang dirasakan Arini saat ini.
“Wah,
kakak baik sekali. Aku mau kok kak. Tapi Arini masih sakit, Arini belum tau
kapan bisa ke taman bacaan kakak. Tapi pasti aku kesana kok. Aku suka banget
baca kak” jawab Arini bersemangat. Aku menghapus air mataku dan tersenyum pada
Arini. Melihat semangatnya aku akan membawa Arini kerumah, dia yang akan
memiliki taman bacaan itu. Dia yang telah menginspirasiku membuat taman bacaan
itu. Dan aku akan mengundang semua teman-teman Arini yang ingin membaca atau
bahkan sekedar bermain dengan Arini.
“Mira, kamu baik sekali sama
Arini. Orang tua kamu engga keberatan?” tanya Baeti seminggu setelah Arini
tinggal dirumahku dan resmi menjadi pemilik taman bacaan garatis. Aku hanya tersenyum.
Kedua orang tuaku awalnya menolak, namun setelah melihat semangat Arini, kini
ia diangkat menjadi anak sekaligus adikku. Bahkan Ayah berniat untuk
mensekolahkannya tahun ajaran besok. Taman bacaan gratis kami ubah menjadi
“Taman Bacaan Arini”. Setiap harinya taman bacaan ini ramai dengan teman-teman
Arini dan anak-anak sekolah dasar dekat rumahku.
“Arini
yang menginspirasi adanya taman bacaan ini. Membaca sama saja kita membuka
jendela dunia. Aku yakin suatu saat nanti Arini dan teman-temannya yang suka
membaca itu akan membangun bangsa kita menjadi lebih baik. Bukan begitu Baeti?
Terima kasih ya bantuan kamu selama ini” ucapku dan memeluk sahabatku itu
dengan perasaan haru.
\
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment