Monday, October 8, 2012

Hujan

Hujan sore ini merupakan pertanda bahwa salah satu tempat di sudut hati kita terluka dengan adanya perpisahan ini. 

***

Panas terik matahari di bilangan salemba menusuk kulit sampai perih aku rasa. Peluh menetes satu dua sampai warna bajuku berubah pekat. Roda itu berputar mendekat, akhirnya bis yang aku tunggu datang dan mengangkutku masuk ke dalamnya.

Aku menatap jalanan dengan hati lega, panas yang tadi aku rasakan sudah berkurang terbasuh angin dari AC bis patas ini. Mataku berkeliaran, melihat hiruk pikuk Jakarta yang sangat sibuk tanpa memperdulikan peluh yang terus menerus menetes di dahi. Lamunanku kembali pada memori sekitar setengah jam yang lalu, ketika kamu akhirnya mengetahui sesuatu.

“Netti, kamu pulang hari ini?” sapa Abi dengan berlarian kecil menghampiri aku. “Iya bi, kenapa? Mau bareng? haha” candaku memancing-mancing. Ah, aku memang terlalu liar. Aku seperti menutup mata, melupakan keberadaan tunanganku. “Boleh deh Net, tunggu aku sebentar ya” angguknya. Aku mematung, memandangi punggung Abi yang menjauh. Entah bagaimana aku harus mengatakan perasaan yang aku rasakan saat ini, seperti ada desiran angin menggoda bibir untuk tersenyum. Bahagia.

Aku berjalan seperti menghitung langkah, canggung justru hadir dari dalam diri aku. Payah sekali, aku mengutuk adanya getaran yang merambat dari jantung ke seluruh tubuhku. “Net, kamu kapan nikah? Umur udah banyak juga” Abi memulai perbincangan. Aku membisu beberapa saat. “Ah kamu duluan aja bi” jawabku sebisanya. “Wah aku mah belum ada modal, belum ada calon juga” ucapnya sambil menatap mataku dalam. Aku kembali menghitung langkah, mungkin ini waktunya aku menyudahi rasa yang tidak layak ini. “Aku sih calon ada tapi kan butuh modal juga” jawabku mantap namun hatiku berdegup kencang. Aku beranikan diri melirik Abi, ia menunduk dan terlihat seperti menghitung langkah. Keheningan menyelimuti kami berdua yang hanya mampu menghitung langkah.

“Kamu langsung pulang bi?” tanyaku takut-takut. “Eh, ngga Net aku mau ada urusan dulu” jawabnya canggung, seperti orang yang baru tersadarkan bahwa kakinya masih menapak di bumi. “Cieee Abi mau ngapel rumah cewek ya? haha” candaku mencoba mencairkan suasana. “Ah ngapel siapa? Kamu kan udah punya calon. haha” Abi tertawa, namun terdengar getir. Aku mencoba tertawa sebisanya “Bisa aja kamu bi, kalo jodoh mah ngga akan kemana.”

Lamunanku tersadar ketika ada seorang lelaki paruh baya duduk di sampingku. Mataku kembali berkeliling mengamati jalanan. Bis sudah sampai di bilangan Jakarta Selatan, rintik hujan sedikit demi sedikit mulai turun. Mataku basah, wajahku memerah. Aku memejamkan mata sejenak kemudian mengamati rintik hujan yang menggelayut di sisi jendela. Ponselku berbunyi, aku melihat nama Abi disana. Dengan sigap tanganku membuka pesan yang dikirimnya “Kalau jodoh ngga akan kemana, semoga kamu adalah jodohku” Bendungan di kelopak mata tak mampu aku tahan lagi, bulir air mengalir deras di pipi merahku. Aku menatap trotoar jalanan, terlihat seorang wanita menari seperti robot di tengah hujan. Anak-anak kecil mengejeknya “orang gila”. Aku dengan wanita itu mungkin memiliki kesamaan, merasakan kesakitan batin.

***

Hujan sore ini merupakan pertanda bahwa salah satu tempat di sudut hati kita terluka dengan adanya perpisahan ini. Rintik hujan ini sedang mencoba membasuh pemilik hati yang sedang terluka.




END



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment