Senja mulai datang, matahari diam-diam mengintip kedalam rumahku yang tak berpintu. Cahayanya yang terik memaksaku untuk pergi dari mimpi indah semalam. Aku melihat adikku masih bertahan dengan posisi tidurnya. Dasar anak malas, dia sudah mengambil posisi yang pas agar saat pagi datang matahari tidak segera menerpa wajahnya yang masih mungil itu. Merasakan udara yang cukup segar aku pergi keluar rumahku. Melihat ramainya manusia yang kaya raya sedang lari pagi dengan asiknya.
Agak sedikit siang adikku keluar dari mimpinya dan mencariku, ah dia pasti sudah bosan di alam mimpinya. Kami bermain-main disekitar taman monas tentunya yang tak jauh dari rumah kami. Udara pagi yang masih dingin membuat kami betah bermain di rerumputan hijau yang masih basah air embun. Sesekali kami di tertawakan oleh ibu-ibu muda yang sedang hamil, entah karena kita lucu atau karena mereka kasihan. Otakku tak cukup besar untuk memikirkan hal itu.
Diusia yang masih muda seperti ini kami sudah dituntut untuk mandiri. Keberadaan orang tua yang entah dimana. Makanan yang seadanya dan pengasuh kami yang tidak pernah lagi memberi kami makan membuat kami sulit untuk bertahan hidup. Jika aku dibandingkan dengan teman sebayaku di daerah perkampungan, badanku pasti terlihat sangat kerdil. Ah, kerdil itu masih lebih baik dibanding mati kelaparan seperti yang sudah banyak menimpa teman sepermainanku di taman monas ini.
“Kakak, aku lapar” kata adikku saat aku sedang asik mengikuti senam ibu-ibu. Aku menoleh dan mengangguk. Terlihat dengan jelas muka adikku yang sangat kelaparan. Aku menuju sebuah tempat sampah tak jauh dari tempatku. Belum sempat aku mencari sesuatu, adikku sudah berteriak “aku tidak mau memakan makanan menjijikan itu kak”. Aku menarik nafas panjang, adikku benar. Aku mencoba berfikir dengan keterbatasan kemampuanku. Kuajak adikku berkeliling taman ini, mungkin saja kami menemukan tanaman jagung. Yah, aku dan adikku adalah pecinta jagung.
Kami berkeliling sampai kulihat adikku seperti sudah tidak tahan, ah aku tak akan membiarkan adikku pergi meninggalkan aku. Aku menyuruhnya tetap ditempat dan aku melanjutkan pencarianku. Seingatku, aku pernah menemukan sampah jagung didekat air mancur. Aku mempercepat gerakkanku sampai akhirnya aku menemukan sampah itu. “Adikku pasti senang”, pikirku dalam hati. Segera kuhampiri adikku yang sudah hampir mati kelaparan dan ku berikan jagung-jagung itu. Adikku menyantapnya dengan lahap. Perutku sebenarnya sudah lama bernyanyi meminta untuk diisi jagung itu, namun aku harus bertahan demi adikku. “Enak sekali kak” kata adikku seusai menghabiskan makanannya. Aku hanya tersenyum puas dan mengajaknya kembali ke rumah kami.
Menjelang siang, adikku tertidur di rumah dan aku bergegas mengorek tempat sampah. Badanku yang kerdil membuatku tak mampu bertahan lama. Aku menyerah. Aku berjalan kecil disekitar tukang mie instan, ada seorang bapak kekar sedang melahap mie dengan buas. Menunggu dia selesai makan, aku mondar-mandir didepannya. Bapak itu sama sekali tidak menghiraukanku. Setelah beberapa menit aku menunggu, bapak itu membuang tempat makan steroformnya ke arahku. Sengaja dia membuangnya ke arahku, aku hanya menghindar sedikit kemudian dengan buas melahap mie instan dengan bumbu pasir jalanan. Bapak itu melihatku makan dan tertawa. Aku sudah tak peduli dengan pemikiran sang bapak, yang penting perutku terisi walau dengan makanan menjijikan ini.
Tanpa aku sadari, adikku sudah lama berada disamping kananku. Dia menyaksikanku melahap mie instan berbumbu pasir dengan buasnya. Setelah aku merasa cukup terpuaskan, aku menyadari adikku memperhatikanku. Ah, pasti dia akan sedih. Aku menghampirinya dan mengajaknya bermain, dia hanya menurut.
“Kak, tadi jagung yang aku makan kakak ambil dari jalanan juga? Atau tempat sampah?” tanya adikku tiba-tiba. Aku terdiam dan tak mampu menjawab pertanyaannya. Adikku terus menatapku dengan tatapan membunuh. Memaksaku menjelaskan semuanya dengan jujur. Aku mengangguk pelan dan hatiku mengutukku telah jujur pada adikku. “Kak, kenapa nasib kita sama seperti anak jalanan kak? Aku muak” kata adikku. Dia masih sangat kecil untuk mengetahui bahwa negara ini sudah tak peduli lagi terhadap kita. Bukan hanya pemerintah yang menganggap kami tidak ada. Semua masyarakat yang memiliki harta, selalu menggundulkan hutan hanya untuk pembangunan yang menghasilkan keuntungan bagi kalangan mereka. Mereka semua tidak peduli lagi pada kita. Mereka semua menutup mata. Kita yang kelaparan dan harus memakan makanan yang seharusnya bukan menjadi makanan kami. kami yang seharusnya hanya memakan jagung atau biji-bijian, kami burung tekukur yang terlantar di taman monas.
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment