Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat, ini sudah hari
selasa. Terima kasih waktu karena kamu sangat baik. Hari ini aku akan bertemu
dengan pria itu. Tentulah kamu tahu waktu, dia sungguh misteri namun sangat aku ingini. Ketika bersamanya, kamu
seperti berhenti waktu. Kamu seperti berhenti.
Perjalanan
menuju kota itu memang selalu mengesalkan. Aku meratapi kursi dudukku yang
sudah tak utuh akibat di desak oleh sosok ibu berbadan super disampingku. Tas
ransel kesayanganku sudah ku peluk dengan erat untuk membunuh hawa dingin tak
wajar. Ponselku berdering dan meloncatkan jantungku. “Hallo? Iya masih di jalan
nih gue. Sorry ya Er, haha” ucapku cepat. Jantungku sudah tak terkendali, hawa
dingin semakin terasa tak wajar. Mataku menoleh kearah kaca, carut-marut jalanan
membuatku sedikit mual.
Roda patas
sudah memasuki bilangan kota, hawa dingin semakin merajalela di tubuhku. Waktu,
berbaik hatilah padaku. Kakiku menuruni patas yang sudah berhenti tepat di
depan halte. Mataku dengan cepat menangkap wajahmu yang menggambarkan wajah “tidak
sabar” atau mungkin “kangen” padaku.
“Hei Er,
sorry ya lu jadi nunggu” kataku cepat. Hampir saja aku mengulurkan tangan untuk
bersalaman dengannya. Hampir saja lupa kalau Erfandy seorang ikhwan yang sangat
menjaga etika beragama. “Muka lu kok pucet?” tanya Erfandy dengan memandang
wajahku dengan pandangan yang sulit aku jelaskan. “Iya? AC-nya dingin sih tadi”
jawabku sebisanya. Kemudian kami hanya duduk berdua dengan bisu. Sesekali aku
menangkap padangan matanya. Wajahku seperti terbingkai indah dalam matanya dan
terpajang di setiap dinding hatinya.
“Oh ya Er,
katanya lu mau kasih titipan?” tanyaku sambil melirik ke arahnya. Iya tersenyum
tipis, seperti senyum yang sangat dipaksakan. Tangannya membuka tas ranselnya
dan mengambil sebuah buku. “Nih, nitip ya” katanya dengan wajah tak
bersemangat. “Wahh gue kok ngga dapet buku sih? Pelit lu. Ngasihnya buat calon
istri doang” sekuat tenaga aku tersenyum menggoda. Erfandy tersenyum, manis. “Nih”
ia memberikan lagi satu buku kepadaku. Wajahku berubah membentuk hufuf O,
sangat tidak menyangka. “Ini buat gue Er? Ah sungguh lu baik banget” hampir
saja aku melompat karena terlalu bahagia. “Iya biar lu ngga iri deh, lagian gue
ama temen lu itu belum tentu jadi kali. Jodoh kan di tangan Allah”
Beberapa
menit kita hanya terdiam. Sesekali aku masih menangkap basah matanya yang
semakin sering meneliti wajahku. Aku tahu
Er, aku tahu apa isi hatimu.
“Ya udah gue
balik nih ya, ada kerjaan” suara erfandy membuyarkan lamunanku. “Eh iya Er,
makasi banget loh. Kapan-kapan ketemu lagi deh ya” jawabku dengan intonasi
menyenangkan, sesuai dengan kebahagian di hati. “Iyaa, eh dibaca tuh buku dari
gue. Biar bisa jadi calon istri yang baik. haha” seperti biasa Erfandy
memberikan kode. “Iya gue baca, hati-hati lu yaa” senyum semakin merekah
diwajahku. Kami berpisah dengan hati yang bahagia, meski hanya sementara. Hati ini cukup merasakan Er, kita bukan
untuk bersama. Semoga kamu semakin paham ya, Er. Kakiku melangkah tanpa
arah, mencari jalan menuju ikhlas.
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment