Friday, June 22, 2012

DIRA

Siang ini matahari sedang sangat tidak bersahabat denganku. Aku sedang banyak tugas yang mengharuskanku mondar-mandir mirip setrikaan karena harus memfotocopy banyak catatan penting dari dosen yang aku tidak miliki. Beginilah nasib menjadi anak malas.

Aku Dira, berumur 19 tahun dan aku adalah mahasiswi yang cukup wajar. Mungkin sifat malasku saja yang jauh dari wajar. Namun aku tidak sendiri, aku memiliki sahabat baik bernama Adel. Jika menurut kalian sifat malasku ini langka, kalian salah besar. Adel juga memiliki kemalasan yang sama denganku. Inilah yang membuat kami berdua sibuk ketika Ujian Akhir Semester akan datang.

Kali ini sudah yang kelima kami mondar-mandir menghampiri bang Adi sang pemilik fotocopy. Dengan langkah gontai karena teriknya matahari, kami duduk sejenak dikursi yang memang disediakan khusus untuk pelanggan setia bang Adi.

“Tobat gue lama-lama kalo begini terus” kata Adel dengan keringat yang mampu mengubah warna bajunya yang ungu muda menjadi ungu gelap. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Kami mengatur nafas kami yang masih terengah-engah. Posisi kursi yang kami duduki merupakan tempat yang stategis. “Lumayan nih buat cuci mata, semoga aja ada cowok ganteng yang lewat” pikirku dalam hati. Aku mengamati satu persatu setiap orang yang lewat didepanku. Entah doaku dikabulkan atau ini memang hari terbaik bagiku. Aku menatapnya sampai tak berkedip. Terpesona dengan gaya rambutnya yang rapi namun jauh dari kata culun. Kemejanya yang elegan namun jauh dari kata sombong. Ah, wajahnya itu menenangkan. Aku menarik tangan Adel agar dia mengetahui apa yang sedang aku rasakan. Adel menerima tanganku dengan genggaman yang cukup keras. Aku segera menoleh kearahnya, dan ternyata Adel juga menatap cowok itu dnegan tak berkedip. Astaga, apakah selera kita sama?

“Adel, gantenggg banget tuh cowok” kataku setelah cowok itu hilang dari pandangan. “Wah, iya banget Dir. Buat gue ini mah ya? Lu kan udah ada Roby” pinta Adel seenaknya. Roby itu hanya masa lalu. Aku dan Roby bersahabat sejak SMA, namun setelah kita pisah kampus hubungan kita menjadi dingin dan menjauh. Jauh dilubuk hatiku menyimpan rasa padanya, namun ini hanya mimpi. Mungkin kini Roby sudah tidak memikirkanku seperti aku yang selalu memikirkannya. Sial si Adel, membuatku jadi ingat lagi. “Enak aja, pokoknya ini jatah gue. Lu mending ama Duta aja” jawabku meledek. Duta memang sudah lama ditaksir Adel, namun Duta masih mengejar wanita pujaannya yang model terkenal. Kadang aku kasihan juga dengan posisi Adel, yah aku dan Adel memang memiliki kisah cinta yang hampir mirip. Tragis! 

Percakapan kami di fotocopyan bang Adi masih berlanjut sampai kami kembali ke kelas. Dari adu mulut sampai berbusa-busa kahirnya kami sepakat untuk taruhan. Siapa yang bisa mendapatkan cowok keren tadi maka dia yang menang dan yang kalah harus melakukan apa saja yang diminta oleh si pemenang. Kami berdua berjabat tangan dan mengetuk palu seperti sedang sidang. Seisi kelas menatap kami heran, kami hanya memberikan senyuman kuda.

***

Mulai pagi ini, aku akan berjuang untuk menang dari Adel. Aku sudah mengubah gaya berpakaianku agar saat bertemu dengan cowok keren itu aku sudah bisa melakukan aksi tebar pesona. Sebelum mengeinjakkan kakiku dikampus jantungku sudah berdegup dengan sangat kencang. Adrenalinku sangat terpacu sampai badanku panas dingin. Sejak masuk gerbang kampus sampai masuk kedalam kelas kepalaku tidak dapat berhenti untuk menengok ke kanan dan kekiri. Berharap akan bertemu dengan cowok keren itu. Namun nasib berkata lain, sampai di depan pintu kelas orang yang diharapkan tidak juga kelihatan batang hidungnya.

“Lu beda Dir” sapa Adel sedikit ketus. Aku hanya melemparnya senyum tipis. Dengan badan yang panas dingin aku jadi terlihat agak pucat. Adel menghampiriku. “Lu sakit ya?” tanyanya. Aku menjawab dengan gelengan kepala. Adel memegang mukaku dengan tangannya. Kemudian dia mengangguk. “Dir, lu serius ya sama taruhan kemaren?” tanya Adel lagi. Aku bingung dengan pertanyaannya dan memasang muka heran. Sudah jelas taruhan ini adalah hasil kesepakatan bersama, Adel aneh.

Dari pengelihatanku sejak pagi, Adel tidak sepertiku yang harus mengganti penampilan untuk menggoda cowok keren. Adel tampak seperti biasanya dan lebih cuek. Apa aku berlebihan ya?

“Del, kok lu engga nyari si cowok keren kemaren sih. Lu udah ketemu? Gue dari pagi belum ketemu nih” tanyaku. “Belum, lagi lu lebay deh sampe dandan gitu” jawab Adel datar. Aku mulai paham dengan perubahan Adel, dari awal kita bersahabat Adel memang anak yang cuek. Dia punya prinsip kalau suka sama cowok ya jangan maksa, cowok itu harus tahu kita yang sebenarnya bukan sebagai orang lain. Pasti Adel kesal melihat aku yang bergaya rapi dan cantik, karena biasanya aku tidak pernah seperti ini. Aku menyesal terlau berlebihan. Mulai besok aku akan berpakaian biasa saja. Menurutku prinsip Adel benar, tidak perlu menjadi orang lain hanya untuk dicintai.

***

Perjalan pulang aku berpisah dengan Adel di halte bus depan kampus. Adel menyebrang dan aku menunggu bus sendirian di halte. Saat aku asik menunggu dengan kuping tersumbat headset, aku melihat cowok keren itu. Dia sedang naik motor dan berhenti untuk berbincang sebentar dengan seorang wanita. Hatiku seperti tertusuk pohon kaktus. Sakit rasanya namun setelah cowok keren itu melaju dengan motornya, wanita tadi menengok ke arahku dan menyapaku. Astaga, itu Ani teman SMP-ku. Aku mencoba mengakrabkan diri dengan Ani, bertanya kabar dan nomer handphonenya. Sama sekali tidak penting, ini hanya jalan menuju informasi yang sebenarnya penting yaitu identitas cowok keren.

Saat malam telah datang, aku teringat Ani. Dia termasuk anak yang aktif, jadi wajar jika banyak yang kenal dia dari kakak tingkat atau adik tingkat dikampus. Wah aku harus mencari info dari Ani tentang cowok keren itu, tapi aku tidak akan terburu-buru.

***

Sudah hampir sebulan dari tragedi pertemuan dengan cowok keren itu, namun aku dan Adel tidak pernah melihat lagi sosok itu. Jika ada yang bertanya bagaimana rasanya penasaran? Rasanya adalah sangat tidak enak. Aku jadi sering diam dan seperti orang bingung karena tidak melihat cowok itu lagi. Mengapa aku seperti ini ya? Padahal kenal saja belum tapi perasaan hatiku sudah tidak karuan seperti ini. Aku memang payah dalam hal perasaan, sepertinya aku kalah jauh dari Adel. Dia sama sekali tidak berubah, dia tetap menjalani hari seperti biasanya.

“Del, kok lu bisa sih cuek? Gue kepikiran cowok itu terus nih” tanyaku pada Adel yang sedang asik baca novel. Adel hanya tersenyum simpul. Aku menatapnya heran. Adel segera menutup novelnya dan menatapku tajam. “Lu belum kenal aja udah ribet deh, gue nyerah aja Dir. Gue mending PDKT sama Duta aja. Lagi ada kesempatan, haha” jawab Adel santai. Nyerah? Itu artinya Adel batal taruhan denganku, harusnyya aku senang namun aku jadi merasa sendiri. Entah mengapa perasaanku jadi aneh begini. “Tenang aja Dir, gue bakal bantu lu cari tahu tentang cowok keren lu itu kok” ucapan Adel meyejukan hatiku. Dia memang sahabatku yang paling pengertian. Aku mulai menceritakan pertemuanku dengan Ani dan kejadian Ani yang ngobrol dengan cowok keren itu. Adel yang aku ceritakan baik-baik malah memarahiku, katanya aku kurang tanggap karena tidak segera menanyakan informasi yang sudah pasti diketahui oleh Ani.  Aku hanya diam mendengar omelan Adel sampai akhirnya Adel sadar bahwa telah keterlaluan memarahiku. “Sorry Dir, abisnya lu payah sih. Ya udah ntar lu tanya ya nomer hanphonenya sama namanya tuh cowok ke si Ani.” Kata Adel dan aku mengangguk yakin.

***

Aku beranikan diri SMS Ani dan menanyakan cowok itu dnegan detail, untungnya Ani pahan orang yang aku maksud. Aku dengan cepat mendapatkan nama, nomer handphonenya dan informasi lainnya. Aku segera mencatatnya dalam note book kesayanganku

Verdy Febrian
085650780856
Fakultas Hukum
Mahasiswa Tingkat Akhir
Memiliki seorang kakak perempuan dan adik laki-laki
Bersahabat baik dengan Bagus yang juga anak Hukum

Sengaja aku menggunakan tinta merah agar terlihat dengan jelas. Keesokkan harinya dikampus aku segera memberi tahu informasi yang sudah aku dapatkan tentang kak Verdy. Sekarang aku menyebutnya begitu karena dia adalah mahasiswa tingkat akhir. Adel sangat senang mendapat informasi itu, aku mulai menatapnya sinis. “Del, inget ya ini jatah gue.” Kataku to the point. Adel tertawa terbahak-bahak dan meninjuku pelan. “Ada-ada aja lu Dir, iya buat lu. Gue udah finishing touch kali sama Duta” jawab Adel senang dan akupun menjadi lega. 


#Belum dilanjutin lagi, dan mood gue udah ilang# 


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

3 comments:

  1. kampret,,,,! pera,, gw udah baca sampe selse nih,, selsein gih... tanggung jawab,,,

    ReplyDelete
  2. lanjutin dong cum. ampe akhirnya ada di surat untuk dira. aseeek

    ReplyDelete