Hujan sore
ini merupakan pertanda bahwa salah satu tempat di sudut hati kita terluka
dengan adanya perpisahan ini.
***
Panas terik
matahari di bilangan salemba menusuk kulit sampai perih aku rasa. Peluh menetes
satu dua sampai warna bajuku berubah pekat. Roda itu berputar mendekat,
akhirnya bis yang aku tunggu datang dan mengangkutku masuk ke dalamnya.
Aku menatap
jalanan dengan hati lega, panas yang tadi aku rasakan sudah berkurang terbasuh
angin dari AC bis patas ini. Mataku berkeliaran, melihat hiruk pikuk Jakarta
yang sangat sibuk tanpa memperdulikan peluh yang terus menerus menetes di dahi.
Lamunanku kembali pada memori sekitar setengah jam yang lalu, ketika kamu
akhirnya mengetahui sesuatu.
“Netti, kamu pulang hari ini?” sapa
Abi dengan berlarian kecil menghampiri aku. “Iya bi, kenapa? Mau bareng? haha”
candaku memancing-mancing. Ah, aku memang terlalu liar. Aku seperti menutup
mata, melupakan keberadaan tunanganku. “Boleh deh Net, tunggu aku sebentar ya”
angguknya. Aku mematung, memandangi punggung Abi yang menjauh. Entah bagaimana
aku harus mengatakan perasaan yang aku rasakan saat ini, seperti ada desiran
angin menggoda bibir untuk tersenyum. Bahagia.
Aku berjalan seperti menghitung
langkah, canggung justru hadir dari dalam diri aku. Payah sekali, aku mengutuk
adanya getaran yang merambat dari jantung ke seluruh tubuhku. “Net, kamu kapan
nikah? Umur udah banyak juga” Abi memulai perbincangan. Aku membisu beberapa
saat. “Ah kamu duluan aja bi” jawabku sebisanya. “Wah aku mah belum ada modal,
belum ada calon juga” ucapnya sambil menatap mataku dalam. Aku kembali
menghitung langkah, mungkin ini waktunya aku menyudahi rasa yang tidak layak
ini. “Aku sih calon ada tapi kan butuh modal juga” jawabku mantap namun hatiku
berdegup kencang. Aku beranikan diri melirik Abi, ia menunduk dan terlihat
seperti menghitung langkah. Keheningan menyelimuti kami berdua yang hanya mampu
menghitung langkah.
“Kamu langsung pulang bi?” tanyaku
takut-takut. “Eh, ngga Net aku mau ada urusan dulu” jawabnya canggung, seperti
orang yang baru tersadarkan bahwa kakinya masih menapak di bumi. “Cieee Abi mau
ngapel rumah cewek ya? haha” candaku mencoba mencairkan suasana. “Ah ngapel
siapa? Kamu kan udah punya calon. haha” Abi tertawa, namun terdengar getir. Aku
mencoba tertawa sebisanya “Bisa aja kamu bi, kalo jodoh mah ngga akan kemana.”
Lamunanku
tersadar ketika ada seorang lelaki paruh baya duduk di sampingku. Mataku
kembali berkeliling mengamati jalanan. Bis sudah sampai di bilangan Jakarta
Selatan, rintik hujan sedikit demi sedikit mulai turun. Mataku basah, wajahku
memerah. Aku memejamkan mata sejenak kemudian mengamati rintik hujan yang
menggelayut di sisi jendela. Ponselku berbunyi, aku melihat nama Abi disana.
Dengan sigap tanganku membuka pesan yang dikirimnya “Kalau jodoh ngga akan
kemana, semoga kamu adalah jodohku” Bendungan di kelopak mata tak mampu aku
tahan lagi, bulir air mengalir deras di pipi merahku. Aku menatap trotoar
jalanan, terlihat seorang wanita menari seperti robot di tengah hujan.
Anak-anak kecil mengejeknya “orang gila”. Aku dengan wanita itu mungkin
memiliki kesamaan, merasakan kesakitan batin.
***
Hujan sore ini merupakan pertanda bahwa salah
satu tempat di sudut hati kita terluka dengan adanya perpisahan ini. Rintik
hujan ini sedang mencoba membasuh pemilik hati yang sedang terluka.
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)