Sunday, August 12, 2012

menunggu



Setelah sekian lama akhirnya aku bisa melihatmu lagi. Ketika keadaan yang sudah berbeda, parasmu yang berbeda dan apakah rasa yang berbeda juga? ~

***

            “Hei Shel, kemana aja lu baru keliatan?” sapa Deni ketika mendapati aku yang berdiri mematung di depan pintu kantor lamaku. Aku masih saja menikmati setiap detail ruangan kantor yang sama sekali tidak berubah sejak aku tinggal. “Eh iya Den, baru sempet jenguk kalian nih, hehe” jawabku asal. Aku mendapati seseorang di pojok kanan tanpa berkedip melihatku, aku melemparkan senyum tanpa ragu. Lebih tepatnya, aku tersenyum spontan. Tidak ada yang memerintahkan, semuanya terjadi akibat gejolak yang telah lama terpendam di dalam dada.
            Perlahan aku mulai berjalan memasuki lorong kantor yang padat namun terlihat sangat nyaman. “apa kabar.. Shidiq?” ucapku terbata. Ada hangat yang aku rasakan di pipiku. “Baik Shel, tumben kamu kesini?” jawabnya santai. Wajahnya sudah berbeda sekarang. Dia sudah lebih rapi dibanding dahulu. Seperti sudah ada yang mengurus...dan rasanya aku kesulitan mengatur nafasku. “Iya nih, baru sempet pulang cepet dari kantor terus kangen sama kantor ini. hehe” ucapku sedikit gemetar. Aku merasa ada angin yang berhembus dan dalam sekejap badanku di kagetkan dengan tinju pelan khas Deni. “Kangen kantor apa kangen Shidiq? hahaha” ucapnya asal. Dari dulu sampai sekarang Deni tidak pernah berubah, selalu jahil. Aku hanya mampu terkekeh sebisanya.
            “Shel, udah lama dateng? Ih ngga bilang-bilang” tiba-tiba Shira datang menyapaku. Aku segera memeluknya erat. “Iya Shir, aku juga dadakan. Mumpung pulang cepet dari kantor. Hehe udah pada mau balik ya?” ucapku sambil tetap mencuri pandang ke arah Shidiq. Aku masih kesulitan untuk mengatur nafasku. Ruangan berAc seperti ini saja aku merasa sedikit berkeringat. “Iya Shel, kita dari kemaren lembur. Makanya sekarang mau pulang cepat. Suami gue kasian Shel. hehe” canda Shira kepadaku. Aku hanya mampu mencubit lengannya yang gemil.
            “Shel, rumah lu masih di Kota? Bareng Shidiq aja, kan searah” kata Deni membuatku semakin merasa panas. Pipiku pasti sudah sangat merah dibuatnya. Aku tersenyum malu. “Iya Shel, bareng aja” tiba-tiba Shidiq bersuara. Aku terkejut dan melempar senyum manisku dengan kikuk kemudian mengangguk pelan.
            Beberapa menit Shira dan Deni sudah siap untuk pulang dan meninggalkan aku hanya berdua dengan Shidiq. Aku menungguinya sampai ia benar-benar siap. “Ayo Shel” ajak Shidiq dan aku hanya membuntutinya. Selama perjalanan aku hanya diam, kikuk dan panas menyerangku. Rasa yang sangat tidak nyaman.
            “Gimana kerjaan?” ia membuka pembicaraan. “Yah lumayan” jawabku singkat, nafasku masih saja sulit diatur. “Tadi pulang cepat memangnya ada apa?” tanyanya lagi. “Si bos lagi baik, kayaknya lagi dapet bonus banyak dari donatur gitu. haha” jawabku mulai sedikit rileks. Perbincangan kita berlanjut dengan canda dan tawa. Senda gurau yang memang telah lama tidak dapat lagi kita lakukan. Keceriaan dan kepolosan aku dan dia yang selalu aku rindukan. Apakah dia pun merindukannya?
            “Dian apa kabar Diq?” Bodoh. Aku merasa sangat bodoh telah menyebut nama yang seharusnya tidak aku sebut. “Dia baik, masih sibuk ngurus butiknya di Bandung. Biasanya seminggu sekali sih pulang untuk melihat aku dan anak. Kamu sendiri gimana sama Ranu?” seketika badanku mendingin. Sejak tadi aku melupakan keberadaan Ranu hanya karena sibuk mengatur nafasku dan degup jantungku yang semakin berlomba-lomba. “Ya ngga jauh beda, Ranu sering lembur jadi aku juga harus lembur nunggu dia pulang. hehe” jawabku dengan sangat hati-hati. Beberapa kilometer dalam perjalanan kami hanya saling diam. Kami sibuk dalam pemikiran masing-masing, entah masa depan atau masa lalu.
            Aku terdiam ketika sampai di depan gerbang rumah. Aku menatap lurus ke dalam matanya. Berlangsung cukup lama. “Aku minta maaf Diq” kataku spontan. Kami masih saling pandang dan tak ada kata apa pun yang terucap. Debaran jantungku sangat memakan energi hingga aku benar-benar berkeringat. Dia menggeleng masih sambil menatap mataku dan tersenyum. “Salam buat Dian dan terima kasih kamu masih mau mengantar aku” kataku hampir meneteskan air mata. Aku tak mampu. Aku tak mampu melihat matanya yang penuh dengan ketulusan. Mata yang dulu selalu menatapku penuh dengan kasih dan rasa yang bisu. Aku yang dulu penuh ego dan hanya menunggu. Menunggu dia menyatakan cinta agar aku mampu menolak lamaran Ranu. Namun dia tetap bisu dan takdir ternyata memang bukan milik kita. “Iya Shel, aku pamit ya” katanya dan berlalu tanpa menoleh lagi.

***

Kisah ini memang terlalu berat. Bagi aku maupun kamu. Berat untuk memilih kata “setia” dan berat untuk menahan rasa “rindu”. Aku dan kamu memang harus memilih, bahwa kita hanyalah sesuatu “yang pernah terlewatkan” :’) 



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

No comments:

Post a Comment