Selepas hujan di sore hari, aku terduduk sendiri di teras
rumah. Mataku berkeliling menikmati kesejukan dan ketenangan suasana. Hitungan menit
saja mataku telah terfokus pada sosok lelaki seumuranku yang sibuk berjalan
sambil melepaskan pakaian tebal ditubuhnya. Sosok itu perlahan namun pasti
semakin mendekat.
Setelah
menit berlalu, sosok itu mengucapkan salam dan terduduk lemah di kursi kayu
yang tepat berada di depanku. “Muka lu kok kumel?” tanyaku tanpa menjawab salam
darinya. Rambutnya terliat berkilau karena basah, baju tipis yang masih melekat
ditubuhnya-pun lembab. Ia hanya terdiam dan sibuk melebarkan baju tebalnya agar
cepat kering. “Tiap gue kesini pasti deh ujan, lu panggil pawang ujan kek” ucapnya
dengan wajah ganjil. Aku hanya tertawa sebisanya dan masuk kedalam rumah untuk
mengambilkannya selimut dan air hangat.
“Mau mandi
air anget?” tanyaku sambil memberinya selimut. Ia menggeleng kemudian
menghangatkan diri dengan selimut tebal yang aku berikan. Mataku kembali
berkeliling dan menikmati ketenangan, meski hatiku tidak karuan akibat
kedatangan lelaki didepanku. “Ri, nyokap lu kemana?” tanya lelaki di depanku
sambil menyeruput teh hangat. “Lagi keluar” jawabku singkat, aku sudah tahu ini
permulaan dari perbincangan yang akan menyesakkan dada.
“Ri, lu tau
ngga gue abis darimana?” tanyanya kemudian. “Duh Bim, lu ngga usah maen
tebak-tebakan deh” jawabku ketus. Bima tertawa. “Sewot banget sih lu, lagi
dapet ya? haha” tawanya semakin menjadi, namun tetap saja ganjil. Aku menatap
wajahnya lamat-lamat, ada kebahagiaan tiap meneliti tiap lekuk wajahnya. “Gue
abis dari rumah Intan, Ri” sambungnya dengan wajah yang berubah serius. Aku
menarik nafas dengan berat seolah oksigen diteras rumahku sudah habis. “Dia
yang ngundang gue kerumahnya, katanya mau ngasih gue sesuatu gitu” sambungnya lagi, masih dengan wajah serius.
Aku hanya berdehem tanda mengerti dan memintanya melanjutkan ceritanya,
sesekali aku masih meneliti tiap lekukan wajahnya.
Lelaki
didepanku mulai mencondongkan badannya kearahku, ia mengusap wajahnya beberapa
kali. “Gue ngga kuat ceritanya” katanya lirih dan aku melihat satu bulir air
menetes dari kelopak kirinya. “Gue harus respon apa nih Bim? Gue kehabisan kata
buat ngerespon cerita lu yang tentang dia-dia lagi” jawabku berusaha halus
walau dalam hati ingin sekali memaki lelaki yang sedang terduduk lemah
dihadapanku. Lelaki itu menarik tas ranselnya dan memberiku sebuah kertas
keemasan. “Undangan?” kataku setengah berteriak.
Lelaki
dihadapanku sudah tak sanggup menahan puluhan bulir dikelopaknya. Aku hanya
melirik wajahnya sebentar kemudian membuka undangan yang ia berikan. “Bim, ini
udah bukan saatnya lu nangis. Kalian kan emang udah lama bubaran, undangan ini
sih cuma masalah waktu. Cepat atau lambat lu pasti akan nerima ini” kataku
dengan desir-desir aneh dihati. Wajah itu masih murung meski bulir-bulir
dikelopaknya sudah habis. Ia terus saja termenung, entah apa yang ia pikirkan.
“Ri, lu kan
tau gimana gue ke dia. Biarpun udah lama putus, lu kan tau gimana usaha gue
buat narik dia kembali dan lu juga tau kan gimana reaksi dia ke gue?” ucapnya
dengan intonasi yang mulai membaik. Aku menarik nafas panjang, membiarkan
lelaki didepanku menunggu jawabanku. “Gue tau bim, tau bgt. Tapi lu juga tau
kan kalo dia emang udah punya calon suami? Bahkan dari setahun yang lalu bim”
jawabku tenang namun intonasi tegas. Wajahnya kembali murung dan mengangguk
kalah.
Menit terus
saja bergerak meninggalkan kami yang hanya duduk terdiam dan termenung. Masing-masing
kami hanya sesekali saling tatap kemudian kembali dengan lamunan masing-masing.
“Oh ya, ini kan malem minggu bim” kataku spontan. Bima mengangkat wajahnya dan
sorot matanya seperti bertanya “trus kenapa?” Aku memukul lututnya dan memasang
wajah sebal. Ia masih saja diam dan tak mengerti. “Cewek lu ngga diapelin?”
kataku dengan berat hati dan segores luka. “Kok lu malah mikirin dia sih? Lu ngga
mikirin gue yang lagi sedih?” jawabnya dengan nada tinggi dan mata merah. “Tetep
aja cewek lu punya hak penuh atas waktu luang lu. Bukan si Intan ataupun gue.” Jawabku
tegas. Lelaki didepanku menatap mataku dalam, kemudian berpamitan pulang.
Sebelum melangkah ia meninggalkan pesan yang sangat membesarkan sekaligus
mengecilkan hatiku “Siapapun pacar gue Ri, lu tetep yang akan gue pentingin. Karena
lu udah gue anggep adik gue sendiri.”
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
Kok mereka ngak jadian aja yah ~ hehehe
ReplyDeletenunggu episode berikutnya mungkin. hehe. makasi loh komennya :)
ReplyDeletebikin episode baru nya dong cum, hahahaha
ReplyDelete