Wednesday, April 10, 2013

Ikhlas

           Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, ini sudah hari selasa. Terima kasih waktu karena kamu sangat baik. Hari ini aku akan bertemu dengan pria itu. Tentulah kamu tahu waktu, dia sungguh misteri namun  sangat aku ingini. Ketika bersamanya, kamu seperti berhenti waktu. Kamu seperti berhenti.

            Perjalanan menuju kota itu memang selalu mengesalkan. Aku meratapi kursi dudukku yang sudah tak utuh akibat di desak oleh sosok ibu berbadan super disampingku. Tas ransel kesayanganku sudah ku peluk dengan erat untuk membunuh hawa dingin tak wajar. Ponselku berdering dan meloncatkan jantungku. “Hallo? Iya masih di jalan nih gue. Sorry ya Er, haha” ucapku cepat. Jantungku sudah tak terkendali, hawa dingin semakin terasa tak wajar. Mataku menoleh kearah kaca, carut-marut jalanan membuatku sedikit mual.

            Roda patas sudah memasuki bilangan kota, hawa dingin semakin merajalela di tubuhku. Waktu, berbaik hatilah padaku. Kakiku menuruni patas yang sudah berhenti tepat di depan halte. Mataku dengan cepat menangkap wajahmu yang menggambarkan wajah “tidak sabar” atau mungkin “kangen” padaku.

            “Hei Er, sorry ya lu jadi nunggu” kataku cepat. Hampir saja aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Hampir saja lupa kalau Erfandy seorang ikhwan yang sangat menjaga etika beragama. “Muka lu kok pucet?” tanya Erfandy dengan memandang wajahku dengan pandangan yang sulit aku jelaskan. “Iya? AC-nya dingin sih tadi” jawabku sebisanya. Kemudian kami hanya duduk berdua dengan bisu. Sesekali aku menangkap padangan matanya. Wajahku seperti terbingkai indah dalam matanya dan terpajang di setiap dinding hatinya. 

            “Oh ya Er, katanya lu mau kasih titipan?” tanyaku sambil melirik ke arahnya. Iya tersenyum tipis, seperti senyum yang sangat dipaksakan. Tangannya membuka tas ranselnya dan mengambil sebuah buku. “Nih, nitip ya” katanya dengan wajah tak bersemangat. “Wahh gue kok ngga dapet buku sih? Pelit lu. Ngasihnya buat calon istri doang” sekuat tenaga aku tersenyum menggoda. Erfandy tersenyum, manis. “Nih” ia memberikan lagi satu buku kepadaku. Wajahku berubah membentuk hufuf O, sangat tidak menyangka. “Ini buat gue Er? Ah sungguh lu baik banget” hampir saja aku melompat karena terlalu bahagia. “Iya biar lu ngga iri deh, lagian gue ama temen lu itu belum tentu jadi kali. Jodoh kan di tangan Allah”

            Beberapa menit kita hanya terdiam. Sesekali aku masih menangkap basah matanya yang semakin sering meneliti wajahku. Aku tahu Er, aku tahu apa isi hatimu

            “Ya udah gue balik nih ya, ada kerjaan” suara erfandy membuyarkan lamunanku. “Eh iya Er, makasi banget loh. Kapan-kapan ketemu lagi deh ya” jawabku dengan intonasi menyenangkan, sesuai dengan kebahagian di hati. “Iyaa, eh dibaca tuh buku dari gue. Biar bisa jadi calon istri yang baik. haha” seperti biasa Erfandy memberikan kode. “Iya gue baca, hati-hati lu yaa” senyum semakin merekah diwajahku. Kami berpisah dengan hati yang bahagia, meski hanya sementara. Hati ini cukup merasakan Er, kita bukan untuk bersama. Semoga kamu semakin paham ya, Er. Kakiku melangkah tanpa arah, mencari jalan menuju ikhlas.

END

nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment