Friday, June 22, 2012

TIDAK AKAN ADA GURU SEBAIK MAMA


            Awal aku sekolah taman kanak-kanak, mama dengan sabar mengantar aku sampai kedepan pintu masuk kelas. Menunggu aku sampai jam istirahat sambil iseng bermain dengan anak kecil adik-adik kawanku yang diajak oleh ibunya menunggu kakak-kakak mereka. Jam istirahat tidak seperti yang dilakukan oleh kawan-kawanku untuk jajan, aku hanya makan lontong sayur yang sudah dipastikan sehat daripada jajan yang aneh-aneh. Mama selalu bilang “jangan suka jajan sembarangan, cari yang bener-bener bikin kenyang”. Aku menyantap lontong sayurku lahap, memenuhi teriakan cacing-cacing di dalam perut. Melihat kawan-kawanku bermain di arena bermain, aku merengek minta dibawa ke sana. Mama dengan senyum menuntunku tanpa keluh kesah.
            “Hari ini kalian menggambar ya, pilih salah satu gambar yang ada di depan” ucap ibu guru saat jam istirahat sudah selesai. Hatiku berdegup sangat kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku, aku tidak bisa menggambar! “huaaaaa” tangisku tumpah ruah memenuhi isi kelas. Ibu guru panik melihatku namun mama sudah lebih dulu memaksa masuk ke dalam ruang kelas. “kenapa Gina?” sambil memelukku erat. Aku masih saja terisak. “Mama bantu gambar ya” kata mama kemudian yang akhirnya mengetahui apa yang membuat aku menangis. Perlahan isakan tangisku reda.
            Didalam keluarga kecil ini, memang aku anak yang cukup pendiam dan cengeng. Mama terlalu memanjakanku karena fisikku yang sangat mudah sakit. “Dasar anak manja, jangan ngerepotin mama mulu kek” bentak kakakku ketika mama menceritakan kejadian di sekolah tadi. Aku hanya menunduk pilu. “Sinta, jangan seperti itu sama adikmu. Kamu juga dulu sering nangis sama seperti Gina.” Nasihat mama menyejukkan. Meskipun pada waktu itu aku masih sangat kecil namun aku mengerti mama sedang mengajarkan menghargai kekurangan orang lain. Aku bertekad akan menjadi anak yang baik ketika sudah besar nanti seperti yang diharapkan mama.
            “Ayo anak-anak ganti baju olah raga karena hari ini kita akan berkeliling taman” sapa ibu guru di pagi hari kamis. Aku sangat suka jalan-jalan. Biasanya mama akan menggandeng tanganku dan membiarkan tubuhku berkeringat tanpa mau menggendongku seperti anak-anak yang lain. Mama ingin aku jadi anak yang sehat dan belajar untuk tidak manja. “Gina” sapa ibu guru tiba-tiba. Aku hanya mendongak menatap wajah ibu guru. “nanti kamu jalan sam ibu saja ya” lanjutnya. Aku menatap ke luar jendela, mama tidak ada! “Memang mama kemana bu?” tanyaku. Ibu guru hanya tersenyum tipis dan menggandeng tanganku. Hampir saja aku meneteskan air mata ketika benar-benar mendapati mama tidak ada untuk menungguku. “Gina, kamu kan anak pintar. Tadi mama pesan kalau mama harus menghadiri undangan dari sekolah kakak kamu. Jangan nagis ya” kata ibu guru menjelaskan. Aku menahan air mataku karena ini adalah pesan dari mama.
            Jam pulang sekolah aku semakin panik ketika melihat ke arah luar kelas, mama belum ada. “Gina, kamu tunggu disini dulu ya sama ibu. Mama kamu sedikit telat.” Ibu guru menghampiriku dan aku hanya mengangguk dan duduk kembali dikursiku. Tidak ada lima menit aku duduk sosok mama sudah berada di depan mataku. Mama meminta maaf pada ibu guru dan menggandengku untuk pulang. “Bisa juga kan kalo ngga ditungguin mama, belajar Gin biar ngga jadi anak manja terus” kata kakak ketika mengajari aku menggambar. “tadi aku mau nangis ka, untung ada ibu guru” jawabku dengan terus mencoba mewarnai bunga yang sudah digambar oleh kakak. “Gina anak pintar, berarti sedikit lagi udah bisa mandiri. Kan udah mau masuk SD” puji mama sambil tersenyum. Mama selalu mengajarkan hal-hal yang sederhana namun mengandung makna untukku.
            “mama kita mau kemana?” tanyaku. Mama hanya terdiam. Aku menurut saja mama gandeng tanganku dengan erat. Perjalanan kali ini sangat jauh, aku yang lelah akhirnya di gendong oleh mama. Posisiku menghadap kebelakang, ada seorang laki-laki berambut panjang yang membawa pisau menghampiri mama. Matanya melotot seraya tangannya meraba tas mama, setelah lama akhirnya ia memasukkan dompet mama ke dalam sakunya dan menodong pisaunya ke arahku sambil berlari. Laki-laki itu tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aku panik namun tidak dapat berkata apa-apa pada mama.
            “Gina, kenapa nangis? Nih ada abang tukang permen. Kamu mau permen?” tanya mama sambil berusaha menenangkan aku yang menangis tanpa henti. Aku menggeleng keras. Mama menawariku berbagai macam jajanan yang lalu lalang di dalam bis, namun aku terus menggeleng kencang. “emangnya mama punya uang?” tanyaku pilu. Mama tertawa “ya punya dong” jawab mama sambil menarik isi tasnya. Mama terkejut mendapati dompetnya sudah tidak ada. “tadi dompet mama diambil orang, huhuhu” kataku sambil terisak-isak. “Sudah ngga apa, uang mama masih ada, uangnya ngga mama taruh dompet semua. Udah sekarang kamu mau jajan apa?” tanya mama tenang. Aku tetap menggeleng. Kala itu aku tahu bahwa jalanan adalah lokasi yang sangat tidak aman, aku harus berhati-hati dan aku akan ingat kalau menaruh uang tidak hanya di dompet. Agar jika tidak ada dompet aku masih bisa survive. Begitulah mama, secara sederhana mampu mengajarkanku hal bermakna.
            Setelah sekitar 2 jam akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan, ternyata mama ingin mengunjungi tantenya yang sedang sakit. Mama membawakan buah-buahan dan makanan yang tidak pernah aku makan, kata mama itu makanan untuk orang tua yang sudah tidak bisa makan yang keras-keras dan manis. Mama berbisik padaku, “Gina lihatkan, kalau sudah tua jarang ada yang urus. Nanti kalau mama sudah tua juga akan seperti itu”. Aku terdiam, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan menelantarkan mama seperti itu. Aku pasti akan selalu jaga mama sebisa aku.
            Tepat jam 3 sore kami pamitan pulang, namun ditengah perjalanan terdengar adzan dan kamipun berhenti di mesjid terdekat. Mama sholat dan aku hanya menunggu di sampingnya. Selesai sholat mama memberiku uang seribu rupiah. “Buat aku mah?” tanyaku heran. “Bukan, Gina lihat kotak yang ada di depan? Nah uangnya taruh disana” jawab mama. Aku heran, mengapa aku harus menaruh uang dalam kotakan itu. Aku ragu namun tetap menjalankan perintah mama. “Kalau ke mesjid usahakan isi kotak amalnya. Nanti kita akan punya mesjid di syurga” kata mama sambil mengelus kepalaku yang penuh pertanyaan. Ternyata mama sangat menginginkan aku menjadi anak taat agama. Aku selalu ingat, bahkan aku sampai meminta uang pada bapak untuk mengisi kotak mesjid, kadang mama suka tertawa melihat tingkahku.
            Sekolah dasar adalah ajang pembuktian betapa mandirinya aku. Tuntutan yang harus aku ambil karena mama akan kerja. “Gina, kamu mau sekolah dimana? Tapi udah ngga mama anter sama tungguin lagi. Kamu bisa kan?” tanya mama. “Bisa mah, tapi jangan yang nyebrang jalan ya. Gina takut ketabrak, di sekolah mana aja yang deket” jawabku. Dan mama segera mendaftarkan aku di sekolah yang dekat dan tidak menyebrang jalan. Saat itu aku belajar mandiri, tidak ada lagi mama di jendela dan tidak ada lagi yang setia menggandeng tanganku ketika aku berjalan menuju sekolah. Kemandirian yang diajarkan mama sejak dini, meski aku masih kecil namun mama ingin aku menjadi wanita yang tangguh.
            Setiap harinya aku diberi uang saku Rp. 2000,- namun tidak semuanya untuk jajan, aku hanya boleh jajan Rp. 1000,- dan sisanya ditabung, kebetulan dari pihak sekolah menyediakan tabungan anak. Kata mama ini adalah awal aku belajar menyimpan uang, jadi jika punya uang bukan untuk di habiskan tapi disimpan. Sejak taman kanak-kanak mama sudah mengajarkan beli jajan yang mengenyangkan jangan yang aneh-aneh. Pesan mama selalu aku bawa hingga sekolah dasar, aku hanya membeli lontong agar perut terisi dan tidak banyak jajan.
            Kelas 6 sekolah dasar adalah masa sulit, aku harus belajar demi nilai ebtanas yang baik dan demi mendapatkan sekolah unggulan yang diidamkan mama. Namun pada saat itu adalah masa labilnya aku “mama, aku mau di SMP 2 aja. Temen aku pada daftar di sana.. SMP 1 Cuma 2 orang..” kataku pada mama. “Gina, jangan ikutan orang. Kamu harus yakin kalau kamu bisa masuk SMP 1. Temen-temen kamu pada takut ngga keterima, mama yakin sama kamu” ucap mama membujukku. Sebenarnya aku sejak dulu mendambakan masuk SMP 1 namun memang jalur masuknya sangat sulit, aku takut. Semoga saja mama benar, aku akan berusaha agar masuk SMP 1.
            Dari sekolah ada bimbingan belajar untuk yang ingin masuk SMP negeri, aku tidak pernah sekalipun tidak ikut bimbingan. Aku berjuang dengan sekuat tenaga untuk masuk SMP 1. Aku pasti bisa!
            Tiba ketika waktu pengumuman, karena jarak SMP 1 cukup jauh mama mengantarku. Dengan kerumunan orang ada yang bahagia karena diterima namun banyak juga yang menangis karena tidak diterima. Aku sangat gugup, mama membiarkanku mencari sendiri karena mama sedikit pusing pada waktu itu. Aku mencari dari urutan atas, nilainya sangat besar-besar. Aku frustasi dan hampir menyerah mencari namaku. Sudah samapi kertas ke-4 namun namaku belum juga terlihat. Sampai di kertas ke-6 aku melihat namaku “Gina Sandriani!” aku nyaris teriak. Perlahan aku melihat nilai yang aku peroleh “86” hasil yang memuaskan walau merupakan posisi tengah diantara nama anak-anak yang diterima dalam SMP 1. Aku keluar dari kerumunan dan menghampiri mama “mama aku diterimaa..” ucapku dan memeluk mama. “Selamat ya, mama bilang juga apa. Pasti diterima.” kami menunggu sepi agar mama bisa melihat namaku terpajang di papan pengumuman. “Wah gin, padahal nilai kamu tinggi tapi posisinya jauh ya. Bener-bener sekolah unggulan” ucap mama lebih kepada dirinya sendiri. Aku hanya diam, menikmati perasaan senang yang menjalar tiada henti.
            Masuk dalam SMP unggulan adalah tempatnya anak-anak pintar, tidak cukup berjalan tapi diharuskan berlari. Ternayata aku masih dibawah rata-rata, kawan-kawanku di sini sangat pintar-pintar. Aku harus berjuang keras untuk menyamakan kedudukan dengan mereka. Hidup yang cukup berat.
            Letak sekolahh yang jauh membuatku sering telat datang ke sekolah, dan hukumannya adalah memungut sampah di sekitar sekolah. Hal ini sangat mengganggu sekolahku. Mama selalu menasehatiku bahwa percuma aku menjadi paling pintar di sekitar orang bodoh, jadi lebih baik menjadi paling bodoh diantara orang pintar nantinya kita akan tertular juga. Mama memang orang nomer 1 dalam hidupku.
            Dengan banyak lika-liku akhirnya aku bisa keluar dasri SMP 1 walau dengan nilai yang kurang dari baik. Mama tidak terlalu menuntut nilai, yang pasti aku harus senang sekolah. Hanya itu. Sangat sederhana.
            SMA aku pun mendapat SMA unggulan, yah walau dengan sisa-sisa perjuangan. Semakin besar aku semakin menyayangi mama, mama pesan saat SMA aku jangan pacaran dulu karena akan mengganggu sekolah nanti saja kalau sudah kuliah. Mungkin jika nasehat ini diberikan pada kakak-ku, ini adalah pesan yang aneh namun untukku ini benar. Aku mau fokus sampai aku dapat universitas negeri baru aku akan memikirkan masalah cinta. Meski sesekali ada laki-laki yang dekat denganku, aku hanya menganggap mereka teman.
            “Ma, aku masuk jurusan apa nih? bingung” galau menyerang ketika SNMPTN. “kamu enaknya belajar apa? Ambiil bidang yang kamu suka” kata mama. Aku bingung. Mama menyarankan aku untuk jadi guru dan bidang biologi atau kimia. Mungkin aku akan mencoba saran dari mama dan menjalankan banyak jalur masuk universitas, karena aku tidak yakin dnegan kemampuanku. Banayak kakak kelasku yang tidak masuk ke dalam universitas padahal nilainya bagus. Aku ikut bimbingan belajar tanpa bolos, semua ini permintaanku walau awalnya bapak tidak mengizinkan namun akhirnya mama membantu meyakinkan bapak sampai di setujui. Dalam bimbingan belajar aku mencoba soal-soal sampai diskusi trik dalam menyelesaikan soal. Aku harus yakin, itu pelajaran penting yang ditanamkan mama sejak aku sekolah dasar.
            Pengumuman satu persatu berdatangan, jalur mahal dari satu universitas terkenal menyatakan aku tidak lolos. Jalur yang memberikan 4 kesempatan pun menyatakan aku gagal. Jalur mandiri dari universitas dekat rumahku pun menyatakan aku gagal. Tinggal SNMPTN yang menentukan nasib hidupku. Ternyata berhasil, aku berhasil masuk universitas negeri dengan jurusan biologi dan keguruan. Yap! Lagi dan lagi pilihan mama yang aku dapatkan. Entahlah, memang mama adalah orang nomer 1 dalam hidupku.
            Pengumuman ini membuat kegalauan dari bapak. “kamu bener mau kuliah disana? Kamu nanti kos, jauh dari rumah, emang bisa” tanya bapak. Aku hanya diam. Mana bisa aku anak manja jauh dari rumah? Namun mana pula bisa aku melewatkan masa depanku di universitas ini? Mungkin hanya air mata yang mampu menjelaskan betapa kacaunya hatiku. “Gina, mama boleh ngomong?” aku mengangguk walau masih terpaku pada meja di depanku yang bisu. “kamu mau masuk universitas itu?” tanya mama. Aku hanya mengangguk (lagi). Mama diam dan aku pun diam.
            “Mama yakin kamu udah bisa mandiri, kan ngga jauh banget jadi kamu bisa pulang seminggu sekali. Gimana?” aku masih terdiam. Entah harus menjawab apa. “Gina, ngga selamanya kamu akan terus deket sama mama, nanti kamu punya hidup sendiri dan sekarang waktunya kamu belajar mengolah semuanya sendiri.” Aku menatap mama. Betapa bijaksananya mama, walau hati masih sedikit galau akupun sudah memutuskan. Aku akan tetap kuliah di universitas itu, kos dan kemandirian. Semua pasti mampu aku lewati, sama seperti masa sekolah dasar, SMP sampai SMA. Mama adalah guru terbaik dalam hidupku. Tidak akan ada guru sebaik mama. Mama yang mengajarkan kesederhanaan namun penuh makna. Hanya mama.  


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment