Monday, July 30, 2012

WAKTU

   

          Seminggu sudah sejak dia menyatakannya padaku, senyumannya kepadaku, sentuhannya dan anggukan maluku saat itu. Ah.. betapa ini sungguh indah jika dialami anak sekolahan. Rasanya cinta itu emang gila, umurku sudah 30 tahun namun berasa masih anak SMA yang hanya ingin bersenangsenang. Hidup ini sudah menjadi pilihanku, tak apalah asal aku bahagia.

          “Hari ini kamu cantik sekali Rin” ucapnya sambil terus membelai rambutku nan mesra. Mukaku bersemu merah seperti jambu air yang merekah. Dia terus saja bercerita kesana dan kemari tentang hidupnya. Kerjaannya dan kesibukkannya. Betapa aku selalu tak punya alasan untuk berpaling tak menatap mukanya. Setiap lekukan wajahnya bahkan garis-garis halus yang menunjukkan umurnya yang tidak muda lagi. Bentuk rambutnya menegaskan bahwa ia lelaki dewasa.

          “Hari ini ibu Betty ngamuk lagi Rin, wah aku sampai lupa makan siang karena tugas dia yang super banyak” katanya terus melanjutkan curahan hatinya. Sesekali ia mengurut dahinya yang lelah. Memejamkan matanya yang semakin terlihat bias. Kacamata minusnya ia lepas dan di sangkutkan pada saku kemejanya. Kancing bajunya tak disangkutkan seluruhnya, dasinya sudah dikendurkan kebawah agar lehernya semakin leluasa merasakan udara sore di taman permata ini. “Kamu mau aku pijat mas?” kataku sembari meraba pundaknya yang masih terlihat sangat lelah. “Tidak perlu Rin, aku hanya ingin merokok sekarang” jawabnya.

          Aku hanya tersenyum dan membiarkannya menyentuhkan percikan api ke sebatang rokok di tangannya. Ia menghisapnya dalam. Asapnya yang mengepul hebat menggangguku, sungguh mengganggu. Namun kali ini aku hanya ingin berada di dekatnya. Tak peduli berapa banyak racun dalam asap itu yang merusak paru-paruku. Aku menyandarkan kepalaku pada pundaknya. Semakin nyaman aku di dengan posisi seperti ini. “Rin, bagaimana harimu?” tanyanya sambil terus menghisap batang rokoknya yang semakin memendek. “Biasa saja mas, Muli lagi-lagi membuat onar di kantor. Meneriakkan gosip terus, aku mulai risih” ucapku sedikit ragu takut-takut ia merasa bersalah. “Karena aku lagi ya Rin?” tanyanya. Aku terdiam. Menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tak ingin ada air mata disini.

          Aku menegakkan badanku dan tak lagi menyandarkan kepalaku di pundaknya. Ia ikut terdiam, semenit kemudian ia membuang rokoknya. “Aku ngga apa mas, ini kan pilihan aku” jawabku sambil tersenyum. Tatapan matanya lurus ke mataku namun tetap terlihat bias. “Maafkan aku Rin” ucapnya sembari memegangi tanganku. Gejolak hati rasanya ingin meledak saat ini.

          “Tak apa mas, oh ya tadi Robi membelaku loh mas. Ternyata cowok pendiam seperti dia punya hati yang sangat baik” aku mencoba mengubah topik pembicaraan. “Oh ya? Wah jangan-jangan diam-diam dia suka sama kamu Rin, hehe” tawa renyahnya menenangkan. “Ah mas suka gitu, kan dia tahu aku sama Mas” elakku. Kembali kami diliputi kabut hitam kepedihan. Aku terdiam. Ia pun terdiam.

          “Mba Dina apa kabar mas?” tanyaku tiba-tiba, mencoba mencairkan suasana. “Dia baik, sekarang sudah mulai bisa makan sendiri walau masih harus duduk di kursi roda” ucap mas sedih. “Baguslah mas, sedikit-sedikit pasti mba Dina akan kembali sehat dan riang kembali” hiburku. “Hanya waktu yang akan menjawab Rin, terkadang Rehan membantunya” ucap mas terdengar parau. “Ah Rehan memang anak yang baik, disekolah juga juara kelas kan mas? Ah beruntung sekali Mba Dina memilikinya” ucapku dengan suara yang dibuat seriang mungkin. “Yah begitulah” ucapnya.

          “Mas juga beruntung” kataku. Ia terdiam lagi. Beberapa menit kami lewati hanya dengan pikiran kami yang kalut. “Sudah hampir petang, mas harus pulang Rin” katanya memecah keheningan. Aku hampir tak mampu menahan bendungan air mata yang semakin bergejolak ingin keluar. Ia memelukku hangat. Seketika air mataku pecah tak beraturan. “Maafkan mas Rin, andai mas bisa mengulang waktu” ucapnya tulus.

          “Tak apa mas, ini sudah takdir. Salam buat mba Dini dan Rehan ya mas. Mereka pasti menunggu mas sekarang. Mas kan kepala keluarga” isakan tangisku semakin kencang. Ia tak bergerak. Ia seperti mematung. Badannya kini terasa dingin. Sepertinya kata-kataku tadi seperti sengatan listrik yang menyadarkan dirinya. Seorang kepala keluarga yang pastinya akan ditunggu oleh istri dan anaknya. Seorang suami yang dicintai istrinya. Seorang ayah yang dibutuhkan anaknya. Biarlah. Hidup itu pilihan. Aku bahagia meski hanya menjadi simpanannya. “Pulang lah mas, aku sudah mulai terbiasa” :’)

END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment