Setelah sekian lama akhirnya aku bisa melihatmu lagi. Ketika
keadaan yang sudah berbeda, parasmu yang berbeda dan apakah rasa yang berbeda
juga? ~
***
“Hei Shel,
kemana aja lu baru keliatan?” sapa Deni ketika mendapati aku yang berdiri
mematung di depan pintu kantor lamaku. Aku masih saja menikmati setiap detail
ruangan kantor yang sama sekali tidak berubah sejak aku tinggal. “Eh iya Den,
baru sempet jenguk kalian nih, hehe” jawabku asal. Aku mendapati seseorang di
pojok kanan tanpa berkedip melihatku, aku melemparkan senyum tanpa ragu. Lebih
tepatnya, aku tersenyum spontan. Tidak ada yang memerintahkan, semuanya terjadi
akibat gejolak yang telah lama terpendam di dalam dada.
Perlahan aku
mulai berjalan memasuki lorong kantor yang padat namun terlihat sangat nyaman.
“apa kabar.. Shidiq?” ucapku terbata. Ada hangat yang aku rasakan di pipiku.
“Baik Shel, tumben kamu kesini?” jawabnya santai. Wajahnya sudah berbeda
sekarang. Dia sudah lebih rapi dibanding dahulu. Seperti sudah ada yang
mengurus...dan rasanya aku kesulitan mengatur nafasku. “Iya nih, baru sempet
pulang cepet dari kantor terus kangen sama kantor ini. hehe” ucapku sedikit
gemetar. Aku merasa ada angin yang berhembus dan dalam sekejap badanku di
kagetkan dengan tinju pelan khas Deni. “Kangen kantor apa kangen Shidiq?
hahaha” ucapnya asal. Dari dulu sampai sekarang Deni tidak pernah berubah,
selalu jahil. Aku hanya mampu terkekeh sebisanya.
“Shel, udah
lama dateng? Ih ngga bilang-bilang” tiba-tiba Shira datang menyapaku. Aku
segera memeluknya erat. “Iya Shir, aku juga dadakan. Mumpung pulang cepet dari
kantor. Hehe udah pada mau balik ya?” ucapku sambil tetap mencuri pandang ke
arah Shidiq. Aku masih kesulitan untuk mengatur nafasku. Ruangan berAc seperti
ini saja aku merasa sedikit berkeringat. “Iya Shel, kita dari kemaren lembur.
Makanya sekarang mau pulang cepat. Suami gue kasian Shel. hehe” canda Shira
kepadaku. Aku hanya mampu mencubit lengannya yang gemil.
“Shel, rumah
lu masih di Kota? Bareng Shidiq aja, kan searah” kata Deni membuatku semakin
merasa panas. Pipiku pasti sudah sangat merah dibuatnya. Aku tersenyum malu.
“Iya Shel, bareng aja” tiba-tiba Shidiq bersuara. Aku terkejut dan melempar
senyum manisku dengan kikuk kemudian mengangguk pelan.
Beberapa
menit Shira dan Deni sudah siap untuk pulang dan meninggalkan aku hanya berdua
dengan Shidiq. Aku menungguinya sampai ia benar-benar siap. “Ayo Shel” ajak
Shidiq dan aku hanya membuntutinya. Selama perjalanan aku hanya diam, kikuk dan
panas menyerangku. Rasa yang sangat tidak nyaman.
“Gimana
kerjaan?” ia membuka pembicaraan. “Yah lumayan” jawabku singkat, nafasku masih
saja sulit diatur. “Tadi pulang cepat memangnya ada apa?” tanyanya lagi. “Si
bos lagi baik, kayaknya lagi dapet bonus banyak dari donatur gitu. haha”
jawabku mulai sedikit rileks. Perbincangan kita berlanjut dengan canda dan
tawa. Senda gurau yang memang telah lama tidak dapat lagi kita lakukan.
Keceriaan dan kepolosan aku dan dia yang selalu aku rindukan. Apakah dia pun
merindukannya?
“Dian apa
kabar Diq?” Bodoh. Aku merasa sangat bodoh telah menyebut nama yang seharusnya
tidak aku sebut. “Dia baik, masih sibuk ngurus butiknya di Bandung. Biasanya
seminggu sekali sih pulang untuk melihat aku dan anak. Kamu sendiri gimana sama
Ranu?” seketika badanku mendingin. Sejak tadi aku melupakan keberadaan Ranu
hanya karena sibuk mengatur nafasku dan degup jantungku yang semakin
berlomba-lomba. “Ya ngga jauh beda, Ranu sering lembur jadi aku juga harus
lembur nunggu dia pulang. hehe” jawabku dengan sangat hati-hati. Beberapa kilometer
dalam perjalanan kami hanya saling diam. Kami sibuk dalam pemikiran
masing-masing, entah masa depan atau masa lalu.
Aku terdiam
ketika sampai di depan gerbang rumah. Aku menatap lurus ke dalam matanya.
Berlangsung cukup lama. “Aku minta maaf Diq” kataku spontan. Kami masih saling
pandang dan tak ada kata apa pun yang terucap. Debaran jantungku sangat memakan
energi hingga aku benar-benar berkeringat. Dia menggeleng masih sambil menatap
mataku dan tersenyum. “Salam buat Dian dan terima kasih kamu masih mau
mengantar aku” kataku hampir meneteskan air mata. Aku tak mampu. Aku tak mampu
melihat matanya yang penuh dengan ketulusan. Mata yang dulu selalu menatapku
penuh dengan kasih dan rasa yang bisu. Aku yang dulu penuh ego dan hanya
menunggu. Menunggu dia menyatakan cinta agar aku mampu menolak lamaran Ranu.
Namun dia tetap bisu dan takdir ternyata memang bukan milik kita. “Iya Shel,
aku pamit ya” katanya dan berlalu tanpa menoleh lagi.
***
Kisah ini memang terlalu berat. Bagi aku maupun kamu. Berat
untuk memilih kata “setia” dan berat untuk menahan rasa “rindu”. Aku dan kamu
memang harus memilih, bahwa kita hanyalah sesuatu “yang pernah terlewatkan” :’)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment