Semakin jauh melangkah semakin semu terlihat. Tanah menolak. Angin berangsur pergi meninggalkan sesak. Apakah cinta suci melihat status?
***
Pagi ini lagi-lagi aku terbangun karena bunyi handphone tanda telepon masuk. Selalu dan tak akan berubah hanya namanya yang tertera, “Mas Tri”. Semenit, dua menit, menunggu kemudian baru ku tekan tombol berwarna hijau dan menekan tombol loadspeaker.
“Selamat pagi bidadariku” suaranya terdengar jelas dari speaker handphoneku. Pembicaraan yang selalu sama disetiap pagi namun tak akan terbesit kata “bosan” di dalam hubungan ini. Perasaan yang sama, perhatian yang sama, semua membuat kami menjadi pasangan sempurnya (bagi kami).
“Del, lu serius sama si Mas Tri?” lagi-lagi pertanyaan serupa melesat dari mulut teman kerjaku. Aku selalu menjawabnya dengan anggukan yakin. Aku paham betul bagaimana hubungan cintaku dianggap miring oleh teman-temnku, mereka seperti tak pernah merasakan jatuh cinta saja. Memang awal cinta ini sangat tabu, Mas Tri datang ke kedai kopi-ku bersama istrinya. Ya, Mas Tri saat itu sudah berkeluarga. Pernikahan mereka tidak seindah pernikahan yang didasari cinta. Istri Mas Tri seenaknya saja selingkuh dengan teman dekatnya. Mas Tri sudah memiliki seorang anak laki-laki yang memang lebih akrab dengan ayahnya. Betapa memang rasa sayang itu tak mampu dibohongi, Mas Tri begitu menyayangi anak semata wayangnya.
“Heh, ngelamun lagi lu Del” Bentakan temanku mengajakku kembali kedunia dan pergi dari lamunan. Aku tersenyum ketir. “Lu kan gadis, masih bisa cari pacar perjaka. Kenapa harus duda?” pertanyaan berlanjut lagi. Aku tertawa kecil, menatap lekat-lekat wajah temanku ini. “Lu pernah jatuh cinta kan? Apa bisa lu milih buat jatuh cinta sama siapa?” tanyaku lemah namun tegas. Dia memutar bola matanya, tersenyum malu dan berdehem kecil. “Mungkin, tapi setidaknya lu bisa mundur dari perasaan lu kan setelah tahu status dia?” tanyanya lagi. Ah, bosan benar aku mendengar pertanyaan dia yang tak akan ada habisnya. Beruntunglah ada seorang pembeli datang, aku segera menghampiri pembeli itu dan mencatat semua pesanannya.
Jam pulang kerja aku harus menunggu sekitar setengah jam, namun Mas Tri belum juga datang. “Namanya juga duda Del, pasti lagi nyari janda lah. Yang udah pengalaman. Haha” ejekan temanku berulang lagi, selalu setiap harinya. Ujung bibirku tertarik sebelah, tersenyum miring. “Del, si Joko lagi nyari jodoh tuh. Lu mau engga? Perjaka dan sama kayanya kaya Mas Tri” ledekan baru dimulai, aku mulai menanggapi. “engga suka tuh sama perjaka, kurang pengalaman” ucapku sambil tertawa kecil. “Duileeehhh” mereka paduan suara mengejekku. “Del, lu seriusan ama Mas Tri? Dia duda Del..” kembali lagi, pertanyaan serupa dan selalu berefek sama. “Cinta engga pandang status, masih mending duda daripada suami orang” jawabku sedikit ketus karena terlalu kesal dengan pertanyaan yang itu lagi-itu lagi.
Setengah jam berlalu akhirnya mobil Mas Tri sampai di parkiran, senyumku serta merta mengembang. Semua mata teman kerjaku tertuju pada mobil Mas Tri, kejadian yang sudah biasa. Mataku terbelalak melihat ada Andre turun dari mobil Mas Tri. Degupan jantungku hebat. Astaga, aku sampai tak tahu harus melakukan apa. “Del, Mas Tri bawa anaknya tuh.” Ucapan itu mengejutkanku, aku segera bangkit dan mencoba tenang. Semua pertanyaan menyentil seperti apapun tak penting lagi, sekarang lebih penting menarik perhatian Andre, anak Mas Tri.
“Tante Adel..” teriak Anre saat melihatku dihadapannya. Tak peduli baju yang kotor berlumuran tanah merah itu menempel di pangkuanku. Aku tersenyum sambil terus mendengarkan cerita bocah ini, berperan sebagai bundanya. Mas Tri segera menghampiriku dan mengecup keningku kemudian duduk manis didekat kami. “Mau kopi Mas Tri?” tawaran manis dari temanku yang segera diberi anggukkan tanda setuju. “Andre udah akrab sekali sama Tante Adel..” ledek temanku yang lain. Aku hanya tersenyum, menatap sorot mata penuh cinta Mas Tri. “Tante Adel kan baik, engga kayak tante” ucapan nyentil Andre terhadap temanku. Memecah suasana, semua tertawa.
“Andre, panggilnya jangan Tante Adel dong.. Tapi Bunda Adel” Mas Tri memulai pembicaraan saat kami sudah memasuki jalan tol. “Andre engga mau ah, tante Adel kan belum nikah sama Ayah.. Kalo udah nikah baru Andre mau panggil Bunda” jawaban polos Andre membuatku membeku. Menikah? Sesuatu yang lama sudah kutunggu, namun dengan Mas Tri? Duda dengan satu anak? Ah, mengapa aku jadi seperti teman-teman kerjaku.. perjalanan pulang menjadi hening, Andre yang kelelahan perlahan tidur dipangkuanku.
“Sudah hampir setahun Del, apakah kamu mau meresmikan hubungan kita? Seperti permintaan Andre?” Awal yang mengejutkan disaat aku baru saja ingin turun dari mobilnya. Aku terdiam, mulutku seperti terkunci rapat. Semenit, dua menit hanya hembusan nafas yang terdengar. “Kamu masih ragu dengan status Duda-ku?” menyentil, pertanyaan yang sangat menyentil. “Perlahan aku semakin merasa yakin, namun..” kata-kataku tertahan, hampir saja air asin menetes dari sudut mataku. “Asal kamu yakin sama Mas, semua pasti mengerti posisi kita. Mas janji” kata-kata penuh motivasi, tanpa diperintahkan kepalaku mengangguk. Merah tomat pipinya, secerah lampu sorot matanya menatapku, seperti selesai lari maraton nafasnya terpenggal-penggal. “Makasih” ucapnya lemah dan tak percaya.
***
Mungkin ini keputusan yang semakin tabu, gadis menikah dengan duda. Namun beginilah cinta. Cinta suci memang tak pernah melihat status.
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment