Thursday, February 27, 2014

Masa Sekolah (2)



Bel jam istirahat berbunyi. “Bawa bekal makan siang?” pertanyaan Riri mengejutkanku. Aku menggeleng. “Lu beli makan aja dulu dikantin, gue tunggu biar kita bisa makan bareng” Riri teman yang baik, aku tidak salah menerimanya sebagai teman satu mejaku.
“Udah lu makan aja duluan, gue juga masih bingung mau makan apa”
“Ya udah sana cepat ke kantin, nanti lu kelaperan loh..”

Aku mengangguk dan beranjak dari tempat dudukku. Sepanjang aku berjalan menuju kantin, banyak juga yang menyapaku. Bukan karena aku terkenal, tapi karena papa aku bekerja di sekolah ini. Dengan keberadaan papaku di sekolah juga yang membuatku cukup takut untuk PDKT dengan cowok-cowok. Karena pasti papaku tahu bagaimana bebet dan bobotnya. Sedikit merasa terpenjara, namun aku bukan termasuk cewek yang pengen buru-buru punya pacar, tapi kalo ada yang mau sih boleh aja. Hehe  

Setelah membeli makanan dikantin aku kembali ke kelasku. Aku terhenti di depan pintu. Deg! Cowok itu lagi, kenapa dia di depan pintu kelas sih? Aku memutar otak agar dapat masuk kelas tanpa gemetar. Ada cowok yang menghampiriku, tapi itu bukan dia. Aku terdiam menunggunya sampai tepat di hadapanku. “Hai Fay, kenapa diem aja dari tadi?” sapa cowok itu, garing!
“Kok lu tahu nama gue sih?”
“Yaiyalah, anaknya Pak Lian siapa yang ngga tau?”
“Oh karena papa lagi, huh.. udah ah gue mau masuk kelas”
Langkahku pasti namun terhenti begitu melihat cowok yang…
“Santai aja Fay, dia emang suka iseng” cowok itu berbicara padaku, oh. Tunggu. Tadi dia juga menyebut namaku, ya ampun. Aku mengatur nafas perlahan. “Siapa sih dia?’ sepertinya aku sedikit gemetar. “Namanya Didi, dia udah biasa jahil kayak gitu. Gue juga jadi ketularan” dia tertawa, aku pun tertawa sebisanya. “Lu liat sendiri kan tadi. Nama gue Ichsan” oh Tuhan, dia memperkenalkan namanya, yang sejak tadi pagi aku inginkan. “Gue Fay” ada getaran halus disetiap sudut hatiku. Rasanya aku ingin pingsan.
“Udah tahu, lu kan cukup terkenal, hehe” Deg! Ah senyumnya, aku tak dapat berkutik.
“Yang disebelah lu siapa namanya?” lanjutnya lagi. Aku terkejut, aku fikir dia tidak akan berbicara lagi. “Riri” jawabanku sangat singkat. Aku tersenyum padanya, yeah pada Ichsan. Ichsan tidak lagi tersenyum padaku, ia berjalan ke arah Didi dan menuju kantin. Aku berlagak cuek dan berjalan memasuki kelas lalu duduk disebelah Riri.

Lu ngapain tadi di depan?” suara Riri agak beda. Raut wajahnya menunjukkan sedikit amarah. Matanya menyipit seperti ingin membidik sesuatu.
“Cuma kenalan, mereka Cuma anak usil Ri, tadi juga nanyain nama lu kok” jawabku pelan. Semoga Riri tidak membenci mereka, terutama Ichsan. Kalau aku jadi Riri mungkin juga sedikit kesal, tapi aku yakin nanti Riri akan membaik. Riri terlihat seperti anak yang baik, hanya saja dia sering diam dan mungkin mencintai HPnya. Aku cukup nyaman duduk disampingnya, dia pintar dan ini cukup membantuku lebih serius untuk belajar. Materi palajaran IPA banyak yang aku tidak mengerti, sulit dipelajari. Namun disinilah aku, aku harus lulus. Demi papa. Demi harga diri keluarga. Karena papa pasti akan malu jika anaknya tidak lulus SMA.

***

 “Kerjakan soal yang ada pada buku paket kalian, hitung dengan benar” suaranya lantang, membuyarkan lamunanku. Matematika, soal mudah pun terasa berat dipundakku. Badanku seperti tak bertulang dan mataku kunang-kunang. Aku memang tidak layak berada di jurusan ini. “Riri, lu ngerti soal-soal ini?” suaraku lemas sekali. Riri pasti menganggapku sangat malas, memang. “Gue coba dulu ya Fay, nanti gue bantu kok” mukanya serius, aku tersenyum lalu meletakkan kepalaku diatas meja. Wajahku menghadap kearah.. Ichsan. Wajahnya sungguh sejuk, angin semilir berhembus di hatiku. Deg! Ichsan menatapku, aku terpaku. Mulut mungilnya bergerak mengatakan “Kenapa?” tanpa suara. Aku tersenyum. Dia pun tersenyum. Deg! Lagi-lagi jantungku ini, rasanya ingin terbang bersamanya. Tanpa aku sadari, mataku tetap memandangnya. Dia tersenyum. “Riri, kerjain yang bener ya! Ntar gue liat, hehe” suaranya lantang, aku terkejut sampai bangun dari posisiku tadi. “Dasar, kerjain dulu sana” kata Riri ketus namun bersahabat. Aku cukup lega. Aku melirik ke Ichsan, dia tersenyum lalu malihat buku matematikanya lagi. Riri sudah memberikan lampu hijau pada Ichsan, semoga ini berlanjut untuk seterusnya. Supaya aku dan Ichsan bisa lebih dekat.

***

*to be continue

No comments:

Post a Comment