Wednesday, October 12, 2011

Taman Bacaan Arini



                Hangatnya mentari pagi ini membuatku ingin segera sampai kampus. Dengan memegang sebuah novel percintaan aku menunggu bus 57 di terminal blok M. Kulirik jam tangan monolku sudah menunjukkan jam 7.30 yang berarti sudah setengah jam aku menunggu.
“Lama sekali sih..” desahku ditengah kerumunan. Mataku berhenti pada seorang anak jalanan tepat disebarang tempatku menunggu, aku melihat ada yang aneh dengan anak itu. Seharusnya dia mengamen atau meminta-minta seperti anak jalanan yang lainnya, tapi dia mengintip koran yang dibawa oleh seorang lelaki paruh baya. 


“Apa dia copet?” kataku dalam hati. Sebelum aku sepat memastikan, bis 57 melintas dan aku segera naik. Melihat kejadian tadi aku menjadi gelisah sendiri didalam, kucoba menghilangkan rasa gelisahku dengan melanjutkan novel percintaan di tanganku.
                Sampai dikampus aku berlari-lari kecil menuju kelas. Tepat jam 8 aku sampai dikelas, kelas sudah ramai namun belum ada dosen. Aku menuju kursi kosong disamping Baeti.
“Heh Mira, tumben kamu telat” bisik Baeti saat aku duduk dan mengatur nafas.
“Biasa bis 57 datengnya engga liat jadwal, aku tadi nunggu setengah jam diterminal” jawabku. Dosen datang dan kuliah pun dimulai.
                Selesai kuliah aku berbincang dengan Baeti tentang anak kecil yang aku lihat diterminal tadi pagi, aku masih penasaran dengan anak itu.
“Jangan macem-macem Mira, nanti malah bahaya” Baeti menasehatiku. Aku hanya mengangguk, memang benar kata Baeti tapi hati dan pikiranku tetap tertuju pada anak jalanan itu.
                Pagi ini aku datang lebih pagi karena takut terlambat seperti kemarin. Berdiri ditempat yang sama seperti kemarin, mataku berkeliling mencari bis 57 namun belum terlihat juga. Mataku terhenti pada seorang anak yang mencurigakan kemarin. Bedanya, saat ini anak itu ngamen seperti anak jalanan biasanya. Hatiku terasa lega. Bis 57 datang dan aku segera naik. Aku mendapat duduk paling depan.
                Setengah dari perjalanan aku mendengar sayup-sayup anak kecil ngamen. Suaranya cukup lantang sampai aku bisa mendengar dengan jelas setiap detail kata dalam lagu yang didendangkan. Aku meraba kantong kecil ditasku mencari uang receh untuk anak tersebut. Betapa terkejutnya aku saat anak itu ada didepan mataku. Anak itu yang membuatku cemas sejak kemarin. Ternyata anak itu naik bis ini juga untuk mengamen. Dia mengarahkan kantong lusuh tanda meminta saweran. Segera kumasukkan uang dalam kantong lusuhnya. Dia tersenyum dan berterimakasih.
“Anak yang sopan” ucapku dalam hati.
Namun bagaimana dengan kejadian kemarin? Anak ini membuatku banyak berprasangka, dari yang buruk sampai yang baik.
                Anak itu kini berdiri dekat dengan pintu bis. Kuperhatikan matanya tertuju pada seorang pemuda berbadan besar. Pemuda ini memakai kaos yang penuh dengan tulisan. Kecurigaanku mulai bertambah. Fokus aku mengamati anak ini.
“Kak, itu bahasa apa sih?” kata anak kecil itu pada pemuda berkaos itu. Pemuda itu terkejut dan kemudian tersenyum simpul.
“Bahasa Inggris, kamu emang bisa baca?” jawabnya.
“Bisa dong, aku kan seneng baca kak.” kata anak itu semangat. Hatiku sakit mendengarnya. Ternyata anak ini hobby membaca sama sepertiku. Bodohnya dari kemarin aku malah mencurigainya yang bukan-bukan.
                Sampai dikampus aku banyak berpikir. Selama ini aku mudah saja menuruti hobby bacaku dengan membelinya ditoko buku. Kumpulan bukuku dirumah sudah sampai 2 lemari, dari novel, majalah sampai buku pelajaran yang menurutku sangat penting. Anak kecil itu? Dia memiliki hobby yang sama denganku, namun bagaimana cara dia menuruti hobbynya? Kurasa untuk makan saja dia sulit, badannya terlihat kurus kering.
                “Mira? Kamu ngelamun?” suara Baeti mengejutkanku. Kuceritakan kejadian di bis tadi dan meminta tanggapan dari Baeti. Menurutku Baeti tempat yang tepat untuk meminta saran. Baeti ini sahabatku dan dia sahabat yang baik, sangat pengertian dengan keadaanku.
“Pernah kepikiran bikin perpustakaan umum engga Mir? Seru tuh buat yang hobby baca” ucap Baeti.
“Kamu punya modal? Aku kan masih mahasiswa, mana ada uang.” Jawabku lemas.
“Kamu bisa kok tanpa ngeluarin uang, kamu kan punya koleksi buku dari kecil. Lemari-lemari kamu yang penuh itu kan udah mirip perpustakaan. Ya tinggal di poles dikit” kata Baeti panjang lebar. Aku tertegun. Baeti hebat bisa berpikir seperti itu, sedangkan aku yang punya malah engga kepikiran sama sekali. Senyum dibibirku melai merekah. Aku menemukan jawabannya.
“Bukan perpustakaan Baeti, terlalu berat namanya. Aku mau buat taman bacaan. Iya, taman bacaan gratis. Ini akan jadi hadiah menarik untuk anak jalanan yang hobby membaca. Pasti mereka seneng banget deh. Baeti, kamu mau kan bantu aku buat merapikan koleksi aku. Ya biar mirip taman bacaan gitu.. ” pintaku. Baeti mengangguk dengan senyum manis. Beruntungnya aku memiliki sahabat sepertinya.
                Sabtu pagi Baeti sudah datang kerumahku untuk bantu-bantu menyiapkan taman bacaan gratis. Kami berdua sibuk mengelompokkan mana yang buku bacaan, komik dan pelajaran. Semua disusun rapi agar tidak pusing mencarinya. Jam 12 teng semua sudah siap. Benar-benar terlihat seperti taman bacaan walau dengan buku dan tempat yang seadanya.
“Mira, aku besok bawa buku koleksiku deh kesini. Ya walaupun engga sebanyak punya kamu. Tapi lumayanlah buat nambahin taman bacaan ini” kata Baeti bersemangat. Aku tersenyum kegirangan dan langsung memeluk Baeti.
“Baeti.... kamu baik sekali sih, aku engga tau deh mau bales pake apa..” ucapku masih terus memeluk Baeti.
                Sore hari aku dan Baeti menuju terminal blok M, kami akan mencari anak kecil yang kemarin. Kami menyusuri sepanjang terminal namun belum terlihat juga batang hidung anak itu. Semangat kami belum luntur, kami mencari keluar terminal dan mengamati tiap bis yang lewat. Sampai hampir satu jam kami belum menemukan juga anak itu. Alhasil kami berinisiatif untuk menanyakan pada anak jalanan yang kebetulan saat itu sedang jalan didepan kami.
“Dek, kenal sama anak kecil yang suka ngamen disini engga? Tapi yang suka banget baca.” Tanyaku.
“Oh, itu temen aku kak. Namanya Arini. Ada apa memangnya kak?” jawab anak kecil itu.
Baeti mencoba menceritakan panjang lebar tentang kejadian pertama aku bertemu dengan Arini sampai terciptanya taman bacaan dirumahku. Anak kecil itu manggut-manggut namun aku melihat ratapan wajah yang sedih disorotan matanya.
“Arini memang anak yang rajin kak. Tapi....” ucap anak itu tertahan.
Aku dan Baeti penasaran dan mencoba memaksa anak itu untuk bercerita. Anak tetap diam dan mengantar kami kesuatu gubuk kecil agak jauh dari terminal. Kami masuk dan sangat terkejut dengan keadaan Arini. Anak kecil yang terbaring tidak berdaya. Terlihat wajahnya sangat pucat. Aku segera menghampiri Arini, dia hanya tersenyum. Aku melihat sebuah buku lusuh ada ditangannya. Yang paling membuatku terkejut adalah kaki kirinya, ternyata Arini sudah tidak memiliki kaki kiri. Air mataku hampir saja menetes, namun aku berhasil membendungnya.
“Desi, kakak-kakak ini siapa?” tanya Arini pada anak kecil yang mengantarkan kami.
“Kakak ini ingin ketemu kamu, katanya kamu mau diajak ketaman bacaan milik kakak ini” kata Desi sambil menatap mata Arini dalam-dalam. Air mataku langsung menetes, aku tak mampu membayangkan apa yang dirasakan Arini saat ini.
“Wah, kakak baik sekali. Aku mau kok kak. Tapi Arini masih sakit, Arini belum tau kapan bisa ke taman bacaan kakak. Tapi pasti aku kesana kok. Aku suka banget baca kak” jawab Arini bersemangat. Aku menghapus air mataku dan tersenyum pada Arini. Melihat semangatnya aku akan membawa Arini kerumah, dia yang akan memiliki taman bacaan itu. Dia yang telah menginspirasiku membuat taman bacaan itu. Dan aku akan mengundang semua teman-teman Arini yang ingin membaca atau bahkan sekedar bermain dengan Arini.
                “Mira, kamu baik sekali sama Arini. Orang tua kamu engga keberatan?” tanya Baeti seminggu setelah Arini tinggal dirumahku dan resmi menjadi pemilik taman bacaan garatis. Aku hanya tersenyum. Kedua orang tuaku awalnya menolak, namun setelah melihat semangat Arini, kini ia diangkat menjadi anak sekaligus adikku. Bahkan Ayah berniat untuk mensekolahkannya tahun ajaran besok. Taman bacaan gratis kami ubah menjadi “Taman Bacaan Arini”. Setiap harinya taman bacaan ini ramai dengan teman-teman Arini dan anak-anak sekolah dasar dekat rumahku.
“Arini yang menginspirasi adanya taman bacaan ini. Membaca sama saja kita membuka jendela dunia. Aku yakin suatu saat nanti Arini dan teman-temannya yang suka membaca itu akan membangun bangsa kita menjadi lebih baik. Bukan begitu Baeti? Terima kasih ya bantuan kamu selama ini” ucapku dan memeluk sahabatku itu dengan perasaan haru.

  \


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment