Wednesday, May 7, 2014

Masa Sekolah (ending)



Jam istirahat dikelasku sudah heboh. Terjadi aksi saling lempar dan lari-lari semua cowok dikelas. Aku jadi pusing melihat semua ini. “Lagi ada ngapain sih?” teriakku. Yudha tertawa terbahak-bahak. Kali ini barang yang dijadikan bahan saling lempar berada ditangannya. “Wah Fay, lu mau tau engga tunangannya Ichsan? Nih ambil dompetnya” kata Yudha sambil melempar barang yang ada ditangannya ke arahku. Tanganku dingin saat menerima dompet itu. Apakah benar ini dompet Ichsan? Dan didalamnya ada foto tunangannya. Aku berusaha berekspresi meledek kearah Ichsan. “Ohh, gue buka yaaa” aku segera membuka dompetnya dan melihat ada foto wanita berbaju biru disana. Aku melihatnya sekilas dan menghadapkan ke arah yang lainnya. “ohh Ichsan sukanya cewek rambut panjang coyyy” teriakku yang langsung ditertawakan teman-teman cowok yang lain. Aku segera melemparnya lagi ke Didi. “Tuh liat temen lu seleranya bagus, masa lu kalah Di” kataku meledek sambil melirik ke arah Ichsan. Ia menatapku dengan pandangan yang berbeda. Tidak ada senyum ataupun tawa. Dia hanya diam seperti patung. Aksi saling lempar terus berlanjut dan aku pergi meninggalkan kelas.

Deri, Cuma dia yang ingin aku temui sekarang. Aku berlari menuju kelasnya. Sampai dikelasnya Deri sedang asik ngobrol dengan Shinta. Aku ingin mengurungkan niat namun Deri terlanjur melihatku. Ia segera menghampiriku yang masih sesak. “Lu kenapa Fay? Duduk sini” kata Deri sambil menarik kursi. “Sorry Der, gue jadi gangguin PDKT lu nih” kataku lemas. “Udah santai, gue udah cerita ke Shinta kalo lu sahabat gue kok. Gue juga bilang lu lagi jatuh cinta, tapi tenang.. gue ga bilang namanya kok” kata-kata Deri meredakan degup jantungku. “Der, Ichsan udah punya tunangan..” kataku hampir saja mengeluarkan air mata. “Hah? Kok lu udah tau?” jawab Deri shock. “maksud lu? Lu udah tau lebih dulu dari gue? Kok lu engga bilang sih Der? Lu jahat banget tau!” aku berdiri bermaksud untuk meninggalkan Deri. Namun Deri menarik tanganku. “Duduk dulu bisa engga? Lucu banget gue harus ngejar-ngejar lu yang lagi nagis begini. Gue bisa jelasin Fay” aku hanya menurut dan Deri mulai menjelaskan masalah yang ada.

“Sebenernya gue kemaren mau kasih tau lu tentang masalah tunangan itu. Tapi gue fikir lu lagi sakit, pas gue telfon juga lu bilang masih sakit kan? Ya udah gue milih buat nunggu. Tapi gue engga nyangka lu bisa tau secepat ini. Gue juga engga tega Fay ngeliat lu kayak gini. Lu itu udah gue anggep sebagai adik gue. Jahat banget kalo gue biarin lu jatuh cinta sama orang yang salah. Kan dari kemaren juga gue udah bilang Fay, jangan banyak berharap.” Deri berbicara panjang lebar. Aku hanya menunduk dan menghapus perlahan air mataku. Deri diam akupun diam. Hatiku hancur mengetahui ini semua. Mengapa harus Ichsan, orang yang sejak awal membuatku berbunga namun hanya dalam hitungan detik dia mampu membuatku menangis tersedu seperti ini.

“Gue tau Fay ini berat. Tapi seperti yang gue bilang. Kalo lu mau suka sama orang, lu mesti tau seluk beluknya dulu. Jangan asal kalo suka. Sayang banget air mata lu itu.” Gue hanya mengangguk. Makasi banget Deri, aku engga tau harus apa kalo engga ada Deri. Aku tak mampu berbicara, bahkan bilang makasi untuk Deripun aku tak sanggup. Aku meredakan isakkanku, merapikan raut wajahku sampai tidak terlihat habis menangis. Baru aku bergegas ke kelas.

Dikelas aku hanya duduk dan menulis lirik-lirik lagu tidak jelas. Riri bertanya aku kenapa, namun aku hanya menggeleng. Kali ini jam Kimia, karena kacamata Riri tertinggal ia pindah ke kursi depan agar tulisan di papan tulis terlihat. Aku hanya duduk sendiri namun tanpa diundang Didi duduk dikursi Riri. Aku hanya melirik sebentar lalu melanjutkan menulis yang tidak jelas.

“Itu cewek jauh kok Fay, engga di Jakarta” kata Didi. Aku hanya diam. Sama sekali aku tidak ingin menjawab pernyataan dari Didi. Didi menatapku tajam. Aku hanya melirik dan memberi senyum tipis. “Lu abis nangis Fay?” tanya Didi cukup keras. Pak Dodi segera menegur Didi. “Didi, jangan banyak bicara. Catat yang benar” omelan Pak Dodi hanya disambut senyuman manis Didi. “Dasar anak bandel” pikirku. Didi merasa di cuekin olehku dan segera pindah lagi ketempat duduknya semula. Setelah Didi ada lagi saja yang duduk disampingku, aku hanya menoleh sekilas namun aku shock. “Lu kenapa Fay?” tanya Ichsan padaku. Iya, Ichsan yang kini duduk disampingku. Aku hanya menggeleng. “Gimana foto Dewi? Cantik engga?” tanyanya. Hati aku seperti dutusuk duri-duri kaktus. Sakit sekali. Aku hampir saja menangis namun ku mampu membendungnya. “Cantik” kataku singkat. Ichsan kemudian diam. “Kita Cuma pacaran Fay, bukan tunangan dan ...” belum selesai Ichsan memberi penjelasan aku segera memotongnya “bukan urusan gue san” kataku dan segera beranjak dari dudukku. “Pak,saya izin ke kamar mandi” kataku yang hanya dijawab anggukan kepala Pak Dodi. Entah apa yang akan aku lakukan di kamar mandi. Aku hanyaingin pergi dari situasi ini. Apa sih yang ada dalam fikiran Ichsan? Dia sangat menyiksaku dengan memperlakukanku seperti boneka.

***

Saat malam aku hanya duduk diteras depan dengan menikmati susu dan brownise ciptaan mama. Mataku menatap tinggi ke atas langit. Mencari celah jawaban akan kegundahan hatiku.
“Fay, lagi apa” SMS dari Ichsan lagi. Aku tak mau membalasnya. Namun jari-jariku bergerak sendiri. Entah siapa yang mengendalikannya.
“Lagi makan kue” jawabku singkat                  
“Asik dong. Hehe. Fay, gue mau minta maaf”
“buat?”
“entahlah, gue ngerasa salah aja sama lu.”
“Oh. Iya. Lu SMSan sama pacar lu aja lah. Ntar gue dikira ngerebut pacar orang lagi”
“Dia jauh Fay, dan engga bisa di SMS”
“Maksud?”
“Dia di pesantren. Engga boleh bawa HP”
Aku tidak membalas lagi. Benar saja kata Deri. Dia hanya menganggapku pelampiasan. Karena pacar tidak bisa di SMS bukan berarti aku bisa dijadikan perempuan penghibur. Cowok zaman sekarang kadang bertingkah seenaknya saja. Sudahlah aku malas.
Aku masuk ke dalam rumah, mama menatapku seperti patung namun aku tetap berlalu menuju kamar. Salah jatuh cinta memang membuat orang menjadi tidak sehat.

***

Seminggu setelah kejadian itu, aku seperti bermusuhan dengan Ichsan. Aku merasa terhina dengan perlakuannya. Hampir seisi kelas mengetahui tragedi ini, karena aku yang cukup dikenal jadi jika ada gosip sedikit pasti cepat menyebar. Biasanya Didi yang rutin mengajakku ngobrol, aku menanggapi dengan baik jika obrolan kita banyak tentang musik atau gosip kelas IPA. Namun ketika sudah membahas Ichsan, aku segera mengalihkan ke topik yang lain. Kali ini Didi meminta tukeran duduk dengan Riri, Riri hanya menurut daripada kena di kerjai oleh Didi dan kawan-kawan.
“Fay, lu tau engga gosip terbaru?”
“Apaan?”
“Ada yang baru putus loh, wah lu pasti seneng deh dapet berita ini” aku hanya mendengarkan dengan mata berbinar.
“Iya Fay, ini orang pacaran udah lama. Tapi akhirnya putus juga. Sebenernya sih ni orang juga lagi deket sama orang. Tapi orangnya kayak jaga jarak gitu. Sekarang udah putus berarti mereka bisa deket lagi dong Fay, hehe”
“Iya di, bener banget. Wah bisa dapet PeJe nih. Asik. Eh, siapa si?” tanyaku
“Tuh si Ichsan” jawaban Didi membuatku diam. Sial aku dikerjai, tapi biarlah. Berita apapun dari Ichsan aku tidak mau peduli lagi. Tak sengaja aku menengok ke arah Ichsan, dia sedang menatapku lama. Aku terpaku. Wajahnya yang sejuk menentramkanku. Segera ku tepis tatapan itu dan fokus belajar lagi namun gagal. Didi terlanjur membuatku gundah. “Lu masih ada kesempatan Fay, engga ada salahnya kok buat dicoba” kata Didi sambil berlalu. Riri kembali duduk disampingku. Sepertinya Riri tidak ingin banyak tahu tentang masalahku, aku memang cukup pendiam.

Pelajaran fisika yang seharusnya berjalan tidak dapat terlaksana, alhasil kami hanya bercanda-canda tak jelas. Aku lebih memilih diam dikursiku sambil main game di Hp-ku. Riri menghampiri Ika dan asik ngobrol, tak sadar dari tadi ada yang sedang duduk disampingku.
“Lagi seru ya main gamenya?” tanya Ichsan basa-basi. Aku hanya diam. Permainanku jadi payah dan langsung game over.
“Fay, gue mau minta maaf. Lu pasti udah denger dari Didi kan kalo gue udah putus? Gue tau kalo gue jahat banget sama lu waktu itu, lu pasti ngerasa Cuma sebagai pelampiasan. Tapi engga gitu faktanya Fay, gue emang ngerasa deket sama lu. Buat Dewi, dia itu Cuma status aja sama gue. Engga lebih.” Ichsan berusaha menjelaskan panjang lebar. Aku hanya diam. Cuma status tapi fotonya dibawa kemana-mana? Aku bukan orang bodoh yang bisa terbuai dimakan cinta. Ichsan terus menjelaskan kepadaku bagaimana hubungannya dengan Dewi. Sampai akhirnya jam pulang berbunyi. Aku masih diberi keterangan yang sangat tidak aku butuhkan dari Ichsan. “Lu mau ngapain sih san? Mau bikin sahabat gue nagis lagi” bentak Deri tiba-tiba. Aku hanya melihat kejadian ini dengan terpaku. Mereka berdua hampir berkelahi hebat namun Didi berhasil membuat mereka tidak melanjutkan aksinya. Aku lari pulang tanpa menoleh lagi. Aku hampir gila dengan masalah ini. Namun hatiku menjadi lega dengan penjelasan Ichsan. Berarti dia masih peduli padaku, hatiku mulai sedikit tertarik kembali.

***

Entah bagaimana, setelah penjelasan panjang lebar dari Ichsan. Aku jadi kembali lagi memujanya, bahkan rasa sayang yang ada semakin besar. Aku setiap hari SMS-an. Kadang menemaninya bermain futsal, dan jalan bareng. Semua ini sebenarnya tidak disetujui oleh Deri. Tapi aku tak mampu memendam rasa ini, seperti apapun sakit hatinya aku dulu tak mampu membuatku membenci Ichsan. Kini Deri juga sudah resmi pacaran sama Shinta, sudah jarang aku curhat karena menjaga perasaan Shinta juga.
Mama sudah kenal dengan Ichsan, dan mama juga suka. Katanya Ichsan anak yang manis. Wah senangnya. Namun kita belum punya hubungan yang resmi, walau aku dan Ichsan sama-sama saling sayang. Kadang banyak yang menanyakan status aku dengan Ichsan, aku hanya menjawabnya dengan senyum.

***



END

nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

 

No comments:

Post a Comment