Saturday, March 3, 2012

MENATAP JAKARTA (1)

Lelahnya setelah beraktivitas kuliah, menunggu bis di halte adalah hal yang paling membosankan. Ketika rasa lelah menyergap, mataku akan menyusuri satu persatu wajah-wajah lelah lainnya di halte. Aku melihat satu sosok wanita cukup muda dengan pakaian batik modern. Tangan kanannya memegang tas berwarna merah yang berkilau dan tangan kirinya memegang satu bungkusan berisi roti papabunz. Perutku menjadi sedikit lapar melihatnya, roti itu termasuk roti kesukaanku. Jika aku membelinya sekarang pasti nanti bis yang ku tunggu akan lewat meninggalkanku.

Suara mobil dan motor tidak juga mengalihkan pandanganku pada wanita ini. Beberapa saat kemudian sebuah motor dengan berhenti tepat di depannya. “Pasti prianya” pikirku dalam hati. Aku terus mengamati wanita itu, gerakan tubuhnya gontai. Mereka seperti sedang berdebat, entahlah mungkin mereka sedang bertengkar. Dari gerakan bibir mereka aku melihat percakapan mereka, sang pria bilang “Ya macet.. biasalah Jakarta..” Wanita berbaju batik itu berjalan pelan, melihat prianya dengan tatapan menuduh. Prianya seperti merasa aku perhatikan dari tadi, sesekali matanya melirikku. Ah, perasaanku jadi tidak enak. Aku berpura-pura mencari-cari bus yang aku tunggu sambil sesekali melirik kearah mereka. Sayup-sayup pertengkaran mereka juga terlihat jelas. “Ya udah pulang aja sana” kata wanita berbaju batik itu dengan wajah sangat ketus. Muka sang pria sudah tidak bersahabat lagi. Ada semburat merah di sekitar pipinya, bahkan nafasnya sangat kencang. Terdengar jelas hembusan nafas pendek-pendek dari pria itu. Aku melihat tangan kiri wanita berbatik yang sedari tadi memegang bungkusan berisi roti papabunz di berikan pada pria itu. Pria itu terus menolak, sampai akhirnya wanita itu menaruhnya secara paksa di motornya.

Wajah kesal dari si pria itu makin terlihat jelas, wah! Matanya kini semakin membesar. Sesekali pria itu masih melirik ke arahku, mungkin dia merasa sejak tadi aku memperhatikan pertengkaran mereka. Aku yang sudah merasa tak enak beralih dari halte, berpura-pura menghampiri bis yang sejak tadi tidak terlihat bahkan suaranya yang khas pun tidak terdengar. Ketika aku berjalan, aku mendengar suara motor yang di gas sangat kencang. Aku segera menengok, ternyata suara itu berasal dari pria itu. Kecepatan tertinggi diambil olehnya. Degup jantungku menjadi sangat kencang, sembunyi dalam hati berdoa agar tidak terjadi hal yang bukan-bukan terhadap pria itu.

Wanita berbatik itu melewatiku dengan langkah sangat cepat. Desahan kesal darinya sangat jelas terdengar di telingaku, “Dasar cowok ga tau diri, ga ngerti cewek! Disuruh pulang malah pulang beneran. Percuma gue udah dandan cantik begini harus pulang sendiri.” Dalam hati aku tertawa kecil, sungguh lucu perilaku wanita ini. Tidak sampai satu menit, wanita berbatik itu sudah hilang dari pandangan mataku. Karena mereka berdua sudah tidak berada di dekat halte maka aku duudk kembali. Menunggu bis semakin membosankan, perutku sejak tadi terus saja protes minta diisi dengan papabunz. Menghilangkan rasa lapar aku kembali melirik ke sekitarku, mencari pemandangan seru seperti tadi. Wah pria yang tadi kembali lagi, aku memperhatikannya berhenti di tempat tadi dia bertengkar dengan wanita berbaju batik. Bedanya, kali ini dia mematikan mesin motornya. Melepas helmnya dan menenteng papabunz di tangan kanannya.

Perlahan tapi pasti pria itu menghampiriku. “Mba, boleh kenalan?” sapanya kepadaku. Aku menengok ke kanan dan kekiri mencari orang yang dia ajak bicara namun nihil. “gue?” tanyaku kemudian. Pria itu hanya tersenyum, kemudian duduk di sampingku. “daritadi lu serius banget ngeliatin gue berantem?” tanyanya namun tidak menatap wajahku, pandangannya lurus ke depan. “Eh.. Maaf engga maksud loh” jawabku grogi. “Engga apa-apa. Namanya siapa?” kali ini dia menatap wajahku lamat-lamat. Udara di sekitarku terasa panas, hawanya sudah berbeda nih.

“Nama gue Indah” jawabku singkat dan tetap menatap jalanan yang penuh dengan mobil pribadi. Pandanganku buyar seketika saat tanganku seperti menyentuh sesuatu, bungkusan papabunz. Aku menatap wajah pria yang sejak tadi duduk di sampingku “daritadi nunggu bis pasti laper” katanya kemudian. Tanpa tahu malu aku memasang wajah sumringah, bahagia tiada tara. “Makasi” jawabku dan langsung menerima bungkusan itu. Dia hanya menatapku, ujung mataku menangkap itu namun wajahku seolah sedang menanti bis di jalanan padat di depan mataku. Sesekali aku melihat ke arahnya, dia terus saja memperhatikan wajahku. Semoga wajahku tidak memerah, udara terasa semakin panas. “Pacar lu marah tadi” kataku mengubah suasana yang semakin terasa panas. Dia hanya diam, dari sudut mataku terlihat matanya fokus menatap taksi yang di parkir sembarangan. “Biarin lah, udah jauh-jauh gue kesini Cuma buat dimarahin” katanya pelan dan sendu.

Bis yang aku tunggu sudah datang, aku berdiri dan meninggalkan dia yang masih larut dalam kesedihan. Sebelum menaruh kakiku di pintu bis, aku sempatkan menengok ke arahnya. “Makasi papabunznya. Gue pulang duluan ya” teriakku yang hanya di balas senyum tipis di bibirnya. Aku sibuk mencari kursi bis yang kosong dan melupakan pria yang terus saja melihatku bahkan sampai bisku melaju kencang. Pria itu tetap duduk di kursi halte tanpa berbicara.

(bersambung) MJ 2


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

2 comments:

  1. wakakak..
    emang begitu cara mainnya, penasaran dan mencoba melanjutkan. tunggu yaa. tugasnya banyak nih. bete deh terhambat sama kuliah.

    ReplyDelete