Saturday, August 20, 2011

BELAHAN JIWA YANG HILANG


“haaa sayang aku kangen.. hampir sebulan kita belum ketemu” suara lantang berasal dari perempuan yang duduk tepat disampingku. Ia memakai baju sangat anggun dan berbicara dengan semangat pada handphonenya. Aku sama sekali tidak berniat menguping pembicaraan perempuan ini, namun suara lantangnya memaksaku untuk terus mendengarnya. Sebisa mungkin aku berusaha menghabiskan nasi goreng ayam pedas dihadapkanku, namun kata-kata yang terlontar dari perempuan ini membuatku tidak nafsu makan lagi. Segera aku beranjak dari tempat dudukku dan menuju kantorku kembali.
“John, kamu sudah selesai makan siang? Cepat sekali” sapa Lia padaku. Aku menatap wajah Lia dan mengangguk. Lia tersenyum sangat manis kepadaku, lesung pipinya yang sangat dalam membuatnya terlihat sangat manis. Kembali kuhampiri kursi kerjaku dan berusaha menyelesaikan tugas yang selalu menumpuk. Kembali aku teringat 1 kata dari wanita disampingku tadi ...
“kangen”.
Sebagai seorang pria aku sangat lemah dengan 1 kata itu. Hubungan jarak jauh sangat menguras energi bagiku. Apa kabarmu disana Mayang?

 

 ...

Senin, 8 Agustus 2011
Hari ini aku akan berkunjung kerumah Mayang, aku akan melepaskan segala rasa rinduku padanya. Wanita cantik dan sangat mempesona untukku, ah aku tidak sabar melihat parasnya yang cantik. Apakah dia berubah? Semoga setelah merantau dinegeri orang selama 1 tahun tidak membuatnya banyak berubah.
“Hai John.. Kamu kurusan sekarang..” ucap Mayang kepadaku. Aku menatapnya tajam, banyak perubahan dalam dirinya. Mayang tambah cantik dengan dress merah marunnya dan rambutnya yang terurai indah. Bibir mungilnya dipoles dengan lipstik merah muda yang membuatnya tampak sangat manis.
“Kamu makin cantik” ucapku dengan senyum lepas. Aku sangat merindukannya, melihatnya merupakan hal terindah dalam hidupku. Kami segera pergi menuju cafe favorit kami, namun didalam cafe kami lebih banyak diam dan sibuk dengan perasaan masing-masing.
“John, kamu tersiksa dengan hubungan ini?” Mayang membuka pembicaraan. Aku terkejut dengan ucapannya yang tiba-tiba. Tidak bisa aku menjawab, aku hanya terdiam dan menenangkan hatiku yang bergemuruh. Memang aku merasa berat dengan hubungan ini, namun apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus ikut merantau dengannya? Aku tidak tahu harus berkata apa, mulutku seakan terkunci dengan semua pertanyaanku sendiri.
“Mungkin lebih baik kita jalan masing-masing. Demi kebaikan aku dan kamu.” Ucap Mayang. Aku menatap mayang lekat-lekat dan dia fokus mengamati pizza didepannya. Jantungku seakan berhenti berdetak, aku berusaha menahan emosiku. Nafasku sangat kencang hingga membuat badanku ikut bergerak naik turun.
“Aku terima apapun keputusanmu.” Jawabku pelan. Aku berharap dia akan mengambil kembali kata-katanya. Aku berharap dia menangis dan menyesal mengatakan itu kepadaku. Namun itu semua hanya harapanku, Mayang tetap diam membisu.
...
Pagi yang terasa sangat berat untuk pergi ke kantor, aku berjalan tanpa semangat bahkan saat meja kerjaku sudah ada didepan mataku.
“John, kamu sakit?” Lia memecahkan keheninganku. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum. Senyum yang sangat dipaksakan. Setelah duduk dikursiku Lia kembali menghampiriku dan menatapku, tangannya bergerak menuju keningku namun aku menepisnya.
“Aku baik-baik saja. Kamu bisa kembali bekerja sekarang.” Jawabku sinis. Lia menatapku sendu. Dalam matanya aku melihat kepedihan yang mendalam. Segera ia membalik badannya dan berjalan cepat menuju meja kerjanya. Hatiku seolah merasakan sakit yang ia rasakan, aku menghampirinya untuk meminta maaf.
“Apakah kamu belum sadar juga John? Aku ini care sama kamu..” ucapnya lirih bahkan aku melihat matanya berair. Aku terdiam dihadapannya. Mencoba menunggu hatinya berhenti bergejolak, sangat tidak pantas aku membuat wanita yang sangat manis seperti Lia menangis.
“Maaf Lia, aku baru saja putus cinta semalam. Semoga kamu mengerti dan berhenti mengharapkan aku.” Kataku dengan tegas. Berusaha membuat Lia sadar akan kondisiku. Melihat Lia mulai membaik aku segera meninggalkannya. Namun langkahku terhenti dengan suara lembutnya.
“Aku akan terus menunggumu John.”
Kembali kulanjutkan langkahku meninggalkannya. Apapun yang ia lakukan tidak akan membuatku menaruh hati padanya, hatiku telah kutitipakan pada Mayang walau kisah ini telah berakhir semalam.
...
Lima bulan setelah kejadian itu aku mendapat kabar Mayang pulang. Ku beranikan diri menemuinya dirumah. Kulihat raut wajahnya semakin cantik, namun matanya sedikit sembab. Mungkin terlalu lelah karena baru sampai. Kami berbicara panjang lebar diteras rumahnya sesekali kami terdiam dan sibuk dengan detak jantung kami masing-masing.
“John, aku sudah bertunangan kemarin” suara Mayang seperti pisau tajam yang langsung menusuk jantungku. Badanku lemas seolah ingin terkapar dilantai. Nafasku tak teratur, mataku kunang-kunang. Rasanya aku ingin pingsan, namun aku bertahan dalam posisiku dan tersenyum.
“oh ya? Selamat yaa” dengan senyumku yang sangat amat dipaksakan.
...
Jam makan siang setelah sebulan mendengar kabar menyakitkan itu. Aku sama sekali tidak merasa lapar siang ini. Mataku fokus dengan telephone didepanku. Perlahan tanganku bergerak menyentuhnya dan menekan nomor telephone Mayang. Aku akan memintanya kembali padaku dan segera memutuskan hubungannya dengan pria yang aku tidak kenal.
“Hallo..” suara pria cukup tegas ku dengar disana. Aku bingung, suara ini bukan suara ayahnya, lalu suara siapa? Emosiku mulai naik, namun kucoba mengatur nafasku agar tidak terjadi pertengkaran.
“Bisa saya berbicara dengan Mayang?” ucapku mantap. Pria diseberang sana bertanya aku siapa dan ada perlu apa dengan Mayang. Aku semakin emosi, aku benar-benar sudah dikuasai oleh amarahku sendiri. Aku mulai memarahi dan memaki pria ini, banyak perkataan kotor yang ku lontarkan untuknya.
“Maaf, aku suami Mayang. Tolong jangan ganggu istri saya lagi. Terima kasih.” Kalimat itu memukul telingaku. Amarahku segera berganti dengan kepedihan, bahkan suara telephone ditutup itu menjadi musik pengiring keterpurukkanku. Aku duduk lemas dikursiku, penyesalan sudah tidak berguna saat ini. Aku sudah tidak punya belahan jiwa, semua sudah hilang dan tidak mungkin kembali lagi.
“John, ini buat kamu. Aku belum melihatmu makan siang.” Ucap Lia sambil meletakkan makanan dimejaku. Aku menatapnya dan tersenyum tanda terima kasih. Dia menghampiriku dan menatapku lekat-lekat. Matanya seolah memaksaku bersuara kepadanya, aku pun mulai berkata,
“Lia, terima kasih ya. Mungkin aku akan mencoba mencintaimu mulai saat ini.”

END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment