Saturday, July 21, 2012

Putus

“Aku pilih bintang itu, yang berwarna merah” kataku sambil menunjuk kearah bintang yang terlihat merah di mataku. Entahlah. Mungkin karena sorot mataku kini memancarkan kebencian yang sangat dalam.

“Ambillah bintang itu Dess, untukmu. Sebagai penggantiku dikala kau merindukanku” Jerry terus memandangiku. Aku terdiam. Tidak ingin ku ucapkan sepatah katapun. Aku tidak ingin air mataku pecah.

“Maaf Dess kalau selama ini aku telah pergi dan kembali membawa kenyataan pahit seperti ini. Aku hanya ingin jujur, bahwa aku bosan padamu” Jerry terus memandangiku. Aku tetap diam dan menatap bintang berwarna merah itu dengan tatapan pilu. Berbeda dari aku, Jerry lebih banyak bergerak dan gelisah. 

“Maaf kalau aku sangat menyakiti hatimu, sekarang saatnya aku pergi” Jerry terdiam dan kemudian mencoba mengangkat bokongnya dari tempat duduk bambu penopang lelah kami.

“Aku hamil” ucapku cepat sebelum Jerry benar-benar berdiri menjauhi bokongnya dari tempat duduk bambu. Sedetik ia kembali terduduk.

“Apa dia anakku?” katanya sedikit bergetar, getaran penuh emosi. Aku terdiam. Semakin terdiam. Dia pikir aku perempuan seperti apa? Aku tidak ingin air mataku pecah. Aku tidak ingin berbicara. Aku tidak ingin kalah.

“Lebih baik kita periksa dulu Dess, jangan kamu tuduh aku. Kita hanya sekali melakukannya kan?”

Cih!! 

Pesona tampan Jerry seketika hilang dalam hitungan detik. Menyesal. Aku ingin mengoyak-oyak perutku. Aku ingin jabang bayi ini tahu betapa rusak otak bapak kandungnya. Aku ingin jabang bayi ini merasakan perihnya hatiku saat ini. Aku memalingkan pandanganku. Kini aku menatap mata Jerry lamat-lamat. 

“Kamu pikir aku sama seperti kamu? Kamu pikir aku wanita yang mudah memberikan segalanya? Hah? Kamu sudah 2 tahun Jerr bersama aku. 2 tahun! Belum cukup kamu kenal aku? Aku hanya memberikan jiwa dan ragaku padamu. Tidak ada yang lain. Dan sekarang kamu hadir mengantarkan bosan? Semudah itu Jerr?” Aku menangis. Air mata yang sedari tadi telah aku bendung pecah juga. Dingin udara yang menusuk tulang tak lagi mampu ku rasakan. Bekunya hati semakin mengeras dengan isakanku yang membuat bahuku naik turun.

“Tanpa perlu diperiksa, aku sudah tahu Jerr. Aku yang mengandung dan hanya aku yang tahu siapa bapaknya. Tega sekali kamu meragukanku Jerr,aku kecewa” tatapanku semakin lekat pada mata Jerry. Bosan. Aku sebenarnya sudah bosan menangis sejak 2 bulan lalu. Ketika Jerry menghilang tanpa kabar. Menyakitkan memang. Namun malam ini, ketika ia mengantarkan bosan padaku. Rasanya lebih sakit. Apa yang akan aku perbuat dengan jabang bayi yang ada di kandunganku ini?

“Gugurkan saja dia” tiba-tiba Jerry seolah bisa membaca pikiranku. Ia tertunduk menatap aspal yang rata. Aku terdiam. Meredakan isakkan yang sedari tadi tak mampu di redakan.

“Sudahlah Jerr, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mengandung anakmu. Aku tidak meminta tanggung jawabmu. Terima kasih Jerr. Kita putus.” Ucapku tulus sambil menatap bintang merah. Mungkin bintang itulah yang akan menggantikan Jerry. Hanya bintang merah itu yang akan menemani aku ketika membutuhkan Jerry. “Selamat tinggal Jerry” ucapku lirih. Ucapan yang ku tujukan lebih kepada diriku sendiri. Kenyataan memang pahit, tapi ini adalah pilihan hidupku. Meski aku kehilangan Jerry, setidaknya aku memiliki sebagian dari hidupnya. Aku berlalu sambil terus memeganggi perutku. Aku tidak ingin jabang bayi ini kenapa-kenapa. Aku ingin menjaganya. Menjaga agar cintaku tetap. Menjaga agar cintaku tidak terhapus dengan waktu. 

END


nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment