Menjadikan kamu pacar aku? Mungkin aku bisa, namun waktunya
saja yang belum tepat. Terkadang aku lucu sendiri melihat perilaku kamu yang
seperti ketakutan. Mengejar dan terus saja mengejar aku, padahal kamu wanita
yang sejatinya layak di kejar.
***
Kuliah
lagi, kuliah lagi. Rasanya bosan sudah melingkupi isi otakku dan membuat
langkah kakiku gontai. “Lemes banget mas jalannya?” kata wanita berbaju biru di
depanku. “Bosen” jawabku acuh dan tak mau melihat wajahnya. “Semangat dong, kan
Vani jadi ikut lemes kalo liat Kevin lemes” katanya lagi dengan wajah dibuat
sedih. Ekspresi yang sangat lucu dan mengocok perut, sayangnya aku hanya mampu
memberi tatapan sinis dan membunuh. Wanita berbaju biru itu akhirnya pergi,
namun bukan berarti menyerah.
“Kevin,
udah dapet jurnal yang bagus belum? Vani dapet dua nih, pilih aja mau yang
mana?” tiba-tiba dia datang lagi dengan tumpukan kertas yang masih panas. “Gue
udah dapet kok Van” berbohong, aku berbohong hanya untuk membuatnya pergi dan
tidak mengganggu aku. “Tentang apa? Ini materinya pas banget sama hobby Kevin
loh, dibaca aja dulu” ia terus memaksa. Aku menatapnya dengan pandangan yang
tak mampu aku artikan. Kami diam lama dan hanya saling tatap. Wanita itu
mendesah kemudian menaruh tumpukan kertas panas itu di mejaku dan pergi. Aku
terpaku dan membisu.
Jahat.
Aku memang jahat kata kebanyakan orang. Namun mau bagaimana lagi, aku jahatpun
tetap saja wanita itu terus dan terus mengejar seolah laki-laki di dunia ini
hanya aku. Sebagai wanita seharusnya dia malu, seharusnya dia lebih banyak
mengahbiskan waktunya untuk memperbaiki diri agar nantinya akan ada lelaki yang
mengejarnya. Dunia ini memang sudah terbalik.
Seminggu
belakangan wanita itu berubah. Walau perubahannya tidak drastis namun rasanya
perubahan dia semakin terlihat. Terlebih lagi kini dia sudah mulai berteman
dengan lawan jenis, ini merupakan perubahan paling hebat yang aku lihat.
Sesekali aku seperti merindu, mengenang dan merintih sesal. Aku rindu senyumnya
dan semangatnya ketika menawariku bantuan. Aku rindu wajah kecewanya ketika aku
yang terus dan terus menolak bantuannya. Apakah ini rindu? Atau hanya sebersit
rasa sesal?
Bagaimana
endingnya? *cerpen gagal* :D
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment