Selembut belaian badai saat kau palingkan arah. Setiap insan
pasti ingin merasakan cinta yang sempurna. Namun tanah yang diinjak dan udara
yang dihisap seolah tidak merestui adanya jalalinan kasih yang abadi.
Senja perlahan mengintip dari balik bukit yang tinggi. Ayam
di setiap penjuru paduan suara membangunkan manusia yang masih di alam mimpi.
Aku terbangun dan segera bergegas untuk menyiapkan sarapan pagi. Ku tinggalkan
suamiku yang masih mendengkur keras. Langkah kakiku terhenti begitu melihat
keluar jendela kamarku. “Paman Obe rajin sekali” pikirku dan segera melanjutkan
niatku untuk masak.
“Pagi sayang” ucap
Dedy seraya memelukku dari belakang. Badanku bergerak melepasnya, entah
mengapa. Seluruh saraf yang ada ditubuhku seperti menolak perlakuan mesra
suamiku. Aku menatapnya merasa bersalah, namun Dedy hanya tersenyum tipis dan
menuju meja makan. Pernikahan ini sudah berjalan 1 tahun, namun pernyataan
ibuku yang bilang “Nanti juga cinta kalau sudah hidup bersama” itu sama sekali
tidak terbukti. Hatiku masih tertinggal ditaman depan rumah. Hatiku yang utuh
dan suci akan cinta sejati sudah tertanam dan terus berkembang bahkan sampai saat
taman itu sudah berpenghuni.
Terik matahari membantuku mengeringkan pakaian basah yang
menggantung bebas di depan rumah. Sebagai ibu rumah tangga aku dituntut
berbagai macam tugas yang belum pernah ku lakukan sebelum memiliki suami. Umurku
masih cukup muda, namun ibu terlalu khawatir dengan cemoohan tetangga tentang
perawan tua. Dunia seolah berputar ke masa-masa aku kuliah.
***
Aku
selalu bangun lebih pagi dari nyanyian burung kutilang yang terbang bebas di
pepohonan taman sejoli. Kusempatkan diri menggunakan kaos dan celana training
untuk berjoging ria dengan telinga tersumbat headset. Kesehatan bukanlah
alasanku untuk melakukan aktivitas ini setiap harinya. Namun ada alasan lain,
hanya aku, dia dan Tuhan yang tahu.
Setiap
sore adalah indah. Do re mi fa sol la si do dendangku riang dalam hati. Menutupi
degup jantung yang lebih heboh dari gonggongan anjing. Setiap sore, duduk
menunggu sesuatu yang tak pernah datang menghampiri. Hanya sorot mata dan itu
sangat indah. Hanya senyum simpul, sederhana namun itu membuat hatiku berdesir
hebat. Anak ABG yang terjebak dalam cnta sesaat, eh. Aku sudah kuliah. Berarti aku
sudah bukan ABG. Selalu mengelak karena malu mengaku cinta yang dangkal.
***
Ketika hati dan kenyataan dunia berbeda keadaannya, ini
selalu terdeskripsikan dengan masalah. Apakah orang-orang yang membuatku seperti ini mau bertanggung
jawab? Apakah ada yang peduli ketika ucapan-ucapan mereka dulu itu tidak nyata?
Berbicara pada siapa sih aku? Tembok!
“aku pulang” suara merdu terdengar dari arah pintu. Aku segera
menyambutnya dengan senyuman. Senyuman palsu lebih tepatnya. Dedy tampak
sedikit murung. Tetap dengan lembut ia memintaku melayaninya. Membuatkan minuman
hangat, makanan yang lezat dan air hangat untuknya mandi. Ku laksanakan
semuanya karena kewajiban. Setelah badannya sudh cukup segar ia berbaring di
sofa depan TV. Aku menghampirinya dengan membawa beberapa makanan ringan.
“Kamu lelah sekali ya?” tanyaku ku buat sehalus mungkin. Dedy
hanya mengangguk dan menggonta-ganti channel TV tanpa henti.
“Ada masalah apa di kantor?” tanyaku lagi. Dedy menatapku
lekat-lekat. Ia merangkulku tanpa mampu aku tolak. Tubuhnya wangi sekali,
padahal aku tahu dia tidak memakai parfum selesai mandi tadi.
“Biasalah sayang, namanya kerjaan pasti ada masa sulitnya.
Kamu engga usah ikut mikir ya. Pasti kamu udah capek seharian ngurusin rumah”
katanya lembut. Entah mengapa aku nyaman di pelukkannya. Sepertinya aku
terhipnotis oleh aroma tubuhnya. Ah, tidak. Tidak mungkin aku jatuh hati
padanya hanya karena ini.
“Yang penting dapur tetap ngebul kan?” kataku sambil melepas
pelukkannya.
“haha iya lah sayang, kamu ini ada-ada aja sih” ucapnya penuh
rasa sayang sambil mengusap rambutku. Apa sih ini orang? Cinta banget ya sama
aku? Masa sih dia engga bisa melihat mataku yang kosong ketika melihat mukanya.
Bahkan bilang sayang aja aku engga pernah. Tapi dia sehari bisa sepuluh kali. Heran!
***
Gunung
merapi kapan meletus? Kenapa bukan hari ini saja? Saat duniaku hancur
berkeping-keping. Saat sorotan mata dan senyum simpul itu ternyata salah
alamat. Bukan bukan, bukan salah alamat. Namun perbedaan zaman, ah apalah
bahasa yang baik? Singkatnya, sorotan mata itu berasal dari seorang bapak dari
1 anak balita. Apa aku masih di bumi?
“kakak,
tolong jangan selalu melihat bapak seperti itu” kata seorang anak kecil
disampingku.
“bapak? Siapa
dek?” tanyaku masih lugu.
“itu
yang lagi memotong pohon mawar di samping tulisan taman sejoli” ucap anak itu
lantan. Aku terkejut. Mungkin kalau jantung tidak terikat dengan banyak
pembuluh darah, dia sudah loncat ke luar angkasa.
“oh iya,
maaf ya adik” ucapku sedikit serak.
“Bapak
Obe” teriak anak itu sambil berlari. Aku
beranikan diri mengikuti anak itu. Menghampirinya. Seseorang yang memiliki
sorot mata dan senyum simpul yang memenuhi relung hati ini. Aku melemparkan
senyum yang berbeda. Sangat berbeda.
“Maaf
mba, anak saya bandel ya? Maklum ibunya sudah tidak ada.” Ucapnya lembut. Paman
Obe pewarna hari-hariku selama ini. Mendengar ceritaku tentang paman Obe, mama
segera menikahkanku dengan Dedy.
Mentari
pagi seolah berwarna hitam kelam. Biaskan makna yang terpendam.
***
“Pagi sayang, kok kamu tumben bangun siang?” sapa Dedy
disampingku dengan pakaian serba rapi.
“Jam berapa ini?” aku terkejut.
“jam 8, sarapan udah aku siapin kok. Sepertinya kamu
kecapekan. Kamu boleh istirahat lagi kok, tapi sarapan dulu ya” dedy tetap
lembut. Aku melemparkan senyum simpul. Badanku masih sangat lemas. Entah mengapa.
“Aku berangkat ya sayang. Makasi buat semalam” bisiknya
halus.
Semalam? Mimpi masa lalu itu membuatku lupa segalanya. Entahlah.
Ku berjalan menuju dapur dan lagi-lagi langkahku tertahan. Menengok ke arah
taman depan rumah. Paman Obe, wajahnya sudah mulai keriput. Hidupnya sangat
sulit. Mengurusi anak sendirian. Desiran hati yang dulu ku rasakan perlahan
hilang. Sampai saat ini, aku hanya menganggapnya sebagai paman Obe tukang kebun
taman sejoli.
Sebulan setelah ke kalutan Dedy, hari ini mungkin adalah hari
yang sejak dulu ia nantikan. Kuberikan tanganku yang akan membuat cintanya tak
lagi bertepuk sebelah tangan. Pertemuan dua yang menjadi satu. Aku positif. Dan
Dedy semakin memperlakukan aku layaknya putri. Tenyata mama benar, cinta bisa
datang seiring berjalannya waktu. Hanya saja waktu itu tidak seperti kereta
yang jalannya cepat tanpa hambatan.
No comments:
Post a Comment