Monday, June 9, 2014

aku, kamu dan dia (1)



“Ranuuu, kita lulus juga akhirnya! Lepas juga akhirnya beban gue” erat sekali aku memeluk Ranu, sohib dari kelas X yang selalu mau diajak gila-gilaan. “Lepas? Lu mau masuk PTN ga? Masih harus belajar oii” lagi-lagi Ranu mengacak-acak poni-ku yang lucu. Hoby dia yang suka mengacak-acak poni sebenarnya sangat menyebalkan namun punya sahabat kayak Ranu itu keuntungannya banyak, jadi aku harus suka rela. 

          *** 

          Seminggu sudah aku tidak keluar rumah, setelah pengumuman kelulusan kegiatan aku hanya berlatih soal-soal untuk tes Perguruan Tinggi Negeri.         Hampir setiap sore teras rumahku dipenuhi teman-teman yang ingin belajar bersama. Sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing untuk tes, karena aku sudah yakin akan diterima dijurusan yang aku inginkan. “Jika aku yakin, aku pasti bisa!” ini adalah prinsip hidupku.
          “Mir, lu kok santai sih?” tanya Sasa yang daritadi sibuk menggambar perspektif. “hehe ngapain panik? Gue udah cinta musik, dan gue yakin bakal masuk dengan kemampuan yang gue punya” jawabku santai sambil memetik gitar. “Kok gue ga seyakin lu ya, Mir?” kini Lia menghembuskan nafas pajang. Aku hanya tersenyum dan memainkan lagu yang menggugah semangat teman-temanku. Kamipun bernyanyi bersama dan hanyut dalam setiap liriknya.

          *** 

          Ketika dalam hidup kita masih dipersilahkan untuk memilih, maka pilihlah sesuatu yang baik. Sama seperti yang aku rasakan, ketika aku dapat memilih untuk optimis atau pesimis? Aku segera memilih optimis, dan aku-pun membuktikannya dengan lolosnya aku dijurusan yang aku inginkan. Seni musik. Sayangnya kedua temanku gagal mendapatkan jurusan yang mereka inginkan, mungkin karena mereka terlalu pesimis. Kabar baiknya, Ranu masuk kampus yang sama denganku namun di jurusan bahasa Indonesia.
          “Astaga Miraaa, kapan ya gue bisa jauh gitu dari lu? Masa dikampus ketemunya ama lu lagi sih?” Ranu memasang muka malas saat berpapasan denganku di saung kampus. “Ah, bilang aja lu seneng ketemu gue. haha”  aku tertawa lepas dan mengajak Ranu ke kantin. Kami makan sambil bercerita panjang lebar tentang hari-hari suntuk setelah kelulusan. Setelah kelulusan kita tidak pernah bertemu karena Ranu harus membantu usaha percetakan ayahnya. “Tapi gue sedih nih Nu, si Sasa ama Lia engga masuk sini. Padahal kita selalu belajar bareng loh” aku teringat hari-hari bersama Sasa dan Lia diteras rumah. “Nanti juga mereka masuk kampus swasta, yang penting kan sama-sama kuliah” Ranu lagi-lagi mengacak poni-ku, huh!

          *** 

        Aku masuk kelas dengan perasaan asing, lebih dari separuh kelas berisi cowok-cowok rambut gondrong. “Hai” sapa seorang wanita berambut ikal. “Eh, hai. Kelas sini juga?” tanyaku basa-basi.
“Iya, nama gue Andien, lu?”
“Mira”
Suara sepatu dosen membuat kelas menjadi tenang. Dosen itu memperkenalkan diri kemudian menjelaskan apa saja yang harus kita kuasai jika ingin lanjut kuliah di seni musik. Aku sangat semangat mendengarkan setiap kata dari dosen itu, Pak Gio.
“Mir, lu suka musik apa?” Andien memulai percakapan ketika Pak Gio meninggalkan ruang kelas. “Pop sih, tapi gue suka semua musik. Entahlah, musik udah mendarah daging gitu di gue, hehe” jawabku asal. Andien tertawa renyah. Kami berkenalan dengan seluruh isi kelas, namun ada satu laki-laki yang hanya diam di kursinya. “Misi, kenapa diem aja?” sapaku. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, meledek. Ia mengambil jaket jeansnya, merapikan barang-barangnya kedalam tas dan berkata “gue senior. Taun kemaren gue engga ambil matkul ini, teori banget” kemudian lelaki itu pergi meninggalkan kelas. “Gila, songong banget tuh cowok!” gerutuku. “Siapa sih dia, Mir?” tanya Andien dan aku hanya mengangkat bahu, sebal.

          *** 

*to be continue

No comments:

Post a Comment