“Pa, jangan pulang malem-malem ya.
Perutku sudah mules, tanda-tanda si dede mau keluar” suara pelan didampingi
rintihan istriku terdengar jelas ditelingaku. Terbayang wajahnya yang sedang
menahan sakit. Wajahnya yang manis, cantik dan selalu saja mampu menentramkan
hati. “Iya ma, tunggu ya” jawabku dan jaringan telepon segera ku putus. Rasanya
tak sanggup lagi aku mendengarkan rintihan itu.
Debar jantungku semakin tidak
terkendali, keringat sudah bercucuran deras. Warna bajuku sudah berubah pekat.
Kepalaku berpikir sangat keras agar bisa segera sampai rumah. Istriku sangat
membutuhkanku saat ini. Anak pertama kita jelas membutuhkan sosok ayah tepat
ketika ia menghirup udara segar. Air mataku menetes.
“Ren, ambil jaket dan selimut itu.
Itu kita butuhkan sekarang!” suara Dery, patner kerjaku membuyarkan lamunanku.
Aku segera mengambil jaket dan selimut yang ada disampingku dan mencoba
melindungi tubuh. Dery tampak lebih santai, ia masih belum berkeluarga sehingga
tidak banyak yang harus dia pikirkan. “Ren, kita berusaha aja. Gue tau banget
perasaan lu, tapi harapan kita memang tipis” nasihat Dery semakin membuat detak
jantungku tak terkendali. Air mataku semakin deras mengalir.
“KALIAN SUDAH DIKEPUNG!” suara
teriakan itu terdengar lagi. Sudah hampir 5 jam aku meringkuk kaku bersama Dery.
Salah satu teman seperjuanganku yang lain sudah terkulai tidak berdaya, darah
segar mengalir deras dari pelipisnya. “Ren, sudah tidak ada harapan” Dery
mengambil pistol ditangan teman kami yang sudah terkulai lemas. “Jangan Der,
gue belum siap. Jangan tinggalin gue sendiri” rintihku. Bayang wajah istriku
melintas.
“Sorry Ren, waktu kita sudah habis.
Gue pergi duluan, pilihan ada ditangan lu. Tapi lu harus inget janji kita sama
bos” suara Dery terdengar sangat tegas. Dery menjauh dariku dan meletakkan
pistolnya di pelipis.
“DOR!”
Satu lagi kawanku pergi, tinggal aku
sendiri. “JANGAN COBA-COBA UNTUK KABUR!” teriakan itu semakin menggetarkan
seluruh tubuhku. Bayangan wajah istriku semakin jelas. Wajah bos juga semakin
jelas. Sebuah cinta yang menunggu atau sebuah janji yang menunggu. Aku yang
mati atau keluargaku yang mati? Maafkan
aku ma. Jaga dede baik-baik. Papa pergi.
“DOR!”
Ruangan itu sudah tidak bernyawa
lagi. Semua polisi yang berada diluar satu persatu masuk dan mendapati tiga
lelaki tewas bunuh diri. Darah segar mewarnai lantai ruangan yang putih bersih.
***
“Ayo bu, berjuang. Sebentar lagi
anak ibu keluar” suara dokter menyemangati sosok ibu muda yang pucat pasi. “Aku
ngga mau! Aku mau nunggu ayah dari anak ini!” jawab ibu muda itu dengan tubuh
yang bergetar hebat. “Ayo bu, sebentar lagi” dokter itu tetap menyemangati. “Saya
ngga mau.. Sayaaa mauuu menunguu...” lemas dan memelan. Suara ibu muda itu
menghilang diantara tangisan bayi.
“Sayang sekali anak secantik ini
harus kehilangan ibu dan ayahnya”
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada
kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
waahhh cerpennya keren meski sad ending gituu.
ReplyDeleteending yang bahagia terlalu mainsteam bu, hehe terima kasih yaa
ReplyDelete