Saturday, September 3, 2011

KERINDUAN YANG DALAM

cerpen ini udah masuk blog kandang gagas loh :) KLIK DISINI !

Suasana sore itu selalu sepi bagiku dan ayahku. Kami hanya sibuk dengan fikiran kami masing-masing. Sebenarnya diusiaku yang baru 16 tahun ini aku tidak banyak fikiran, hanya saja aku selalu bertanya pada diriku sendiri tentang raut wajah ayah yang selalu murung saat sore tiba. Aku hanya mampu diam dan sesekali mengajaknya berbincang tentang sekolahku dan kegiatanku. Wajah ayah tetap tidak berubah seusai percakapan berakhir. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa arti dari raut wajah itu, aku kesal sendiri tidak dapat mendapat jawabannya.

Saat malam datang aku mengajak ayah untuk makan malam. Maklum, kami hanya berdua sehingga hampir semua kegiatan dirumah ini kami lakukan bersama. Ayah merupakan sosok bapak dan juga ibu sekaligus bagiku. Aku tidak pernah tahu dimana dan bagaimana keadaan ibuku. Aku hanya tahu kalau ayah dan ibuku bercerai sejak aku bayi dan ayahku meminta agar aku diasuh olehnya. Maklumlah jika untuk seorang wanita aku termasuk tomboy, bahkan hampir seluruh teman dekatku adalah pria. Ayahku sama sekali tidak melarangku melakukan apapun, dia sangat percaya kepadaku. Kasih sayang ayah ini yang membuatku sangat ingin terus menjaganya dan mengetahui segala yang ia rasa. Tapi sayangnya aku hanya anak 16 tahun yang belum mengerti apa-apa, bahkan rasanya jatuh cintapun aku tidak tahu.

“Lyla, kamu tidak ingin bertemu ibumu?” kata-kata itu meluncur lembut dari mulut ayah. Sorot matanya fokus pada taplak meja kami yang lusuh. Raut wajah yang belum juga berubah sejak tadi sore. Ucapan itu seolah masuk kejantungku dan membuatnya berhenti berdetak. Mulutku seakan terkunci oleh debaran hati yang aku sendiri tidak mengerti apa maksud dari debaran-debaran itu. Ibu? Seperti apakah dia? Apa dia seperti ayah yang sangat menyayangiku? Atau malah dia hanya seorang perempuan yang tidak memiliki perasaan hingga meninggalkanku bersama ayah? Aku sama sekali tidak mengerti. Aku hanya terdiam dan berusaha mengunyah makanan yang sudah terlanjur masuk dalam mulutku. Suasana menjadi hening.
...

Pagi ini aku libur sekolah, aku hanya bermalas-malasan didalam kamar. Suasana hatiku masih tidak karuan. Aku bahkan tidak ingin bertemu ayah, biarlah sampai hati ini tenang. Sesekali aku mencoba melihat kearah luar kamar, aku hanya melihat ayah sedang nonton tv. Sebagai pensiunan, ayah menghabiskan banyak waktunya didalam rumah walau terkadang keluar untuk berdagang alat-alat rumah tangga. Raut wajah ayah masih sama sejak tadi sore, aku mulai merasa tidak tega dan keluar dari kamarku.

“Ayah.. Apakah ibu menyayangiku?” ucapku sampai hampir meneteskan air mata. Aku berusaha membendungnya sedalam mungkin. Aku tidak akan menangis didepan ayah. Aku ini wanita tegar. Ayah terkejut dan segera menengok ke arahku. Raut wajah yang sama dan sorotan mata kasih sayang itu seolah memintaku untuk duduk disampingnya, akupun duduk.
“Mengapa bertanya seperti itu nak? Seorang ibu pasti menyayangi anaknya. Pasti!” ucap ayah yakin. Mataku fokus menatap wajah ayah, mencari celah untuk kutemukan jawaban dari pertanyaanku.  Setelah mendengar kata-kata ayah, hati ini mulai tenang. Senyum terasa mulai merekah dalam wajahku.
...

“Ayah.. liburan dirumah bete nih.. Jalan yukkk” ajakku. Kulihat ayah tersenyum manis padaku dan bersiap menemaniku. Kamii berdua memang sepasang ayah dan anak yang sangat kompak. Teman-temanku banyak yang iri, padahal keluargaku bukan keluarga yang utuh. Ini semua karena kasih sayang ayah yang tidak pernah pudar.

Kami jalan-jalan di pasar raya, melihat-lihat mungkin ada yang menarik untuk dibeli. Saat aku tertarik dengan sebuah kaos lucu, aku tidak sadar bahwa ayahku tidak ada lagi disampingku. Bola mataku mulai menelusuri ruangan ini sampai akhirnya ku lihat ayah berjarak lumayan jauh dariku sedang bersama pria. Dari jauh kulihat pria itu sangat tampan. Aku mulai merasakan sesak didalam dadaku. Degupan jantungku mulai cepat, aku tidak mengerti perasaan apa ini.

Dari kejauhan aku melihat ayah dan pria itu sangat akrab. Aku mulai merasa mataku tidak ingin lepas memandang pria itu. Rasanya aku ingin segera berlari dan memeluknya, tapi mengapa? Perasaan ini, apakah ini yang disebut jatuh cinta? Ah kurasa bukan. Aku sibuk berbincang dengan diriku sendiri sampai akhirnya ayah dan pria itu berjalan menuju kearahku. Nafasku mulai tercekat, aku bingung sendiri harus berbuat apa. Kaos lucu yang kupegangpun hampir saja basah kuyup akibat keringat ditanganku. Tuhan, mengapa aku seperti ini?

Ketika ayah dan pria itu mulai dekat, aku hanya tersenyum. Berusaha menghadirkan senyuman yang wajar, tapi ku yakin senyumanku terlihat sangat aneh. Saat ku beranikan diri untuk menatap wajahnya, aku melihat raut wajah itu. Raut wajah yang selalu aku pertanyakan. Raut wajah yang sama dengan milik ayah setiap sore datang. Mengapa pria ini menatapku dengan raut wajah seperti ayah? Apakah dia merasakan apa yang kurasakan sejak tadi? Semua pori dikulitku seperti mengeluarkan cairan, aku merasa sangat gugup di tatap seperti itu. Semoga dia mengerti dengan yang kurasakan.

Mencoba menghilangkan kegugupanku, aku menoleh ke ayah. Muka ayah terlihat sangat bahagia. Seperti seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, ah ini cuma perasaanku saja. Semua ini membuatku sangat gugup dan aku tidak mengerti harus berbuat apa.

“Mengapa kamu menatapku seperti itu?” ucapku refleks. Aku tidak ingin seluruh bajuku basah karena keringatku. Kini dingin mulai terasa di tangan dan pipiku, aku seperti menggigil melihatnya tetap menatapku. Aku memfokuskan mataku pada kaos lucu yang kupegang sedari tadi, perasaan ini membuatku tidak nyaman.

Dia memelukku. Jantungku seperti berhenti, aroma parfum dikemejanya tercium jelas. Badannya yang jauh lebih tinggi dan cukup berisi membuatku merasa kecil. Ku rasakan detak jantungnya sangat kencang. Nafasnya seperti orang habis lari marathon. Mengapa dia melakukan ini? Aku seperti patung, aku tidak menolak dan membantah. Aku malah menikmati pelukkannya. Otakku berputar mengartikan semua ini, nafasku mulai membuat badanku naik turun.

Tidak terasa air mataku jatuh. Entah mengapa aku menangis kali ini. Mungkin ini pertama kalinya aku menangis didepan ayahku. Pria itu segera melepaskan pelukkannya. Wajahnya menatapku dan mengusap air mataku.

“Kenapa kamu menangis?” ucapnya lembut. Suaranya merdu dan semakin membuatku ingin menangis. Aku sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaannya. Aku menutup wajahku dan semakin tersedu-sedu. Aku bingung dalam keadaan seperti ini, mengapa seolah perasaan membuatku diam seribu bahasa. Ah aku memang belum siap jadi dewasa, pikirku kalut.

“Lyla..”  ucap pria itu lagi. Aku ingin lari meninggalkan ini semua. Aku sangat bingung. Otakku belum siap menerima situasi seperti ini. Ah, ayah.. bantulah aku.

Aku menatap wajahnya, kali ini aku beranikan menatap jauh ke dalam matanya. Matanya mirip mataku. Sorotan matanya sama seperti sorotan mata ayah saat menatapku. Dan aku mulai menemukan jawaban dari pertanyaanku.

“Aku, Rizki. Kakak kandungmu. Kamu sudah besar ya dik, jangan nagis lagi..”

Raut wajah itu. Sebuah ekspresi kerinduan. Kerinduan yang sangat dalam.



END



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

1 comment:

  1. hehe....
    gu pikir laki" asing itu ibu'y (LOH?)
    haha,,,
    abis'y kan di awal dy kepingin ktmu ibu'y. eh ga tau'y kakak'y.

    *siilittleprimate

    ReplyDelete