Awal
aku sekolah taman kanak-kanak, mama dengan sabar mengantar aku sampai kedepan
pintu masuk kelas. Menunggu aku sampai jam istirahat sambil iseng bermain
dengan anak kecil adik-adik kawanku yang diajak oleh ibunya menunggu
kakak-kakak mereka. Jam istirahat tidak seperti yang dilakukan oleh
kawan-kawanku untuk jajan, aku hanya makan lontong sayur yang sudah dipastikan
sehat daripada jajan yang aneh-aneh. Mama selalu bilang “jangan suka jajan
sembarangan, cari yang bener-bener bikin kenyang”. Aku menyantap lontong
sayurku lahap, memenuhi teriakan cacing-cacing di dalam perut. Melihat
kawan-kawanku bermain di arena bermain, aku merengek minta dibawa ke sana. Mama
dengan senyum menuntunku tanpa keluh kesah.
“Hari
ini kalian menggambar ya, pilih salah satu gambar yang ada di depan” ucap ibu
guru saat jam istirahat sudah selesai. Hatiku berdegup sangat kencang, keringat
dingin membasahi seluruh tubuhku, aku tidak bisa menggambar! “huaaaaa” tangisku
tumpah ruah memenuhi isi kelas. Ibu guru panik melihatku namun mama sudah lebih
dulu memaksa masuk ke dalam ruang kelas. “kenapa Gina?” sambil memelukku erat.
Aku masih saja terisak. “Mama bantu gambar ya” kata mama kemudian yang akhirnya
mengetahui apa yang membuat aku menangis. Perlahan isakan tangisku reda.
Didalam
keluarga kecil ini, memang aku anak yang cukup pendiam dan cengeng. Mama
terlalu memanjakanku karena fisikku yang sangat mudah sakit. “Dasar anak manja,
jangan ngerepotin mama mulu kek” bentak kakakku ketika mama menceritakan
kejadian di sekolah tadi. Aku hanya menunduk pilu. “Sinta, jangan seperti itu
sama adikmu. Kamu juga dulu sering nangis sama seperti Gina.” Nasihat mama
menyejukkan. Meskipun pada waktu itu aku masih sangat kecil namun aku mengerti
mama sedang mengajarkan menghargai kekurangan orang lain. Aku bertekad akan
menjadi anak yang baik ketika sudah besar nanti seperti yang diharapkan mama.
“Ayo
anak-anak ganti baju olah raga karena hari ini kita akan berkeliling taman”
sapa ibu guru di pagi hari kamis. Aku sangat suka jalan-jalan. Biasanya mama
akan menggandeng tanganku dan membiarkan tubuhku berkeringat tanpa mau
menggendongku seperti anak-anak yang lain. Mama ingin aku jadi anak yang sehat
dan belajar untuk tidak manja. “Gina” sapa ibu guru tiba-tiba. Aku hanya
mendongak menatap wajah ibu guru. “nanti kamu jalan sam ibu saja ya” lanjutnya.
Aku menatap ke luar jendela, mama tidak ada! “Memang mama kemana bu?” tanyaku.
Ibu guru hanya tersenyum tipis dan menggandeng tanganku. Hampir saja aku
meneteskan air mata ketika benar-benar mendapati mama tidak ada untuk
menungguku. “Gina, kamu kan anak pintar. Tadi mama pesan kalau mama harus
menghadiri undangan dari sekolah kakak kamu. Jangan nagis ya” kata ibu guru
menjelaskan. Aku menahan air mataku karena ini adalah pesan dari mama.
Jam
pulang sekolah aku semakin panik ketika melihat ke arah luar kelas, mama belum
ada. “Gina, kamu tunggu disini dulu ya sama ibu. Mama kamu sedikit telat.” Ibu
guru menghampiriku dan aku hanya mengangguk dan duduk kembali dikursiku. Tidak
ada lima menit aku duduk sosok mama sudah berada di depan mataku. Mama meminta
maaf pada ibu guru dan menggandengku untuk pulang. “Bisa juga kan kalo ngga
ditungguin mama, belajar Gin biar ngga jadi anak manja terus” kata kakak ketika
mengajari aku menggambar. “tadi aku mau nangis ka, untung ada ibu guru” jawabku
dengan terus mencoba mewarnai bunga yang sudah digambar oleh kakak. “Gina anak
pintar, berarti sedikit lagi udah bisa mandiri. Kan udah mau masuk SD” puji
mama sambil tersenyum. Mama selalu mengajarkan hal-hal yang sederhana namun
mengandung makna untukku.
“mama
kita mau kemana?” tanyaku. Mama hanya terdiam. Aku menurut saja mama gandeng
tanganku dengan erat. Perjalanan kali ini sangat jauh, aku yang lelah akhirnya
di gendong oleh mama. Posisiku menghadap kebelakang, ada seorang laki-laki
berambut panjang yang membawa pisau menghampiri mama. Matanya melotot seraya
tangannya meraba tas mama, setelah lama akhirnya ia memasukkan dompet mama ke
dalam sakunya dan menodong pisaunya ke arahku sambil berlari. Laki-laki itu
tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aku panik namun tidak dapat berkata
apa-apa pada mama.
“Gina,
kenapa nangis? Nih ada abang tukang permen. Kamu mau permen?” tanya mama sambil
berusaha menenangkan aku yang menangis tanpa henti. Aku menggeleng keras. Mama
menawariku berbagai macam jajanan yang lalu lalang di dalam bis, namun aku
terus menggeleng kencang. “emangnya mama punya uang?” tanyaku pilu. Mama
tertawa “ya punya dong” jawab mama sambil menarik isi tasnya. Mama terkejut
mendapati dompetnya sudah tidak ada. “tadi dompet mama diambil orang, huhuhu”
kataku sambil terisak-isak. “Sudah ngga apa, uang mama masih ada, uangnya ngga
mama taruh dompet semua. Udah sekarang kamu mau jajan apa?” tanya mama tenang.
Aku tetap menggeleng. Kala itu aku tahu bahwa jalanan adalah lokasi yang sangat
tidak aman, aku harus berhati-hati dan aku akan ingat kalau menaruh uang tidak
hanya di dompet. Agar jika tidak ada dompet aku masih bisa survive. Begitulah
mama, secara sederhana mampu mengajarkanku hal bermakna.
Setelah
sekitar 2 jam akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan, ternyata mama ingin
mengunjungi tantenya yang sedang sakit. Mama membawakan buah-buahan dan makanan
yang tidak pernah aku makan, kata mama itu makanan untuk orang tua yang sudah
tidak bisa makan yang keras-keras dan manis. Mama berbisik padaku, “Gina
lihatkan, kalau sudah tua jarang ada yang urus. Nanti kalau mama sudah tua juga
akan seperti itu”. Aku terdiam, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku
tidak akan menelantarkan mama seperti itu. Aku pasti akan selalu jaga mama
sebisa aku.
Tepat
jam 3 sore kami pamitan pulang, namun ditengah perjalanan terdengar adzan dan
kamipun berhenti di mesjid terdekat. Mama sholat dan aku hanya menunggu di
sampingnya. Selesai sholat mama memberiku uang seribu rupiah. “Buat aku mah?”
tanyaku heran. “Bukan, Gina lihat kotak yang ada di depan? Nah uangnya taruh
disana” jawab mama. Aku heran, mengapa aku harus menaruh uang dalam kotakan
itu. Aku ragu namun tetap menjalankan perintah mama. “Kalau ke mesjid usahakan
isi kotak amalnya. Nanti kita akan punya mesjid di syurga” kata mama sambil
mengelus kepalaku yang penuh pertanyaan. Ternyata mama sangat menginginkan aku
menjadi anak taat agama. Aku selalu ingat, bahkan aku sampai meminta uang pada
bapak untuk mengisi kotak mesjid, kadang mama suka tertawa melihat tingkahku.
Sekolah
dasar adalah ajang pembuktian betapa mandirinya aku. Tuntutan yang harus aku
ambil karena mama akan kerja. “Gina, kamu mau sekolah dimana? Tapi udah ngga
mama anter sama tungguin lagi. Kamu bisa kan?” tanya mama. “Bisa mah, tapi
jangan yang nyebrang jalan ya. Gina takut ketabrak, di sekolah mana aja yang
deket” jawabku. Dan mama segera mendaftarkan aku di sekolah yang dekat dan
tidak menyebrang jalan. Saat itu aku belajar mandiri, tidak ada lagi mama di
jendela dan tidak ada lagi yang setia menggandeng tanganku ketika aku berjalan
menuju sekolah. Kemandirian yang diajarkan mama sejak dini, meski aku masih
kecil namun mama ingin aku menjadi wanita yang tangguh.
Setiap
harinya aku diberi uang saku Rp. 2000,- namun tidak semuanya untuk jajan, aku
hanya boleh jajan Rp. 1000,- dan sisanya ditabung, kebetulan dari pihak sekolah
menyediakan tabungan anak. Kata mama ini adalah awal aku belajar menyimpan
uang, jadi jika punya uang bukan untuk di habiskan tapi disimpan. Sejak taman
kanak-kanak mama sudah mengajarkan beli jajan yang mengenyangkan jangan yang
aneh-aneh. Pesan mama selalu aku bawa hingga sekolah dasar, aku hanya membeli
lontong agar perut terisi dan tidak banyak jajan.
Kelas
6 sekolah dasar adalah masa sulit, aku harus belajar demi nilai ebtanas yang
baik dan demi mendapatkan sekolah unggulan yang diidamkan mama. Namun pada saat
itu adalah masa labilnya aku “mama, aku mau di SMP 2 aja. Temen aku pada daftar
di sana.. SMP 1 Cuma 2 orang..” kataku pada mama. “Gina, jangan ikutan orang.
Kamu harus yakin kalau kamu bisa masuk SMP 1. Temen-temen kamu pada takut ngga
keterima, mama yakin sama kamu” ucap mama membujukku. Sebenarnya aku sejak dulu
mendambakan masuk SMP 1 namun memang jalur masuknya sangat sulit, aku takut.
Semoga saja mama benar, aku akan berusaha agar masuk SMP 1.
Dari
sekolah ada bimbingan belajar untuk yang ingin masuk SMP negeri, aku tidak
pernah sekalipun tidak ikut bimbingan. Aku berjuang dengan sekuat tenaga untuk
masuk SMP 1. Aku pasti bisa!
Tiba
ketika waktu pengumuman, karena jarak SMP 1 cukup jauh mama mengantarku. Dengan
kerumunan orang ada yang bahagia karena diterima namun banyak juga yang
menangis karena tidak diterima. Aku sangat gugup, mama membiarkanku mencari
sendiri karena mama sedikit pusing pada waktu itu. Aku mencari dari urutan
atas, nilainya sangat besar-besar. Aku frustasi dan hampir menyerah mencari
namaku. Sudah samapi kertas ke-4 namun namaku belum juga terlihat. Sampai di
kertas ke-6 aku melihat namaku “Gina Sandriani!” aku nyaris teriak. Perlahan
aku melihat nilai yang aku peroleh “86” hasil yang memuaskan walau merupakan
posisi tengah diantara nama anak-anak yang diterima dalam SMP 1. Aku keluar
dari kerumunan dan menghampiri mama “mama aku diterimaa..” ucapku dan memeluk
mama. “Selamat ya, mama bilang juga apa. Pasti diterima.” kami menunggu sepi agar
mama bisa melihat namaku terpajang di papan pengumuman. “Wah gin, padahal nilai
kamu tinggi tapi posisinya jauh ya. Bener-bener sekolah unggulan” ucap mama
lebih kepada dirinya sendiri. Aku hanya diam, menikmati perasaan senang yang
menjalar tiada henti.
Masuk
dalam SMP unggulan adalah tempatnya anak-anak pintar, tidak cukup berjalan tapi
diharuskan berlari. Ternayata aku masih dibawah rata-rata, kawan-kawanku di
sini sangat pintar-pintar. Aku harus berjuang keras untuk menyamakan kedudukan
dengan mereka. Hidup yang cukup berat.
Letak
sekolahh yang jauh membuatku sering telat datang ke sekolah, dan hukumannya
adalah memungut sampah di sekitar sekolah. Hal ini sangat mengganggu sekolahku.
Mama selalu menasehatiku bahwa percuma aku menjadi paling pintar di sekitar
orang bodoh, jadi lebih baik menjadi paling bodoh diantara orang pintar
nantinya kita akan tertular juga. Mama memang orang nomer 1 dalam hidupku.
Dengan
banyak lika-liku akhirnya aku bisa keluar dasri SMP 1 walau dengan nilai yang
kurang dari baik. Mama tidak terlalu menuntut nilai, yang pasti aku harus
senang sekolah. Hanya itu. Sangat sederhana.
SMA
aku pun mendapat SMA unggulan, yah walau dengan sisa-sisa perjuangan. Semakin
besar aku semakin menyayangi mama, mama pesan saat SMA aku jangan pacaran dulu
karena akan mengganggu sekolah nanti saja kalau sudah kuliah. Mungkin jika
nasehat ini diberikan pada kakak-ku, ini adalah pesan yang aneh namun untukku
ini benar. Aku mau fokus sampai aku dapat universitas negeri baru aku akan
memikirkan masalah cinta. Meski sesekali ada laki-laki yang dekat denganku, aku
hanya menganggap mereka teman.
“Ma,
aku masuk jurusan apa nih? bingung” galau menyerang ketika SNMPTN. “kamu
enaknya belajar apa? Ambiil bidang yang kamu suka” kata mama. Aku bingung. Mama
menyarankan aku untuk jadi guru dan bidang biologi atau kimia. Mungkin aku akan
mencoba saran dari mama dan menjalankan banyak jalur masuk universitas, karena
aku tidak yakin dnegan kemampuanku. Banayak kakak kelasku yang tidak masuk ke
dalam universitas padahal nilainya bagus. Aku ikut bimbingan belajar tanpa
bolos, semua ini permintaanku walau awalnya bapak tidak mengizinkan namun
akhirnya mama membantu meyakinkan bapak sampai di setujui. Dalam bimbingan
belajar aku mencoba soal-soal sampai diskusi trik dalam menyelesaikan soal. Aku
harus yakin, itu pelajaran penting yang ditanamkan mama sejak aku sekolah
dasar.
Pengumuman
satu persatu berdatangan, jalur mahal dari satu universitas terkenal menyatakan
aku tidak lolos. Jalur yang memberikan 4 kesempatan pun menyatakan aku gagal.
Jalur mandiri dari universitas dekat rumahku pun menyatakan aku gagal. Tinggal
SNMPTN yang menentukan nasib hidupku. Ternyata berhasil, aku berhasil masuk
universitas negeri dengan jurusan biologi dan keguruan. Yap! Lagi dan lagi pilihan
mama yang aku dapatkan. Entahlah, memang mama adalah orang nomer 1 dalam
hidupku.
Pengumuman
ini membuat kegalauan dari bapak. “kamu bener mau kuliah disana? Kamu nanti
kos, jauh dari rumah, emang bisa” tanya bapak. Aku hanya diam. Mana bisa aku anak
manja jauh dari rumah? Namun mana pula bisa aku melewatkan masa depanku di
universitas ini? Mungkin hanya air mata yang mampu menjelaskan betapa kacaunya
hatiku. “Gina, mama boleh ngomong?” aku mengangguk walau masih terpaku pada
meja di depanku yang bisu. “kamu mau masuk universitas itu?” tanya mama. Aku
hanya mengangguk (lagi). Mama diam dan aku pun diam.
“Mama
yakin kamu udah bisa mandiri, kan ngga jauh banget jadi kamu bisa pulang
seminggu sekali. Gimana?” aku masih terdiam. Entah harus menjawab apa. “Gina,
ngga selamanya kamu akan terus deket sama mama, nanti kamu punya hidup sendiri
dan sekarang waktunya kamu belajar mengolah semuanya sendiri.” Aku menatap
mama. Betapa bijaksananya mama, walau hati masih sedikit galau akupun sudah
memutuskan. Aku akan tetap kuliah di universitas itu, kos dan kemandirian.
Semua pasti mampu aku lewati, sama seperti masa sekolah dasar, SMP sampai SMA.
Mama adalah guru terbaik dalam hidupku. Tidak akan ada guru sebaik mama. Mama
yang mengajarkan kesederhanaan namun penuh makna. Hanya mama.
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment