Menatap
kosong pemandangan indah laut lepas telah menjadi kebiasaanku selama setahun
belakangan. Dikursi nyaman dan segala fasilitas yang seperti mimpi ini
membawaku kememori itu. Memori tentang seorang pria yang menjadikanku putri di
istana hatinya.
“Rizky,
masih inget aku? Aku minta kontak kamu dong” pesan singkat aku kirim melalui
akun Facebooknya. Entah akun itu masih aktif atau tidak, aku hanya punya
harapan disini. Semenjak mengirim pesan itu, hampir setiap jam aku mengecek dan
mengecek. Hasilnya selalu nihil namun itu sama sekali tidak mematahkan
semangatku. Hingga suatu pagi, hawa hangat menyelusup dari retina mataku. Pesan
itu berbalas “Inget Win, nomer gue 083870******”.
Komunikasi
terbaik telah terjalin semenjak aku memiliki nomer handphonenya. Komunikasi
yang selalu aku harapkan berujung perjumpaan. Namun sayangnya, sampai saat ini
hal itu masih hanya sekedar harapan.
Deburan
ombak laut lepas dihadapanku memuncakkan segala hasrat yang aku punya. Semua
rindu, kenangan, dan memori indah itu datang kembali. Seperti dipengaruhi
arus-arus ombak, tanganku meraih ponsel dan memanggil nomer yang sedari tadi
aku pandangi.
“hallo”
suara bass khasnya menyelusup merdu ditelinggaku. “Hei, Rizky. Lagi sibuk ngga?”
tanyaku berusaha menutupi degup jantung dan gemetarnya hati. “Lumayan nih, jam
7an gue baru pulang kerja. Kenapa?” jawabnya terdengar tidak terlalu fakus. “hmm
mau undang kamu ketempat aku” jawabku seadanya. “Oh boleh, SMS aja tempatnya
ya. Ntar pulang kerja gue kesana.” Jawabnya cepat, masih terdengar tidak fokus.
“Oke deh” jawabku singkat dan kami segera mengakhiri pembicaraan.
Aku
masih terduduk dan menatap deburan ombak. Bayangan wajahnya saat dulu selalu
memujiku terbayang kembali, terbayang dengan guratan terindah. Jam dinding
bergerak dengan sangat lambat, aku menanti dengan setia datangnya sosok itu.
Masih berdiri dengan perasaan yang sama, dan menunggunya.
Sosok
itu datang berbarengan dengan pengunjung yang lain, seberapa ramaipun aku tetap
bisa mengenali sosok itu. “Hei Riz” sapaku dengan wajah sumringah. Ia hanya
mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum. Kami duduk ditempat terbaik di cafe
ini, wajahnya terlihat lelah. Kami terdiam cukup lama, sama-sama tidak tahu
harus memulai dari mana. “Lu kerja disini?” suara pertama yang keluar dari
mulutnya. “Hmm iya Riz, warisan dari tante jauh” jawabku ragu. “Warisan? Lu
boss disini?” tanyanya terdengar sangat terkejut. Aku hanya mengangguk pelan. “Wah
udah sukses lu ya? Beda banget ama gue, ahhaha” tawa renyahnya terdengar lagi.
Tawa yang selalu aku rindukan. “Aku tetep bukan apa-apa kok” jawabku singkat.
Banyak
menit berlalu dengan cerita dia yang penuh warna. Aku selalu saja senang
mendengarkannya bercerita, setiap jeda pasti ada kejutannya. Sepanjang ia
bercerita aku hanya tertawa kecil dan merespon seadanya. Rasanya seperti mimpi
bisa bertemu dengannya lagi, setelah sekian lama. “kalo lu gimana?” akhir
ceritanya dibubuhkan sebuah pertanyaan yang membuatku berpikir dua kali untuk
menjawabnya. “Yah, semenjak lulus dan kita ngga ada kontak. Aku selalu
kepikiran kamu” lisanku seperti berjalan sendiri, tanpa kendali.
“Aku
selalu teringat cara kamu memuji aku dan cara aku mengacuhkan kamu. Memori itu
terlintas terus tanpa henti. Aku ngga pernah sanggup menghilangkannya. Seperti terbesit
penyesalan, kenapa aku harus mengacuhkanmu dan tidak pernah memberi kamu
kesempatan?” nafasku menderu, emosi memuncak. “Gue minta maaf Win, gue ngga
maksud bikin lu ngerasa bersalah gitu” jawabnya pelan. “Aku yang salah. Harusnya
aku kasih kamu kesempatan sebelum akhirnya kita terpisah dan tak ada komunikasi
sama sekali” emosiku memuncak. Kami terdiam.
“Eh
tapi gue salut loh lu sekarang udah sukses, ngga kayak gue yang masih merintis
buat sukses” suara bassnya membuyarkan keheningan. “Aku begini juga karena
kamu, dan aku tetep ngeliat kamu sebagai lelaki yang selalu baik sama aku”
jawabku lantang dan tegas. “Loh kok gitu?” wajahnya terlihat bingung. “Semenjak
ngga ada kontak lagi sama kamu, aku ngerasa harus berjuang untuk melupakan
kamu. Caranya dengan kerja dan kerja. Sampai akhirnya tante aku pergi ke surga
dan memberikan cafe ini ke aku karena dia ngga punya anak. Ini semua karena
kamu Riz” deru nafasku semakin cepat. Ia hanya tertunduk dan aku terus
menatapnya tajam.
“Sudah
malam, gue antar lu pulang aja ya? Perempuan ngga baik pulang larut” Rizky
membereskan barang-barangnya dan bergegas untuk mengantarkanku pulang, kebetulan
cafe juga sudah sepi. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Deru mesin motor
dan decit rem yang menghiasi suasana. Setelah sampai di depan rumah, kami tetap
saja terdiam. Aku menatap wajahnya lamat-lamat. Ia hanya melirik sesekali dan
kemudian pamit. “Gue pulang ya Win, makasi buat hari ini” ia meraih tanganku
dan mengecupnya. Senyum tipisnya menggantungkan perasaanku yang tertinggal.
Kini kami terpisah lagi, tetap dengan status yang sama: bukan siapa-siapa.
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada
kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
aduh endingnya kenapa ngegantung? padahal aku udah deg - deg'an aja bacanya ehehehe
ReplyDeletesetidaknya ada deg-degannya yaa. hehe :D
ReplyDelete