Tuesday, January 17, 2012

MALAM MINGGU



Malam minggu adalah malam yang panjang. Malam ini lah yang digunakan oleh banyak pasangan menghabiskan malam bersama, melepas rindu bersama. Namun nasib lain menimpa Andi.

***

“Mah, Andi udah punya pacar dong” ucapku pada mama. Sebagai anak satu-satunya, aku lebih banyak cerita ke orang tua. Aku selalu menceritakan apapun ke mama namun tidak ke papa. Mama selalu mendukung apapun yang aku lakukan, terlebih memang aku jarang melakukan hal yang aneh-aneh. Berbeda dengan papa, beliau sangat kaku. Aku tidak begitu akrab dengan papa karena beliau memiliki watak yang sangat serius.

“Wah, anak mana? Kenalin sama mama dong” jawab mama dengan senyum mengembang. Ah, mama berhasil membuat pipiku semerah tomat.
“Nanti deh ma, baru juga jadian. hehe” jawabku lagi. Aku asik bercerita semua kecantikan dan kepintaran Putri, pacar baruku. Mama yang sedang asik memotong bunga-bunga untuk hiasan meja terus antusias mendengar ceritaku.

***

“Mah, malam minggu nih. Aku mau ke rumah Putri ya..” pamitan ke mama. Mama mengamati seluruh penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Jangan malam-malam pulangnya ya” jawab mama khawatir. Ah mama ini masih saja menganggapku anak kecil. Yah, tapi aku memang harus pulang cepat karena papa pasti akan naik pitam kalau tahu aku pergi malam hanya karena pacaran.

Sampai di rumah Putri, ternyata rumahnya sedang ramai sekali. Kebetulan saudara-saudara Putri sedang main, kenapa mesti malam minggu mainnya? Hah cobaan di malam minggu ini namanya. Dengan berat hati aku membantu Putri menjamu saudara-saudaranya yang baru datang. Keadaan rumah yang repot membuat aku segan untuk pulang. Bisa sampai tengah malam kalau begini caranya, sialnya aku menelfon mama tak ada jawaban. Entah mengapa hatiku jadi panik, aku dengan muka tembok segera pamitan pulang karena waktu sudah hampir tengah malam.


Panik bukan main hatiku saat diperjalanan. Mama tidak biasanya tidak mengangkat telpon dariku. Perjalanan pulang menjadi perjalanan paling menegangkan, degup jantungku semakin tak karuan. Polisi tidur sana sini tidak membuat laju motorku berkurang, ada sesuatu yang memaksaku segera pulang. Semakin kencang degup jantung maka laju motor semakin kencang ku bawa.

Semakin kencang degup jantungku saat sampai di depan rumah aku melihat papa memegang golok besar dengan mata merah. Apa yang akan papa lakukan? Mau kabur pun aku sudah tak mampu karena mata papa sudah menangkap badanku. Mama sudah menangis tersedu-sedu, tak sanggup aku melihat mama menangis seperti itu. Aku secara perlahan masuk kedalam rumah. Papa teriak kencang “Andi! Awas kamu, jangan disana!”. Spontan aku melompat kebelakang. Pandangan papa dan mama ke bawah, aku melihatnya. Papa segera melempar golok besarnya kebawah dekat kakiku. Dalam hitungan detik mengalir darah segar dan golok besar yang terkulai. Aku melihat jelas kepala yang sudah terlepas dari badan panjangnya. Hatiku ketar-ketir sekaligus lega, papa telah membunuh ular yang sudah berusaha masuk kerumah kami. tanpa di suruh aku segera menghampiri mama dan memeluknya.

***

Seberapapun seriusnya orang tuamu, mereka tidak akan mungkin menyakiti anaknya sendiri. Seberapapun nakalnya kita, mereka tetap satu-satunya yang menyanyangi kita apa adanya. Andi menyesal telah mengira papanya akan membunuhnya, itu sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi. Untuk Andi malam minggu ini bukan untak melepas rindu dengan pacar namun melepas rindu dengan kedua orang tua.

END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

DUA CINTA



Menerima dua cinta dalam satu hati merupakan suatu boomerang besar. Meski sebagai wanita hanya bisa menunggu, namun ketika dua cinta yang ditunggu bagaimanakah?

***

“Aku masih sayang kamu” kata-kata itu meluncur halus dari mulut Andre. Kata-kata yang cukup membuatku membisu. Masih sayang? Aku pun begitu. Namun kalau untuk balikkan lagi? Masih ada hati kamu yang tertatih berjalan menghampiriku. Melempar senyum merupakan suatu tanda hormat untuknya, tak ku sangka membuatnya salah paham.

“Makasih Tia, kamu memang perempuan terbaik buat aku” segera dia memeluk tubuhku yang tak berdaya karena terkejut. Pasti dia mengira aku menerimanya kembali. Beberapa lama aku menikmati aroma tubuhnya yang khas, aku mulai ingin menjelaskan namun urung. Aku melihat matanya yang indah, sangat bahagia karena status “balikkan” ini.

***

Menjelang malam seperti biasa aku menghubungimu lewat pesan singkat.
“Rio, masa tadi Andre bilang masih sayang sama aku. Dan bodohnya kita jadi balikkan” Hampir setengah jam aku menunggu balasan dari kamu. Apa kamu sakit mendengar kata-kata ini? Ah, maafkan aku karena harus menyakitimu. Aku hanya ingin kamu tahu semua tentang aku.
“Wah selamat ya Tia” balsan yang sangat singkat darimu. Pasti kamu merasa sakit hati, aku yakin.

***

Hubunganku dengan Andre tidak seindah matanya saat menyandang status menjadi pacarku lagi. Perbedaan pendapat, perbedaan jadwal dan banyak perbedaan lain membuat hubungan ini terasa panas. Entahlah dia menyesal atau tidak yang pasti aku sangat menyesal.
“Andre, kita emang engga cocok. Kita putus aja yah.” Ucapku ke Andre. Andre sangat shock, ekspresi yang sangat wajar. Siapa sih yang engga kaget diputusin padahal baru balikkan kurang dari satu minggu? Dia hanya diam, aku pergi meninggalkan dia yang sedang di penuhi rasa terkejut.

Seperti merupakan kewajiban, aku mengirimi kamu pesan singkat lagi “Rio, aku putus lagi. Emang deh aku engga cocok banget sama dia. Berantem mulu”. Kali ini aku tak perlu menunggu setengah jam untuk mendapat balasan dari kamu. Tidak ada satu menit kamu segera membalas pesanku “wah sabar ya Tia, cepet banget”. Mulai lagi cerita aku ke kamu tentang perjalanan cintaku. Hampir semua kisah cintaku, aku ceritain ke kamu.

***

“Tia, aku tahu kita banyak perbedaan. Tapi aku engga bisa hidup tanpa kamu” pesan singkat mengejutkan di pagi hari. Pesan singkat datang dari Andre, padahal aku menunggu kamu menyatakan cinta ke aku. “Kamu yakin kita engga akan berantem lagi?” tanyaku pada Andre, karena Andre sebenarnya lelaki yang sangat baik hanya saja terlalu banyak perbedaan kita yang memacu perkelahian. Setelah banyak berkirim pesan singkat kami resmi balikkan lagi.
Kali ini aku tidak langsung mengirimimu pesan singkat, karena kita sudah berjanji akan ketemu siang ini. Wah pas banget aku lagi kangen sama kamu dan aku akan cerita lagi tentang Andre ke kamu.



***

Penampilan kamu kali ini beda banget, lebih cool. Kamu pakai topi, padahal biasanya percaya diri dengan rambut poni polem kamu. Kamu pakai kemeja, padahal kamu Cuma mau makan siang sama aku. Dan kamu seperti menyembunyikan sesuatu dibalik badanmu, pokoknya kamu beda banget deh.
“Tia, mau kah kamu menjadi pacarku?” kata kamu sambil memperlihatkan sesuatu dibalik badanmu. Setangkai bunga mawar putih tanda cinta suci. Apa kamu tahu kalau aku suka mawar putih? Ah Rio kamu snagat romantis. Tanpa banyak pikir aku menerima bunga mawar putih dari kamu.
“Eh..” aku terkejut. Aku tersadar bahwa tadi pagi aku sudah balikkan lagi sama Andre.
“Maaf Rio, kamu telat beberapa jam dari Andre” kataku kemudian. Kamu menunduk sudah tahu maksud tersembunyi dari perkataanku.
“Hmm tapi Rio, aku yakin kok kalau jodoh engga akan pergi kemana” kataku sambil menggenggam tangan kamu. Tangan kamu terasa sangat dingin. Kepalamu spontan menghadap ke arahku. Mata kamu sedikit berair.
“Sebenarnya aku sayang kamu. Mungkin kamu bisa nunggu aku” kataku lagi kemudian. Senyum terindah mengembang dari bibirmu. Pipimu merona dan ini merupakan hal terindah dalam hidup aku.

  ***

Meski ada dua cinta yang ditunggu, namun hati pasti mempunyai satu pilihan yang paling baik dari satu yang lainnya.

END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

DELIA NURBAYA



Liburan kala menjadi mahasiswa itu sangat membosankan. Libur sampai sebulan, dua bulan bahkan sampai lumutan. Sepertinya nasib seperti ini hanya terjangkit pada mahasiswi  pengangguran dan miskin, Delia.

***

“Delia.. kamu ini kerjanya makan tidur aja. Ayo bantu ibu” seru ibu kepada Delia anak putri satu-satunya. Delia yang sedang malas-malasan malah semakin mesra memeluk gulingnya. Liburan seperti ini bukan hal menyenangkan bagi Delia, ia tidak bisa keluar rumah seperti layaknya mahasiswi lainnya. Delia hanya berada dirumah dan membantu ibunya berjualan ketoprak.

Sebagai seorang anak berumur 20 tahun, Delia masih saja merasa tabu untuk memperkenalkan pacar kepada orang tuanya. Hampir setiap hari ibunya menanyakan pasangan namun ia hanya menggeleng. Terkadang ayah Delia berminat untuk menjodohkan Delia dengan anak temannya, untuk hal ini Delia pasti segera menolak.

“Delia, ada tamu nih.. kamu jangan tidur aja” kata ibu saat jarum jam mengarah ke angka 10. Dengan separuh tenaga Delia bangun dan membantu ibunya.
“Siapa sih bu? Masih pagi juga” kata Delia sambil mengucek-ucek matanya.
“Kamu ini, sudah jam 10 masih di bilang pagi” jawab ibu sambil melotot ke arah Delia. Delia yang takut segera membantu ibunya sambil manyun. Di ruang tamu suara ayah dan tamunya ramai sekali, sampai terdengar ke dapur. Namun, suara sekencang apapun juga tak menarik perhatian Delia untuk mendengar percakapan ayahnya.

Selesai menyiapkan makanan kecil dan minum untuk tamu, Delia dengan sigap mengantarnya ke ruang tamu. Betapa terkejutnya dia melihat tamu ayahnya datang dengan anaknya, dari penampilannya seperti anak seumuran Delia. Hati Delia ketar-ketir memikirkan kemungkinan yang ada, apakah anak ini akan di jodohkan dengan Delia? Jantung Delia hampir copot memikirkan hal itu.


Di dapur Delia berusaha menguping pembicaraan ayahnya namun otaknya tidak fokus. Hanya beberapa saja perkataan yang dia dengar.
“Menurut bapak bagaimana?” begitu yang tertangkap di telinga Delia. Suaranya berasal dari teman ayahnya.
“Wah, sebenernya saya engga begitu paham pak” jawab ayah Delia.
“Kalau bapak saya mah tergantung anaknya saja pak” kali ini suara ibu Delia yang terdengar. Hati delia semakin ketar-ketir.
“Haha iya pak, saya engga paham. Biasanya saya tanya anak saya dulu, kalau mau ya sudah saya kasih” suara ayah Delia sekarang terdengar jelas.
Delia hampir saja ingin lari. Dia tidak bisa membayangkan apa yang harus dikatakan pada ayah dan ibunya. Apa juga yang akan dia katakan pada pacarnya. Perasaan Delia semakin campur aduk, beruntung dia bisa mengendalikan perasaannya sehingga tidak meneteskan air mata.
“Delia.. coba kesini nak” panggil ibu Delia. Delia yang terkejut segera berdiri namun mematung. Dia bingung harus bagaimana. Panggilan ibunya sampai berulang dua kali dan Delia segera menuju ruang tamu.
“Kamu kuliahnya udah banyak tugas pakai laptop Del?” tanya ayahnya. Delia hanya mengangguk.
“Tuh laptop temen ayah baru sebulan di pake, kalo kamu mau nanti ayah beli” kata ibu Delia.

***

Terkadang di zaman modern seperti ini masih saja pemikiran-pemikiran zaman siti nurbaya menghantui. Beruntungnya hanya ada di pikiran, tidak sampai menjadi kenyataan.

END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Thursday, January 12, 2012

DUDA



Semakin jauh melangkah semakin semu terlihat. Tanah menolak. Angin berangsur pergi meninggalkan sesak. Apakah cinta suci melihat status?

***

Pagi ini lagi-lagi aku terbangun karena bunyi handphone tanda telepon masuk. Selalu dan tak akan berubah hanya namanya yang tertera, “Mas Tri”. Semenit, dua menit, menunggu kemudian baru ku tekan tombol  berwarna hijau dan menekan tombol loadspeaker. 
“Selamat pagi bidadariku” suaranya terdengar jelas dari speaker handphoneku. Pembicaraan yang selalu sama disetiap pagi namun tak akan terbesit kata “bosan” di dalam hubungan ini. Perasaan yang sama, perhatian yang sama, semua membuat kami menjadi pasangan sempurnya (bagi kami).



“Del, lu serius sama si Mas Tri?” lagi-lagi pertanyaan serupa melesat dari mulut teman kerjaku. Aku selalu menjawabnya dengan anggukan yakin. Aku paham betul bagaimana hubungan cintaku dianggap miring oleh teman-temnku, mereka seperti tak pernah merasakan jatuh cinta saja. Memang awal cinta ini sangat tabu, Mas Tri datang ke kedai kopi-ku bersama istrinya. Ya, Mas Tri saat itu sudah berkeluarga. Pernikahan mereka tidak seindah pernikahan yang didasari cinta. Istri Mas Tri seenaknya saja selingkuh dengan teman dekatnya. Mas Tri sudah memiliki seorang anak laki-laki yang memang lebih akrab dengan ayahnya. Betapa memang rasa sayang itu tak mampu dibohongi, Mas Tri begitu menyayangi anak semata wayangnya.

“Heh, ngelamun lagi lu Del” Bentakan temanku mengajakku kembali kedunia dan pergi dari lamunan. Aku tersenyum ketir. “Lu kan gadis, masih bisa cari pacar perjaka. Kenapa harus duda?” pertanyaan berlanjut lagi. Aku tertawa kecil, menatap lekat-lekat wajah temanku ini. “Lu pernah jatuh cinta kan? Apa bisa lu milih buat jatuh cinta sama siapa?” tanyaku lemah namun tegas. Dia memutar bola matanya, tersenyum malu dan berdehem kecil. “Mungkin, tapi setidaknya lu bisa mundur dari perasaan lu kan setelah tahu status dia?” tanyanya lagi. Ah, bosan benar aku mendengar pertanyaan dia yang tak akan ada habisnya. Beruntunglah ada seorang pembeli datang, aku segera menghampiri pembeli itu dan mencatat semua pesanannya.

Jam pulang kerja aku harus menunggu sekitar setengah jam, namun Mas Tri belum juga datang. “Namanya juga duda Del, pasti lagi nyari janda lah. Yang udah pengalaman. Haha” ejekan temanku berulang lagi, selalu setiap harinya. Ujung bibirku tertarik sebelah, tersenyum miring. “Del, si Joko lagi nyari jodoh tuh. Lu mau engga? Perjaka dan sama kayanya kaya Mas Tri” ledekan baru dimulai, aku mulai menanggapi. “engga suka tuh sama perjaka, kurang pengalaman” ucapku sambil tertawa kecil. “Duileeehhh” mereka paduan suara mengejekku. “Del, lu seriusan ama Mas Tri? Dia duda Del..” kembali lagi, pertanyaan serupa dan selalu berefek sama. “Cinta engga pandang status, masih mending duda daripada suami orang” jawabku sedikit ketus karena terlalu kesal dengan pertanyaan yang itu lagi-itu lagi.



Setengah jam berlalu akhirnya mobil Mas Tri sampai di parkiran, senyumku serta merta mengembang. Semua mata teman kerjaku tertuju pada mobil Mas Tri, kejadian yang sudah biasa. Mataku terbelalak melihat ada Andre turun dari mobil Mas Tri. Degupan jantungku hebat. Astaga, aku sampai tak tahu harus melakukan apa. “Del, Mas Tri bawa anaknya tuh.” Ucapan itu mengejutkanku, aku segera bangkit dan mencoba tenang. Semua pertanyaan menyentil seperti apapun tak penting lagi, sekarang lebih penting menarik perhatian Andre, anak Mas Tri.

“Tante Adel..” teriak Anre saat melihatku dihadapannya. Tak peduli baju yang kotor berlumuran tanah merah itu menempel di pangkuanku. Aku tersenyum sambil terus mendengarkan cerita bocah ini, berperan sebagai bundanya. Mas Tri segera menghampiriku dan mengecup keningku kemudian duduk manis didekat kami. “Mau kopi Mas Tri?” tawaran manis dari temanku yang segera diberi anggukkan tanda setuju. “Andre udah akrab sekali sama Tante Adel..” ledek temanku yang lain. Aku hanya tersenyum, menatap sorot mata penuh cinta Mas Tri. “Tante Adel kan baik, engga kayak tante” ucapan nyentil Andre terhadap temanku. Memecah suasana, semua tertawa.

“Andre, panggilnya jangan Tante Adel dong.. Tapi Bunda Adel” Mas Tri memulai pembicaraan saat kami sudah memasuki jalan tol. “Andre engga mau ah, tante Adel kan belum nikah sama Ayah.. Kalo udah nikah baru Andre mau panggil Bunda” jawaban polos Andre membuatku membeku. Menikah? Sesuatu yang lama sudah kutunggu, namun dengan Mas Tri? Duda dengan satu anak? Ah, mengapa aku jadi seperti teman-teman kerjaku.. perjalanan pulang menjadi hening, Andre yang kelelahan perlahan tidur dipangkuanku.

“Sudah hampir setahun Del, apakah kamu mau meresmikan hubungan kita? Seperti permintaan Andre?” Awal yang mengejutkan disaat aku baru saja ingin turun dari mobilnya. Aku terdiam, mulutku seperti terkunci rapat. Semenit, dua menit hanya hembusan nafas yang terdengar. “Kamu masih ragu dengan status Duda-ku?” menyentil, pertanyaan yang sangat menyentil. “Perlahan aku semakin merasa yakin, namun..” kata-kataku tertahan, hampir saja air asin menetes dari sudut mataku. “Asal kamu yakin sama Mas, semua pasti mengerti posisi kita. Mas janji” kata-kata penuh motivasi, tanpa diperintahkan kepalaku mengangguk. Merah tomat pipinya, secerah lampu sorot matanya menatapku, seperti selesai lari maraton nafasnya terpenggal-penggal. “Makasih” ucapnya lemah dan tak percaya.

***
Mungkin ini keputusan yang semakin tabu, gadis menikah dengan duda. Namun beginilah cinta. Cinta suci memang tak pernah melihat status.

END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Saturday, January 7, 2012

KEPO



Lelaki berbadan besar dan putih di depanku tersenyum seperti tak pernah ada masalah dalam hidupnya. Menunggu sesuatu yang sepertinya sangat ia butuhkan.

***

Kak Waldi adalah kakak tingkatku yang sangat supel. Badannya cukup tinggi besar, putih dan sentuhan kacamatanya membuat kak Waldi terlihat elegan. 2 bulan belakangan kak Waldi sedikit autis, banyak hal yang tak terlalu penting dia kerjakan. Banyak yang bilang sih kalau ka Waldi sedang jatuh cinta. Ah, kok aku jadi kepo begini?

 “Fit, lu tau ga gosip tentang kak Waldi?” Shelly dengan mata berbinar bertanya padaku. Ah, kenapa sih harus mengurusi orang lain? Toh kita juga pasti punya masalah yang lebih penting. Aku menjawabnya hanya dengan gerakan kepala kekanan dan kekiri tanda tidak tahu. Jawabanku justru menambah binar di mata Shelly. Dia bercerita kesana kemari tentang gosip-gosip yang sudah beredar.

Sore ini tak sengaja aku bertemu dengan kak Waldi di supermarket dekat kampus. Bajunya hampir basah kuyup entah oleh keringat atau oleh rintikan hujan diluar. Disampingnya ada seorang lelaki agak berantakan, sepertinya teman kak Waldi. Lelaki itu menyodorkan coklat bermerek Toblerone. “Nih Wal, ke kasir sana” kata lelaki itu sambil menyerka pelipisnya. “Ah gila lu Jul, dia mintanya Cadbury bukan Toblerone” jawab kak Waldi sambil membenarkan posisi kacamatanya yang sedikit longgar. Mereka berdua kembali mondar-mandir mencari coklat bersampul berwarna ungu itu. Siapa sih yang minta? Segitunya kah harus dituruti? Ah, mulai lagi nih kepo.


“Fit, lu harus tau. Masa kak Rina incerannya Kak Waldi udah punya pacar” seperti biasa Shelly dengan mata berbinar memulai bahan gosipnya. Aku hanya terpaku mendengar gosipnya. Berharap Shelly tidak melanjutkan gosip memusingkannya itu. Aku memutuskan untuk segera pergi keluar kampus. Berjalan agak sedikit cepat agar kakiku segera menginjak tanah diluar.

Lagi-lagi aku melihat Kak Waldi, kali ini dia berada di halte bus depan kampus. Sedang apa kak Waldi disini? Hah dia melihatku. “Lagi ngapain kak?” sapaku sambil duduk disampingnya. “Nunggu bis, lu?” jawabnya singkat. Raut wajahnya sedikit berkerut, menunjukkan pilunya hati. “Samalah kak, hehe” garing, aku tahu ketawaku sangat garing. Kak waldi hanya menarik sedikit bibirnya, senyum simpul. Aneh, hatiku seperti merasakan pilu hatinya.

Setahun berjalan wajah Kak Waldi semakin membaik, tapi disudut matanya masih terlihat jelas pilu hatinya. Di parkiran motor aku melihat kak Rina naik motor bersama lelaki yang pernah aku lihat di supermarket bersama kak Waldi. Berarti gosip yang selama ini diceritakan Shelly benar? Pantas saja kak Waldi begitu terpuruk. Semoga kelak kak Waldi menemukan wanita yang pantas. Ah, mulai deh kepo kelewatan.

***

Lelaki didepanku mengibaskan kedua tangannya didepan mataku. Lamunanku membuyar dan segera kulihat lagi senyum diwajahnya. Masih menunggu sesuatu, aku mulai salah tingkah. Menggigiti kuku jariku dan memutar bola mata hampir 5 kali. Mengetuk lantai kantin dengan sepatu kets coklatku. Ah, sepertinya aku tak perlu berpikir panjang lagi. Aku menganggukkan kepalaku yang membuat kalung dileherku bergoyang. Anggukkan yang berarti menjawab “Iya kak, aku mau jadi pacar kak waldi”


END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)