November
datang lagi, tanpa undangan tanpa ajakan. Harapan baru segeralah dibuat, agar
tak terulang kesalahan dulu yang sudah telat. Mataku mulai berkeliling meratapi
halaman rumah sakit yang terlihat sibuk. Sayangnya aku tak suka berbicara, aku
lebih senang melihat dan merasakannya sendiri.
Sosok
berbaju putih itu mendekatiku, selalu sehari tiga kali dia menghampiriku dan
mengajakku mengobrol yang sama sekali aku tidak paham. Aku selalu diam dan diam
namun ia selalu saja bercerita, tentang apa saja. Setiap cerita ia selalu
mengakhirinya dengan memaksaku makan dan meminum banyak pil pil warna warni
yang amat sangat pahit. Andaikan saja ada wadah untuk berkeluh kesah tentang
ketidaknyamanan hidup, aku ingin berteriak atas apa yang aku rasakan.
Wanita
berbaju putih itu pergi setelah menyiksaku dengan makanan hambar dan pil pahit.
Aku kembali mengamati halaman yang di penuhi orang-orang yang sedang berusaha
bahagia. Mereka bernyanyi. Mereka menari. Mereka bermain bersama. Mereka
seperti tidak tersiksa sepertiku. Andaikan saja aku bisa bahagia seperti
mereka.
Aku
sering menghabiskan waktuku sendiri, berdiam diri. Banyak yang menghampiriku,
mengajakku tertawa dan menari. Aku selalu menolak, karena aku tahu mereka
sebenarnya tidak sebahagia itu. Aku tahu mereka tersiksa juga seperti aku.
Mereka juga merasakan rindu yang sama seperti yang aku rasakan.
“Hei
Rara, lagi apa kamu?” suara lelaki itu lagi. Lelaki yang selalu berusaha
tersenyum di depanku. Aku sering melihatnya menangis ketika berbicara dengan
wanita berbaju putih yang suka menyiksaku itu. Aku menatap wajahnya lekat.
Wajahnya tampak lelah. Ia hampir setiap sabtu datang hanya untuk menemaniku.
Sering aku pukul dia, aku jambak rambutnya agar ia segera pergi namun ia tetap
saja tinggal. Aku sama sekali tidak mengenal siapa dia, tapi wajahnya seperti
terpancar ketulusan.
“Ra,
tadi aku baru gajian. Kamu mau aku kasih apa?” ia bertanya. Entah bertanya
kepada siapa karena aku tidak pernah menjawab setiap pertanyaannya. Ia-pun
segera menjawab sendiri setiap pertanyaan yang ia berikan kepadaku. “Oh ya,
kamu suka kembang api kan ya? Nanti kita beli yaa” jawabnya dengan senyum yang
selalu sama.
Langit
sudah mulai menghitam, hawa dingin seperti menusuk-nusuk kulit. Aku berdiri dan
meninggalkan lelaki yang sedari tadi bercerita di sampingku. Ketika langkahku
mulai banyak, hawa hangat menempel di telapak tanganku. Ia menggenggam
tanganku. Menahanku untuk tetap tinggal. “Ra, kamu mau kemana?” ucapnya lembut.
Sorot matanya memancarkan ketulusan yang sangat dalam. Aku menghempaskan
tangannya. Aku berlari menuju kamar. Di dalam kamar aku melihat anak kecil
sedang tertidur pulas. Aku memeluknya erat, mencoba menghangatkan tubuhnya dari
hawa dingin.
Setengah
jam aku berbaring, wanita berbaju putih itu terus menerus mengawasiku. wanita
itu kini tidak sendiri, lelaki yang sedari tadi menghilang kini kembali. Ia
mendekatiku dan menarikku keluar. Aku sama sekali tidak menolaknya lagi. Ia berjalan
tanpa bersuara sampai tiba di halaman.
“Ra,
aku sayang sama kamu” ucap lelaki itu sambil menuntunku duduk di besi dingin
akibat embun malam. Aku terdiam, menikmati halaman yang sepi dan tenang. Lelaki
itu mengambil sebuah kotak dan mengeluarkannya. Ia terlihat bersemangat,
membuka kotak dan menaruhnya sekitar 5 meter dari kami kemudian menyalakan
korek dan ia berlari kearahku.
“DAR.... DAR...”
Suara
ledakan itu menejutkanku. Terlihat benda yang ia letakkan menyala dan menyembul
keatas. Itu kembang api! Ketika dia menolak gravitasi dan memencar disana, aku
tersenyum melihatnya. Aku tersenyum dan merasa sangat nyaman melihat api-api
itu menari di udara. Senyumku seolah tak bisa berhenti.
“Ra,
kamu cukup tersenyum saja sudah mampu membungakan duniaku :)” lelaki itu terus
menerus menatapku. Entah kenapa aku merasa senang dan menangkap rasa yang ia
kirimkan dari ucapannya barusan. Ia memelukku dan mencoba menghangatkanku.
***
“Sus, pasien 405 masih suka
ngamuk?”
“Udah jarang, gue salut banget deh
sama suaminya. Sabar banget. Sekarang lagi malam mingguan tuh mereka di
halaman. Pasien itu sekarang lebih seneng diem, dikamar juga meluk guling
terus. Dikira guling itu anaknya yang meninggal kali”
“Yah namanya juga sakit jiwa,
suka aneh-aneh. Ya udah gue pamit yaa sus. Semangat jaga malemnyaa”
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada
kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment