Tuesday, October 9, 2012

Hilang

Menjadikan kamu pacar aku? Mungkin aku bisa, namun waktunya saja yang belum tepat. Terkadang aku lucu sendiri melihat perilaku kamu yang seperti ketakutan. Mengejar dan terus saja mengejar aku, padahal kamu wanita yang sejatinya layak di kejar.

***

      Kuliah lagi, kuliah lagi. Rasanya bosan sudah melingkupi isi otakku dan membuat langkah kakiku gontai. “Lemes banget mas jalannya?” kata wanita berbaju biru di depanku. “Bosen” jawabku acuh dan tak mau melihat wajahnya. “Semangat dong, kan Vani jadi ikut lemes kalo liat Kevin lemes” katanya lagi dengan wajah dibuat sedih. Ekspresi yang sangat lucu dan mengocok perut, sayangnya aku hanya mampu memberi tatapan sinis dan membunuh. Wanita berbaju biru itu akhirnya pergi, namun bukan berarti menyerah.

     “Kevin, udah dapet jurnal yang bagus belum? Vani dapet dua nih, pilih aja mau yang mana?” tiba-tiba dia datang lagi dengan tumpukan kertas yang masih panas. “Gue udah dapet kok Van” berbohong, aku berbohong hanya untuk membuatnya pergi dan tidak mengganggu aku. “Tentang apa? Ini materinya pas banget sama hobby Kevin loh, dibaca aja dulu” ia terus memaksa. Aku menatapnya dengan pandangan yang tak mampu aku artikan. Kami diam lama dan hanya saling tatap. Wanita itu mendesah kemudian menaruh tumpukan kertas panas itu di mejaku dan pergi. Aku terpaku dan membisu. 

     Jahat. Aku memang jahat kata kebanyakan orang. Namun mau bagaimana lagi, aku jahatpun tetap saja wanita itu terus dan terus mengejar seolah laki-laki di dunia ini hanya aku. Sebagai wanita seharusnya dia malu, seharusnya dia lebih banyak mengahbiskan waktunya untuk memperbaiki diri agar nantinya akan ada lelaki yang mengejarnya. Dunia ini memang sudah terbalik.

    Seminggu belakangan wanita itu berubah. Walau perubahannya tidak drastis namun rasanya perubahan dia semakin terlihat. Terlebih lagi kini dia sudah mulai berteman dengan lawan jenis, ini merupakan perubahan paling hebat yang aku lihat. Sesekali aku seperti merindu, mengenang dan merintih sesal. Aku rindu senyumnya dan semangatnya ketika menawariku bantuan. Aku rindu wajah kecewanya ketika aku yang terus dan terus menolak bantuannya. Apakah ini rindu? Atau hanya sebersit rasa sesal?


                Bagaimana endingnya?  *cerpen gagal* :D

nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment