“Aku pilih bintang itu, yang berwarna merah” kataku sambil
menunjuk kearah bintang yang terlihat merah di mataku. Entahlah. Mungkin karena
sorot mataku kini memancarkan kebencian yang sangat dalam.
“Ambillah bintang itu Dess, untukmu. Sebagai penggantiku
dikala kau merindukanku” Jerry terus memandangiku. Aku terdiam. Tidak ingin ku
ucapkan sepatah katapun. Aku tidak ingin air mataku pecah.
“Maaf Dess kalau selama ini aku telah pergi dan kembali
membawa kenyataan pahit seperti ini. Aku hanya ingin jujur, bahwa aku bosan
padamu” Jerry terus memandangiku. Aku tetap diam dan menatap bintang berwarna
merah itu dengan tatapan pilu. Berbeda dari aku, Jerry lebih banyak bergerak
dan gelisah.
“Maaf kalau aku sangat menyakiti hatimu, sekarang saatnya aku
pergi” Jerry terdiam dan kemudian mencoba mengangkat bokongnya dari tempat
duduk bambu penopang lelah kami.
“Aku hamil” ucapku cepat sebelum Jerry benar-benar berdiri
menjauhi bokongnya dari tempat duduk bambu. Sedetik ia kembali terduduk.
“Apa dia anakku?” katanya sedikit bergetar, getaran penuh
emosi. Aku terdiam. Semakin terdiam. Dia pikir aku perempuan seperti apa? Aku tidak
ingin air mataku pecah. Aku tidak ingin berbicara. Aku tidak ingin kalah.
“Lebih baik kita periksa dulu Dess, jangan kamu tuduh aku. Kita
hanya sekali melakukannya kan?”
Cih!!
Pesona tampan Jerry seketika hilang dalam hitungan detik. Menyesal.
Aku ingin mengoyak-oyak perutku. Aku ingin jabang bayi ini tahu betapa rusak
otak bapak kandungnya. Aku ingin jabang bayi ini merasakan perihnya hatiku saat
ini. Aku memalingkan pandanganku. Kini aku menatap mata Jerry lamat-lamat.
“Kamu pikir aku sama seperti kamu? Kamu pikir aku wanita yang
mudah memberikan segalanya? Hah? Kamu sudah 2 tahun Jerr bersama aku. 2 tahun! Belum
cukup kamu kenal aku? Aku hanya memberikan jiwa dan ragaku padamu. Tidak ada
yang lain. Dan sekarang kamu hadir mengantarkan bosan? Semudah itu Jerr?” Aku
menangis. Air mata yang sedari tadi telah aku bendung pecah juga. Dingin udara
yang menusuk tulang tak lagi mampu ku rasakan. Bekunya hati semakin mengeras
dengan isakanku yang membuat bahuku naik turun.
“Tanpa perlu diperiksa, aku sudah tahu Jerr. Aku yang
mengandung dan hanya aku yang tahu siapa bapaknya. Tega sekali kamu meragukanku
Jerr,aku kecewa” tatapanku semakin lekat pada mata Jerry. Bosan. Aku sebenarnya
sudah bosan menangis sejak 2 bulan lalu. Ketika Jerry menghilang tanpa kabar. Menyakitkan
memang. Namun malam ini, ketika ia mengantarkan bosan padaku. Rasanya lebih
sakit. Apa yang akan aku perbuat dengan jabang bayi yang ada di kandunganku
ini?
“Gugurkan saja dia” tiba-tiba Jerry seolah bisa membaca
pikiranku. Ia tertunduk menatap aspal yang rata. Aku terdiam. Meredakan isakkan
yang sedari tadi tak mampu di redakan.
“Sudahlah Jerr, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mengandung
anakmu. Aku tidak meminta tanggung jawabmu. Terima kasih Jerr. Kita putus.” Ucapku
tulus sambil menatap bintang merah. Mungkin bintang itulah yang akan menggantikan
Jerry. Hanya bintang merah itu yang akan menemani aku ketika membutuhkan Jerry.
“Selamat tinggal Jerry” ucapku lirih. Ucapan yang ku tujukan lebih kepada
diriku sendiri. Kenyataan memang pahit, tapi ini adalah pilihan hidupku. Meski aku
kehilangan Jerry, setidaknya aku memiliki sebagian dari hidupnya. Aku berlalu
sambil terus memeganggi perutku. Aku tidak ingin jabang bayi ini kenapa-kenapa.
Aku ingin menjaganya. Menjaga agar cintaku tetap. Menjaga agar cintaku tidak
terhapus dengan waktu.
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment