Bel jam istirahat berbunyi. “Bawa
bekal makan siang?” pertanyaan Riri mengejutkanku. Aku menggeleng. “Lu beli makan aja
dulu dikantin, gue
tunggu biar kita bisa makan bareng” Riri teman yang baik, aku tidak salah
menerimanya sebagai teman satu mejaku.
“Udah lu makan aja duluan, gue juga masih bingung
mau makan apa”
“Ya udah sana cepat ke kantin, nanti
lu kelaperan loh..”
Aku mengangguk dan beranjak dari
tempat dudukku. Sepanjang aku berjalan menuju kantin, banyak juga yang
menyapaku. Bukan karena aku terkenal, tapi karena papa aku bekerja di sekolah
ini. Dengan keberadaan papaku di sekolah juga yang membuatku
cukup takut untuk PDKT dengan cowok-cowok. Karena pasti papaku tahu bagaimana
bebet dan bobotnya. Sedikit merasa terpenjara, namun aku bukan termasuk cewek
yang pengen buru-buru punya pacar, tapi kalo ada yang mau sih boleh aja. Hehe
Setelah membeli makanan dikantin aku
kembali ke kelasku. Aku terhenti di depan pintu. Deg! Cowok itu lagi,
kenapa dia di depan pintu kelas sih? Aku memutar otak agar dapat masuk kelas
tanpa gemetar. Ada cowok yang menghampiriku, tapi itu bukan dia. Aku terdiam
menunggunya sampai tepat di hadapanku. “Hai Fay, kenapa diem aja dari tadi?”
sapa cowok itu, garing!
“Kok lu tahu nama gue sih?”
“Yaiyalah, anaknya Pak Lian siapa
yang ngga tau?”
“Oh karena papa lagi, huh.. udah ah gue mau masuk kelas”
Langkahku pasti namun terhenti
begitu melihat cowok yang…
“Santai aja Fay, dia emang suka
iseng” cowok itu berbicara padaku, oh. Tunggu. Tadi dia juga menyebut namaku,
ya ampun. Aku mengatur nafas perlahan. “Siapa sih dia?’ sepertinya aku sedikit
gemetar. “Namanya Didi, dia udah biasa jahil kayak gitu. Gue juga jadi
ketularan” dia tertawa, aku pun tertawa sebisanya. “Lu liat sendiri kan
tadi. Nama gue
Ichsan” oh Tuhan, dia memperkenalkan namanya, yang sejak tadi pagi aku
inginkan. “Gue
Fay” ada getaran halus disetiap sudut hatiku. Rasanya aku
ingin pingsan.
“Udah tahu, lu kan cukup
terkenal, hehe” Deg!
Ah senyumnya, aku tak dapat berkutik.
“Yang disebelah lu siapa namanya?”
lanjutnya lagi. Aku terkejut, aku fikir dia tidak akan berbicara lagi. “Riri”
jawabanku sangat singkat. Aku tersenyum padanya, yeah pada Ichsan. Ichsan tidak lagi tersenyum padaku, ia berjalan ke arah
Didi dan menuju kantin. Aku berlagak cuek dan berjalan
memasuki kelas lalu duduk
disebelah Riri.
“Lu ngapain tadi di depan?” suara Riri
agak beda. Raut wajahnya menunjukkan
sedikit amarah. Matanya menyipit seperti ingin membidik sesuatu.
“Cuma kenalan, mereka Cuma anak usil
Ri, tadi juga nanyain nama lu
kok” jawabku pelan. Semoga Riri tidak membenci mereka, terutama Ichsan. Kalau aku jadi Riri mungkin juga sedikit kesal, tapi aku
yakin nanti Riri akan membaik. Riri terlihat
seperti anak yang baik, hanya saja dia sering diam dan mungkin mencintai HPnya.
Aku cukup nyaman duduk disampingnya, dia pintar dan ini cukup membantuku lebih
serius untuk belajar. Materi palajaran IPA banyak yang aku tidak mengerti,
sulit dipelajari. Namun disinilah aku, aku harus lulus. Demi papa. Demi harga diri keluarga. Karena papa
pasti akan malu jika anaknya tidak lulus SMA.
***
“Kerjakan soal yang ada pada buku paket
kalian, hitung dengan benar” suaranya lantang, membuyarkan lamunanku.
Matematika, soal mudah pun terasa berat dipundakku. Badanku seperti tak bertulang dan mataku kunang-kunang.
Aku memang tidak layak berada di jurusan ini. “Riri,
lu ngerti soal-soal
ini?” suaraku lemas sekali. Riri pasti menganggapku sangat malas, memang. “Gue coba dulu ya Fay,
nanti gue bantu kok” mukanya
serius, aku tersenyum lalu meletakkan kepalaku diatas meja. Wajahku menghadap
kearah.. Ichsan. Wajahnya sungguh sejuk, angin semilir berhembus di hatiku. Deg! Ichsan menatapku,
aku terpaku. Mulut mungilnya bergerak mengatakan “Kenapa?” tanpa suara. Aku tersenyum.
Dia pun tersenyum. Deg! Lagi-lagi
jantungku ini, rasanya ingin terbang bersamanya. Tanpa aku sadari, mataku tetap
memandangnya. Dia tersenyum. “Riri, kerjain yang bener ya! Ntar gue liat, hehe”
suaranya lantang, aku terkejut sampai bangun dari posisiku tadi. “Dasar,
kerjain dulu sana” kata Riri ketus namun bersahabat. Aku cukup lega. Aku
melirik ke Ichsan, dia tersenyum lalu malihat buku matematikanya lagi. Riri sudah memberikan lampu hijau pada Ichsan, semoga
ini berlanjut untuk seterusnya. Supaya aku dan Ichsan bisa lebih dekat.
***
*to be continue
No comments:
Post a Comment