Monday, December 19, 2011

Nasihat ibu

Juara 1 
lomba cerpen dari fakultas ilmu pendidikan universitas negeri jakarta..

temanya “Mom, My Ispiring Woman”




Merdunya nyanyian kutilang pagi hari menghiburku yang sedang dilanda kegelisahan hati. Mendapat ijazah SMA berarti waktunya aku meninggalkan kota Jakarta. Kota tempat aku lahir dan hidup sampai sebesar ini. Kota yang mengajarkanku banyak hal. Dengan keluarga kecil yang terdiri dari Ibu, Ayah, aku dan Adam yang masih kelas 6 SD, kami menikmati setiap detail kota ini. Namun bulan Juni ini adalah bulan terberat bagiku, aku harus siap menjadi anak mandiri. Bermigrasi ke Jogjakarta demi tercapainya cita-cita, menuju kampus terindah bagi keluargaku karena disanalah ayah dan ibu bertemu. Di tempat yang belum pernah aku jajaki ini, apakah aku bisa beradaptasi?

                Berbekal tekat, motivasi dari ayah dan wejangan dari ibu membuatku yakin akan mampu melanjutkan sekolahku walau harus hidup sendiri. Dihari pertama kuliahku ini aku menjadi anak yang sangat pendiam. Kampus merupakan dunia yang penuh petualangan. Ketika aku melewati fakultas bahasa dan seni, tercium aroma parfum mahal dan mata tersilaukan akan baju mereka yang sangat berbeda dari mahasiswa lainnya. Lalu aku teringat akan pesan ibu, “kamu tidak boleh membeda-bedakan orang dari aroma parfumnya”. Setelah berjalan cukup lama, aku beristirahat di sebuah saung kecil milik fakultas tehnik. Aku celingukan mengamati sekitarku, aku merasa salah tempat. Setiap orang yang berlalu di depanku adalah pria, sama sekali tidak ku temukan wanita disini. Ah, aku lebih baik melanjutkan perjalananku karena ibu pernah berkata “jangan sembarangan memilih tempat singgah”. Akhirnya aku memilih duduk di kantin kecil milik anak tata boga. Aroma masakannya sangat menggoda. Aku mengisi perutku yang sudah orasi minta di masukkan sesuatu.

                Jalan-jalanku mengitari kampus ini cukup menyenangkan, sepertinya setiap fakultas memiliki ciri khasnya masing-masing dan aku tidak akan membeda-bedakan mereka untuk berteman nantinya. Seperti apa yang telah dipesankan oleh ibu. Ah ibu, baru sebentar saja aku sudah kangen. Memang benar, aku ini sangat manja padahal aku anak pertama. Aku tidak boleh terlarut dalam perasaan ini, sekarang saatnya aku berjuang. Berjuang dalam kampus terindah dan fakultas terkeren, fakultas matematika dan pengetahuan alam.

                ***

                Setelah seminggu aku menjadi mahasiswi, aku sudah memiliki teman yang cukup dekat. Dengan kesamaan hobby yaitu membaca novel, kamipun sering jalan ke toko buku bareng. Banyak yang bilang kami seperti saudara kembar karena kemanapun selalu bersama. “Wah ada Cindy sama Shanti nih saudara kembar yang beda ibu, haha” kata-kata Lely membuatku dan Shanti tersenyum malu. Namun ucapan Lely mengingatkanku pada pesan ibu, “Pilih teman yang tidak merugikanmu ya nak”. Aneh, mengapa ucapan ibu yang itu yang melintas. Menurutku Shanti anak yang baik, walau aku belum banyak tahu tentang dia. Ah mungkin aku hanya kangen dengan ibu.

                Siang ini aku dan Shanti mengagendakan untuk pergi ke sebuah toko buku yang cukup jauh dari kampus, menurut kabar yang beredar sedang ada bazar buku disana. Sejak pagi tangan kami sudah berkeringat karena tidak sabar memilih-milih buku dengan harga murah. Panas terik sama sekali tidak menyurutkan niat kami untuk sampai ke tujuan. Setelah samapi di tempat tujuan, kami berdua terpisah akibat terlalu asik memilih-milih novel. Saat aku sudah mendapatkan beberapa novel yang aku suka segera ku hampiri kasir yang terletak tidak jauh dari tempatku berdiri. Seolah bumi ini tidak mengizinkan aku untuk memenuhi hobby-ku, aku tidak menemukan dompet dalam tasku. Udara dingin menjalar ke seluruh tubuhku, mataku terasa kunang-kunang dan aku merasa ingin terjatuh kelantai sampai akhirnya Shanti datang menghampiriku. “Kenapa Cindy?” tanya Shanti dan segera ku ceritakan nasib burukku sampai berlinang air mata. Shanti hanya diam dan bingung harus bagaimana. Aku mengerti, Shanti juga mahasiswi perantau sepertiku. Pasti segala pengeluaran akan sangat diperhatikan, dengan berat hati aku mengurungkan niatku untuk  membeli segala novel yang sudah ku pilih. Dan aku meminjam uang Shanti hanya untuk ongkos menuju kosan. Hatiku seperti hancur berkeping-keping, saat di Jakarta pasti aku sudah memeluk ibu dan menangis di pangkuannya. Ibu, aku ingin pulang!


`               Sampai di kosan aku segera menelpon ibu, aku menceritakan segala kejadian yang aku alami. Namun aku tidak percaya dengan apa yang ibu katakan. Aku samapi meminta ibu mnegulang setiap detail kata-katanya. “Mungkin Shanti bukan teman yang baik” mana mungkin ibu bisa berpikiran seperti itu? Ibu belum pernah bertemu Shanti namun sudah bisa bicara seperti itu. Ah, aku agak kecewa dengan ibu.

                Setelah mendapat transfer uang dari ayah, aku segera mengganti uang Shanti yang aku pinjam. Aku sangat terkejut saat aku melihat ada sesuatu yang aku kenal. Segiempat berwarna coklat muda yang sudah hampir 5 tahun aku miliki ada didalam tas Shanti. Apakah ini berarti apa yang ibu bilang itu benar? Aku segera menarik tas milik Shanti. Melihat gerakanku yang cepat Shanti seperti tidak ingin aku melihat kedalam isi tasnya. Sayangnya gerakkanku lebih cepat dan aku mengambil dompet coklatku dari dalam tas Shanti. “Ini apa Shan? Kamu ternyata pelakunya” kataku dengan suara sedikit serak. Aku sangat tidak menyangka harus Shanti yang melakukan ini. Air mataku yang telah ku bendung akhirnya tumpah. Shanti hanya mengambil tas miliknya kembali dan meninggalkan aku yang berlinang air mata sendiri. Ternyata ibu benar. Aku menyesal telah menganngap ibu yang bukan-bukan. Seharusnya aku lebih hati-hati. Ah, aku ini memang payah dalam menganalisis sifat manusia. Sepertinya aku belum siap untuk hidup sendiri, aku butuh ibu.


                Dengan air mata aku menelpon ibu, aku menceritakan apa yang aku alami dan meminta maaf telah salah menilai ibu. Ibu mendengarkan ceritaku dengan baik dan segera menerima maafku. Ibu memang wanita terindah yang Allah telah ciptakan untukku. Beruntungnya aku memiliki ibu yang selalu mau mendengarkan ceritaku dan menasihatiku yang sangat keras kepala ini. Aku ingat saat ibu berpesan “kamu tidak boleh membeda-bedakan orang dari aroma parfumnya” namun ibu juga berpesan “Pilih teman yang tidak merugikanmu ya nak” aku baru sadar bahwa pesan ini merupakan satu kesatuan. Ah ibu, sepertinya aku ingin di Jakarta saja..

                Mendengar kalau aku ingin kembali lagi ke Jakarta, ibu hanya memberikan pesan padaku

jangan pernah kamu mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba dan jangan pernah kamu menyerah sayang, jika kamu masih merasa sanggup dan yang penting kamu harus bisa menghargai semua cobaan yang datang untukmu karena semua ini adalah tahap menuju kehidupan yang lebih baik.

Mendengar pesan ibu, aku mengurungkan niat untuk menyerah. Aku akan meneruskan perjuangan dan petualangan ini. Ibu memang segalanya, pemberi motivasi dan wejangan terhebat untukku. Terima kasih ibu.



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment