Kemahilanku sudah beranjak ke 9
bulan, berat badanku untuk di ajak bekerja atu bahkan hanya ke kampus untuk
konsultasi skripsiku. Sebenarnya ketika awal aku menikah, aku berniat untuk
tidak memiliki anak terlebih dahulu, namun nasib berkata lain. Malam pertamaku
adalah masa suburku, mungkin ini adalah rezekiku bersama suamiku.
“kamu
sudah minum susunya Lin?” sapa suamiku pagi ini. “Sudah mas, tapi belum habis.
Aku seidikit mual.” Jawabku dengan wajah sedikit pucat. “Ya sudah, aku tinggal
ngga apa kan Lin?” tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk dan tersenyum manis. Aku
mencium tangannya dan ia mengecup keningku. Ia pun berangkat kerja dengan sepeda
motornya yang sudah sangat butut.
Sepanjang
hari aku hanya di dalam rumah, badanku terasa lemas dan perutku pun bergejolak
terus.lemas dan lunglai sehingga aku hanya bisa berbaring. Hingga tepat pukul
12 siang rasanya anakku sudah tak sabar menghirup udara segar, ia bergejolak
terus dan terus. Aku meraih handphoneku dan ku telpon suamiku.
“mas..”
ucapku tercekat. Nafasku naik turun cepat. “aku sakit” ucapku lagi. “ya udah
kamu tunggu ya, aku langsung pulang” kata suamiku dengan panik yang luar biasa.
Aku sibuk mengatur nafasku perlahan. Terus menunggu sampai hampir satu jam
menunggu. “Alin, tahan dulu ya” kata suamiku panik dan langsung menggotongku ke
mobil angkutan yang ia sewa. “rumah sakit bersalin ya pak” akta suamiku pada
supir angkot. Aku masih saja mengatur nafasku yang putus-putus. “Mas, aku ngga
kuat. Sakit banget” ucapku dengan sekujur tubuh yang mendingin. Air ketubanku
sudah pecah. Suamiku semakin panik dan badanku semakin terasa sangat dingin.
Sesampainya
di rumah sakit au segera di tangani dokter. Aku merasa tidak kuat. Suamiku
terus berada di sampingku dan memegangi tanganku erat. Perlahan badanku mulai terasa
terbang, aku tidak sadarkan diri. Dalam keadaan seperti ini aku dapat melihat
dokter dan suamiku sangat panik. Genggaman tangan suamiku semakin erat namun
kemudian aku tak dapat melihatnya lagi, dokter menyuruh suamiku keluar.
Sepertinya aku akan melahirkan secara sesar. Semua tidak dapat terlihat lagi sekarang.
Mataku
terbuka setelah waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Aku melihat suamiku masih setia
duduk di sampingku dan menggenggam tanganku. Ada juga ibuku dan ayahku. Bahkan
ada sodara jauhku datang. “Alin, kamu sudah sadar?” ucap suamiku terkejut. Aku
hanya tersenyum tipis. “Akhirnya Alin, kamu sudah tidak sakit kan?” kata ibuku dengan
muka sedih dan terlihat matanya basah. “sudah bu, Alin ngga apa kok” ucapku
pelan. Wajah mereka semua terlihat sendu dan mata yang basah. “Maaf ya mas”
ucapku. Suamiku melihatku dengan pandangan terkejut. “maaf untuk apa Lin?”
tanyanya. “Pasti biaya sesar sangat mahal kan mas? Mas ngga usah sedih. Aku
masih ada simpanan sedikit” kataku mencoba menghibur suamiku. Wajahnya masih
tetap terlihat sedih namun ada senyum dibibirnya walau sangat tipis. Ia
mengangguk.
Setelah
aku sekitar satu jam aku menunggu aku mulai bingung. Mengapa anakku tidak di
berikan padaku? Apakah anakku tak memerlukan ASI dariku? Dan mengapa juga
anakku tidak tidur di dekat aku? Aku kan ibunya. “mas, anak kita mana? Kok
tidak dekat denganku? Memang ia tidak butuh ASI aku?” aku mencoba menanyakannya
pada suamiku. “ia Lin, masih di rawat suster. Kamu kan baru pulih” ucapnya
tanpa menatap mataku. Aku hanya terdiam takut-takut suamiku malah semakin
banyak pikiran. Aku berkhayal seperti apa muka anakku? Apakah mirip aku atau
malah mirip suamiku? Ah yang ada di bayanganku dia mirip suamiku, wajarlah.
Anakku kan lelaki. Aku senyum-senyum sendiri membayangkannya. Namun dalam
bayanganku terlihat anakku tertidur dan tidak menangis, aku jadi ingin
mendengar tangisannya.
“Mas,
aku sudah mulai segar. Aku ingin lihat anak kita mas. Aku ingin mendengar
tangisannya.” Pintaku penuh harap pada suamiku. Ibuku segera keluar dari kamar
inapku. Suamiku memandangiku dengan pandangan yang tak mampu aku artikan.
Pandangan yang dalam dan penuh keraguan. “Mas, aku ingin lihat anak kita. Aku
ingin menggendongnya mas. Sebentar saja lah” ucapku semakin memohon. Suamiku
menunduk dan aku melihatnya menangis. Pilu. Suasana sangat pilu karena aku
belum pernah melihat suamiku menangis. Dan tangisannya sangat berat. Ada apa
ini?
Ayah
dan ibuku menghampiriku, mereka berusaha menenangkan suamiku. Aku hanya
terdiam. Memandang langit-langit kamar yang kusam. “Alin, anak kita sudah
diambil lagi oleh-Nya” ucap suamiku dengan kesadaran yang sudah mulai kembali.
Aku terdiam. Diam dan tak mampu berbicara. Seketika bayangan anakku kembali
datang, ia tersenyum dan mengucapkan kata-kata indah “Mama jangan sedih, aku
tunggu mama di syurga. Aku akan sediakan makanan dan minuman terbaik untuk mama”
END
"Teruntuk sepupuku, saudaraku, sahabatku, soulmateku APRIYANTI.. Jangan sedih ya bu, banyak yang udah ngalamin dan cepet dapet gantinya. Semangat!" :')
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment