Pernahkah kalian mengalami nasib yang mengenaskan seperti aku? Aku pernah sakit radang tenggorokan sampai seperti orang sakit stroke. Kepala hanya bisa menghadap ke atas, tak bisa di nundukkan. Rasanya sangat sakit dan menyiksa. Aku yang kesakitan ternyata hampir membuat mama menangis. Memegang terus leherku takut sekali akan terjadi yang bukan-bukan. Suasana saat itu sudah sangat malam. Ingin ke puskesmas-pun tak bisa, karena sudah tutup. Hanya dokter praktek saja yang bisa di kunjungi, mama sudah siap dengan semua uang simpanannya. Tak peduli berapa-pun yang akan diminta oleh dokternya nanti. Kakak laki-lakiku secepat mungkin menyalakan mobil dan melintasi jalanan yang super hancur tak beraspal. Sampai di dokter praktek mama segera membri tahu dokter apa yang terjadi padaku. Dokter yang hanya berbekal obat-obatan seadanya tak mau mengambil resiko, aku segera di kirimkan ke rumah sakit dekat situ meski harus menempuh waktu setengah jam perjalanan. Mama menurut, tak peduli harus ke ujung dunia-pun. Mendapat surat rujukan dari dokter kami segera bergegas menuju rumah sakit. Segera masuk ke ruang UGD. Hatiku ketar-ketir dan muka mama semakin pucat pasi. Semakin takut terjadi yang bukan-bukan padaku. Kakak laki-lakiku hanya duduk santai, berusaha menata hati karena kecepatan mobil dia kendarai dengan kecepatan lebih dari biasanya. Sampai di UGD aku tidak langsung dilayani, banyak ternyata yang sedang sakit disini. Mama langsung menghampiri siapa saja dokter yang ada dan meminta agar aku segera di tangani. Mama semakin terlihat pucat pasi. Keringat mengucur terus padahal ini ruangan ber-AC. Setelah di layani dokter mama segera menuju meja administrasi. Dan benar saja seluruh simpanan mama habis tak bersisa. Setengah juta lebih harus dikeluarkan dalam waktu kurang dari 15menit. Mama rela saja karena yang terpenting sekarang adalah kesembuhanku. Sampai di mobil mama sudah memegang bubur, pisang dan obat. Aku disuruh segera makan bubur. Tak peduli di lidahku bubur itu tidak berasa apa-apa. Mama terus saja menyendokkan bubur itu ke mulutku. Terus dan terus sampai bubur itu habis. Setelah habis aku segera di minumi obat dari dokter yang harganya menipiskan dompet mama. Setelah minum mama sudah sedikit berkurang keringat dan pucatnya. Meski leherku tetap saja tegang dan tak bisa nunduk. Sampai di rumah aku tidak di biarkan tidur di kamarku sendiri. Aku tidur bareng dengan mama. Mama menjaga erus meski di wajahnya lelah terus terlihat. Sepanjang malam aku tak bisa tidur, mama dengan sabar memegangi terus leherku yang masih tegang. Sampai pagi, tegang di leherku perlahan menurun, lagi-lagi mama sudah siap dengan bubur dan obatnya agar aku segera sembuh. Pengorbanan mama. Ini hanya salah satu contoh. Pastinya sejak kecil aku sudah selalu menyusahkan dan menghabiskan uang mama. Tapi apa yang terjadi? Sampai saat ini, saat umurku sudah menginjak 21 tahun. Mama tetap saja menjagaku, memberiku uangnya, menipiskan semua dompetnya agar aku senang. Selalu dan selalu. Tak peduli nantinya aku akan mengembalikan atau tidak uang itu dan peluh itu. Yang terpenting bagi mama adalah senyum di wajahku dan hatiku. Sampai umurnya yang sudah berkepala 5 pun yang mama ucapkan adalah, “umur orang tidak ada yang tahu ver, makanya mama was-was kalau vera lagi di luar sana.” Sampai begitu mama memikirkanku. Sedangkan saat aku jauh, apakah sampai hati aku memikirkan umur mama yang sudah tua? Apakah memikirkan kalau-kalau mama sakit dirumah saat aku tak ada di sampingnya? Cinta ibu sepanjang jalan dan cinta anak sepanjang galah memang benar. Belajarlah memahami mama selagi masih bisa. Selagi masih ada umur. Boleh jadi aku yang akan pergi dulu sebelum sempat membahagiakan mama dan membalas segala peluh ..
No comments:
Post a Comment