Friday, February 10, 2012

KIPASAN BELANG



    Mataku berbinar terang melihat pemandangan hijau nan asri di kota ini. Awalnya aku tak pernah percaya di kota yang hiruk-pikuk masih ada ruang terbuka hijau sebesar hutan ini. Sayapku yang lelah menahan badanku diudara berhenti mengepak. Kakiku yang kasar mencengkram ranting pohon jambu. Udara cukup segar disini, meski dikelilingi oleh jalan raya yang padat mobil.

    Dengan ekor yang belang hitam-putih membuat aku diberi nama kipasan belang. Aku tidak peduli apapun julukan bagiku. Saat ini yang terpenting adalah perutku yang sudah bernyanyi, mataku berputar mencari serangga yang enak. Hutan kota seperti ini pasti banyak pohon yang mendatangkan serangga untuk aku santap. Benar saja, setelah melompat dari satu pohon kepohon lain aku mulai mendapatkan serangga-serangga kecil kesukaanku. Santapan yang sangat memanjakan perutku yang bernyanyi sejak tadi.

    Perut sudah berhenti bernyanyi dan sekarang giliran aku bernyanyi sambil berkeliling hutan kota ini. Pasti aku akan menemukan banyak teman disini. Sejak tadi saja aku sudah melihat banyak kawanan burung walet dan layang-layang yang melintas bak penari balet. Terbangnya yang tinggi dan terkadang mengagetkan dengan terbang luncurnya. Ah, aku sudah sangat nyaman disini.

    Lompatanku terhenti ketika melihat kawanku sedang memakan biji-bijian seorang diri. Mataku hampir basah melihat fisiknya yang berbeda. Dia burung gereja tapi terlihat seperti burung pajangan, ah sungguh sangat menyedihkan. Aku menghampirinya, menganggukan kepala tanda bertanya “kenapa tubuhmu?” kawanku itu hanya mengepakkan sayapnya tanda risih dengan warna merah legam dibadannya. Warna merah bukan karena darah namun terlihat jelas akibat pewarnaan. “Aku hanya salah satu korban dari perdagangan satwa liar” sorot matanya mengatakan itu padaku. Berarti masih banyak burung gereja lain yang mengalami pewarnaan sepertinya. Manusia sungguh tidak berperasaan. Aku bernyanyi pelan tanda perihatin dan mencoba menghiburnya. Kawanku itu tetap memakan biji-bijian dengan lahap, tampak jelas dia sedang kelaparan.

    Dari cerita kawanku ini, aku semakin bingung dengan pemikiran manusia-manusia. Apakah mereka mau diperlakukan seperti kawanku ini? Di lumuri sepuhan sampai seluruh tubuhnya berwarna dan di kurung dalam kotak yang tak layak dinamakan kandang. Harusnya mereka lebih pintar daripada insting yang kami punya. Mereka harusnya tahu bahwa kandang yang kami butuhkan adalah ruang terbuka hijau, bukan kotak persegi empat yang berlubang. Memprihatinkan melihat kawanku yang telah berwarna merah ini, apakah dia akan mampu kembali kewarna asalnya? Hanya waktu yang akan menjawab.

    Kembali aku mengelilingi hutan kota ini, sepertinya aku menganggap remeh banyaknya jenis burung gereja disekitarku. Aku benar-benar terpaku melihat kawanku jenis ini didepanku. Warnanya normal, tidak berwarna merah seperti kawanku yang tadi. Namun kawanku kali ini hanya memiliki kaki separuh, kota ini sungguh gila. Apakah yang dialami oleh kawanku ini? Aku sampai tak sanggup menghampirinya, apalagi untuk bertanya. Ah, inilah nasib satwa yang tak dianggap.

    Setelah lelah berkeliling, aku beristirahat sebentar dipohon yang sedikit rindang. Terkejut melihat burung tekukur melintas. Sepertinya dia habis perjalanan jauh, namun ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu berwarna kuning keemasan diapit diparuhnya. Samar-samar aku melihatnya karena letak burung itu kini berada jauh dari posisiku. Berusaha menghampiri dan semakin terkejut dengan apa yang diapit oleh paruhnya. Mie instan dengan lumuran pasir, apakah dia memakannya? Apakah selapar itu sampai harus memakan makanan manusia yang tak layak itu? Burung tekukur seperti dia harusnya memakan biji-bijian. Ah, ibu kota sudah sangat kejam terhadap kawananku.

    Pilunya kawanan burung seperti mereka. Beruntungnya aku tidak mengalami nasib yang begitu keras seperti mereka. Setidaknya saat ini aku sudah nyaman berada di hutan kota ini. Berbagai kisah kesedihan yang aku temukan telah membuka mataku untuk berhati-hati terhadap tangan panas manusia. Sudah banyak kipasan belang yang tertangkap dan masuk kedalam kandang persegi 4 berlubang. Andai saja aku punya kekuatan untuk membebaskan kawan-kawanku itu. Ah, aku sadar aku hanya seekor burung kipasan belang yang tak mampu berbuat apa-apa.

Pemandangan hijau nan asri hutan kota ini dalam sekejap telah berubah menjadi kobaran berwarna orange dan berbayang kebiruan. Asap hitam yang tak mampu bertahan dan melompat keatas mengalir mengisi ruang-ruang kosong dan membuyarkan lamunanku. Ternyata pembakaran hutan liar oleh manusia-manusia tak berhati terjadi lagi. Aku harus hijrah dari hutan kota ini, mencari ruang terbuka hijau yang lain.  Mencari makanan yang lain. Selalu saja seperti ini. Kemanakah kami harus berlindung? Pohon-pohon yang terbakar andai saja memiliki mata dan mulut, pasti mereka sudah menangis dengan kencang. Kota memang sudah gila, tak akan lagi mereka pedulikan kepedihan satwa dan tanaman yang tak mampu berbicara.

END






Lampiran


 
Bukti kejamnya ibu kota. Foto pertama burung tekukur sedang memakan mie instan. Foto kedua burung gereja dengan kaki yang putus satu.
(Gambar diambil dari Facebook Khaleb Yordan)


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment