“Kerjakan soal yang ada pada buku
paket kalian, hitung dengan benar” suaranya lantang, membuyarkan lamunanku.
Matematika, soal mudah pun terasa berat dipundakku. Badanku seperti tak bertulang dan mataku kunang-kunang.
Aku memang tidak layak berada di jurusan ini. “Riri,
lu ngerti soal-soal
ini?” suaraku lemas sekali. Riri pasti menganggapku sangat malas, memang. “Gue coba dulu ya Fay,
nanti gue bantu kok” mukanya
serius, aku tersenyum lalu meletakkan kepalaku diatas meja. Wajahku menghadap
kearah.. Ichsan. Wajahnya sungguh sejuk, angin semilir berhembus di hatiku. Deg! Ichsan menatapku,
aku terpaku. Mulut mungilnya bergerak mengatakan “Kenapa?” tanpa suara. Aku tersenyum.
Dia pun tersenyum. Deg! Lagi-lagi
jantungku ini, rasanya ingin terbang bersamanya. Tanpa aku sadari, mataku tetap
memandangnya. Dia tersenyum. “Riri, kerjain yang bener ya! Ntar gue liat, hehe”
suaranya lantang, aku terkejut sampai bangun dari posisiku tadi. “Dasar,
kerjain dulu sana” kata Riri ketus namun bersahabat. Aku cukup lega. Aku
melirik ke Ichsan, dia tersenyum lalu malihat buku matematikanya lagi. Riri sudah memberikan lampu hijau pada Ichsan, semoga
ini berlanjut untuk seterusnya. Supaya aku dan Ichsan bisa lebih dekat.
***
Pulang sekolah aku langsung mencari
angkutan umum untuk pulang. Jam kerja papa lebih lama dari jam sekolah aku,
jadi aku selalu pulang sendiri. Duduk paling pojok adalah posisi paling aku
suka. Disini aku dapat melihat banyak teman dan tersenyum bebas seperti artis.
Sekarang di posisi ini aku mencari sosok cowok, cowok tinggi yang memiliki
senyum yang tak dapat aku artikan. Angkutan semakin menjauh dari sekolah. Aku
terpaku dipojokan dengan kecewa karena sosok itu tak terlihat. Aku bersenandung
dalam hati selama perjalanan menuju rumah. Mengamati jalanan yang macet adalah makanan wajibku. Jakarta memang suram,
namun aku sudah ditakdirkan tinggal di sini jadi harus menerima semua ini apa
adanya.
***
“Gubrak” bunyi tasku cukup kencang
saat menyentuh meja belajar. Aku melempar tubuhku keranjang. Bayangan wajah Ichsan masih melekat di benakku.
Sepertinya bayangannya menggunakan lem paling mahal hingga bisa menempel sekuat
ini. Perlahan mataku terpejam dan
tenggelam dalam dunia mimpi.
“FAY…” suara yang memaksaku keluar
dari dunia mimpi.
“Iya mah..” suaraku terdengar sangat
berat, aku masih ngantuk!
“Cepat mandi, udah sore ini”
“Iya mah..”
Aku beranjak dari ranjang empukku. Berjalan lunglai dan meraih
handuk kemudian bergegas ke kamar mandi.
“Papa kok belum pulang mah?” tanyaku
selesai mandi.
“Tadi udah telfon, katanya ada
rapat.”
Aku hanya terdiam.
“Gimana tadi di sekolah?”lanjutnya.
“Ya gitu mah, tadi langsung belajar
kayak biasa” jawabku dan segera kabur ke kamar. Suara ribut mama di dapur
terdengar sampai kamarku, haduh mama. Aku melirik HP dan meraihnya. Aku
mengetik SMS untuk Deri. Aku ingin mencari
info tentang Ichsan dari Deri.
Deri ini adalah sahabatku, aku
baru tahu tadi siang ternyata Deri teman Didi sejak SMP. Aku memaksanya mencari info sedetail mungkin
tentang Ichsan. Walau tidak kenal namun Deri tahu Ichsan, biasalah cowok.
Mereka mudah sekali bergaul, aku cukup iri pada mereka. Deri cukup lama
membalas sms ku, aku tidak sabar dan langsung menelponnya. “Serius lu suka sama
Ichsan?” suaranya mengejutkan. Tumben
Deri menyapaku seperti ini.
“Apa sih Der? Bikin kaget aja”
“hehe sorry deh Fay, gue kira lu sukanya cowok yang
gantengnya kayak Kevin Aprillio”
“iihh beda kagum sama cinta, kalo
ganteng udah pasti banyak yang suka. Gue males ahh. Mendingan Ichsan, dia
lucu..”
“lu suka yang lucu? Didi aja, gue lebih kenal.”
“aduh Deri… lu tuh kayak belum
pernah jatuh cinta dehh.”
“iya iya.. malem-malem udah bawel
deh”
“Usahain yaa, gue Cuma mau Ichsan”
“gue Cuma mau lu”
“hah? Mulai deh resenya ..”
“haha iya, yaelah ni anak ketus bgt
sii. Pasti gue
bantu kok”
Kata-kata Deri membuat aku tenang, Deri memang
sahabat yang bisa diandalkan. Pasti malam ini
aku bisa tidur nyenyak..
***
Pagi kali ini aku memandang wajahku
di cermin cukup lama. Aku merasa selama ini aku sangat berantakan sebagai
perempuan. Rambutku yang biasa terurai, kali ini aku kuncir setengah. Yaa
lumayan rapi lah buat ketemu Ichsan, hehe. Aku juga menggosok bajuku sendiri dan menggunakan parfum lebih banyak dari
biasanya. Jatuh cinta itu membuat orang menjadi sangat sensitiv terhadap
hal-hal kecil.
Aku bergegas ke meja makan dan
menyantap masakan mama yang tak kalah lezat dengan masakan koki handal. Setelah
selesai sarapan, aku menghampiri mama dan berpamitan. Mama menatapku dengan
heran, aku hanya tersenyum lepas. Papa seperti biasa sedang asik minum teh di
teras depan.
“papa ayo berangkat!” aku menarik
tangan papa. Tanpa perlawanan papa pun masak ke dalam mobil dan melaju menuju
sekolah.
“tumben kamu semangat berangkat
sekolah..” papa mulai meledek.
“iya dong, kan aku belum ngerjain
PR, hehe” jawabku asal.
“dasar kamu, inget ya Fay. Kamu udah
kelas 3.” Wajah papa serius.
“iya pa, aku bercanda tau. Lagian
baru hari kedua, belum ada PR pa..” jawabku.
Papa diam sepanjang perjalanan,
sepertinya papa sangat khawatir dengan kelulusanku nanti. Aku pasti berusaha
pa! kami berdua hanya diam dan terbawa dalam fikiran
masing-masing.
Suasana menjadi hening.
***
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment