Saturday, September 15, 2012

CANDU




Mempertemukan fokus retina mataku ke lekukan wajahmu merupakan asupan khas yang menjadi candu.

***

          Semilir angin malam kembali menusuk-nusuk tulangku. Sekuat tenaga aku memeluk badanku sendiri tetaplah terasa sangat dingin. Dingin yang bukan hanya berasal dari luar, namun juga dari dalam. “Melamun saja kamu Bel?” sapa ayahku di antara suara nyanyian jangkrik dan teriakan burung cabak. “Sedang menunggu inspirasi untuk seminar besok yah” jawabku sambil mengusap tangan ayah yang dingin, sangat dingin. “Besok kamu berangkat bareng Pratama?” tanyanya lagi dengan pandangan kosong. “Iya yah, tadi mas Pratama sudah menghubungi Bella” jawabku sekenanya. Keheningan menggelayuti suasana diantara kami. suara nyanyian jangkrik dan teriakan burung cabak pun tidak terdengar lagi, seolah mereka ikut menggelayuti keheningan. 

          “Nasi goreng nasi goreng” teriakan tukang nasi goreng memecah keheningan. “Ayah mau nasi goreng?” tanya ku penuh perhatian. Ayah hanya menggeleng kemudian masuk kedalam rumah. Udara memang sangat dingin, menusuk tulang tanpa melihat mangsanya. Aku dengan hati-hati keluar gerbang dan memesan sepiring nasi goreng kesukaanku. “Satu porsi ya bang” ucapku sambil bergelayut di daun pintu gerbang. “Siap neng, udah nunggu daritadi ya?” ucapnya nakal, seperti biasa. Aku menahan senyum, aku sangat menikmati setiap lekukan wajahnya bahkan setiap bulir keringat yang menggelayut di dahinya membuatnya semakin terlihat menarik. “Ayahnya ngga sekalian neng?” tanyanya dengan wajah yang semakin manis, entah dia sengaja menggoda atau memang aku yang sudah terlanjur menyukainya. “Oh ayah udah makan” jawabku dengan sedikit grogi.

          Aku menyantap nasi goreng dengan sangat lahap, dia menemaniku sambil menunggu piringnya. “enak neng?” pertanyaan yang sangat mengundang untuk ku puji. “Kurang asin bang, haha” jawabku penuh semangat, semangat karena harapan dia aku patahkan. “Kurang asin? Wah neng mau kawin kali jadi senengnya yang asin-asin, haha” jawabnya meledek. Sial, ucapan dia seperti petasan yang meledak tepat di jantungku. Aku sangat terkejut. Apakah dia tahu sesuatu tentang aku? “Neng, jangan pucet gitu. Saya juga pengen kawin neng kalo neng mau sama penjual nasi goreng kayak saya. Haha. Bercanda loh neng..” ledeknya semakin menjadi. Aku keringat dingin, aku tak mampu berbicara, bergerak pun sulit.

***

          “Pagiii” suara yang sangat khas terdengar di depan pintu, aku bergegas. “Pagi mas Pratama, mau masuk dulu?” sapaku dengan penuh mesra, mungkin sebenernya lebih ke ‘sopan’. Mas Pratama meraih tanganku kemudian dia kecup lembut, sayangnya aku tidak merasakan desiran apapun di hatiku. Aku menarik tanganku sambil tersenyum tipis dan mempersilahkan mas Pratama duduk. Ayah datang dan segera memeluk erat mas Pratama “Hei, terima kasih sudah mau menjemput anakku” sapa ayah sangat riang. “Sudah kewajibanku pak, haha” jawabnya sama riang. Aku membawakan kopi hangat untuk mas Pratama, ia segera menyeruputnya dan meminta izin segera berangkat. Kami pun pergi meninggalkan ayah sendirian.

          “Kamu masih grogi untuk seminar nanti Bel?” tanyanya sambil menggenggam tanganku. “Sedikit mas” jawabku seadanya. “Tenangkan dirimu Bella, kan ada aku” kini tanganku ia dekap di dadanya. Spontan aku menariknya. “maaf mas” kataku. Suasana menjadi hening, sopir mas Pratama masih fokus menyetir tanpa mengganggu semua keheningan yang ada.

          “Seminar kamu baik sekali Bella, ayo kita rayakan dengan dinner romantis di restoranku” pujinya padaku. Aku senang mendapat pujian dari mas Pratama karena dia adalah orang berkelas, pasti pujiannya dia sudah pikirkan berkali-kali sampai akhirnya bisa diucapkan segamblang itu kepadaku. “Terima kasih mas, aku senang sekali. Semua juga karena dukungan mas. Hmm.. tapi saya ingin merayakan ini dengan ayah dirumah mas” jawabku dengan senyum yang tiada habisnya. “Baiklah, ayo kita pulang kerumahmu” ajaknya dengan merangkulku, untuk saat ini aku tidak menolaknya. Biar bagaimanapun dia tetap seorang ‘calon suami’ bagi aku.

          “Ayahhh” teriakku sesampainya dirumah. Aku merangkul ayah dan ayah mengucapkan selamat yang tiada habisnya. Mas Pratama duduk santai dan menikmati drama indah antara aku dan ayah. Suasana yang sangat menyenangkan.

          “Kamu hebat Bella, sebagai anak satu-satunya kamu telah membahagiakan ayahmu” percakapan kami dimulai, kami duduk santai di teras rumah selayaknya sepasang kekasih. “Terima kasih mas, semua juga atas bantuan mas” ucapku penuh rasa terima kasih. “itu sudah kewajibanku Bell, sebentar lagi kan kita akan menjadi keluarga” ucapan mas Pratama seperti sengatan listrik tegangan tinggi.

          “nasi goreng... nasi goreng..” suara tukang nasi goreng membuat hatiku tenang kembali. “Mas mau nyobain nasi goreng? Enak loh” dengan cepat dan semangat aku menawarkan nasi goreng kesukaanku. Mas Pratama hanya mengangguk, aku cukup terkejut dengan reaksi mas Pratama. Nasi goreng pinggir jalan untuk orang berkelas seperti mas Pratama? Ya sudahlah, yang penting aku punya kesempatan untuk melihat lekukan wajah yang sudah menjadi candu di setiap malamku. “Bang dua porsi ya..” pesanku dengan wajah riang. “Wah lagi bahagia banget nih neng” katanya sambil meracik nasi gorengnya. Aku tersenyum senang. “Berdua sama siapa tuh neng? Temennya ayah neng? Apa om?” pertanyaan yang menghancurkan seluruh senyum dan bahagia aku malam ini. “Dia..” ucapan yang tak mampu aku teruskan. “Bella sayang, masih lama nasi gorengnya?” tiba-tiba mas Pratama datang dan merangkulku. Aku terpaksa tersenyum “Bang, ini calon suami aku. Kenalin namanya mas Pratama. Mas, aku langganan makan nasi goreng abang ini. haha”. Akhirnya semuanya terbongkar, seulas senyum kecut terlihat di lekukan wajah itu dengan balutan bulir-bulir keringat yang menetes perlahan.

***

Asupan khas itu masih tetap menjadi candu, namun kini candu yang tak mampu aku nikmati dengan bebas. Ada seorang ‘Om’ berstatus ‘suami’ disampingku.

END



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment