Duduk di dalam bis ini adalah hal yang langka, aku segera mungkin mencari posisi berdiri yang enak. Tanpa sengaja tas ransel besar-ku yang berisi buku dan netbook membentur bahu salah satu penumpang yang duduk. Sebenarnya ini hal biasa, namun penumpang ini yang tidak biasa. “Dek, tasnya dong” teriakan dari penumpang yang tersenggol tasku menggelegar. Hampir setengah penumpang bis menatap ke arahku. Aku menatap lamat-lamat wajah penumpang itu, asumsi pertama adalah pasti baru pertama kali naik bis kota seperti ini. “Maaf pak” kataku dengan muka menunduk, seolah menurunkan harga diriku satu centi. Bapak itu menatapku dengan tatapan super jutek.
Aku mendapatkan posisi berdiri dengan nyaman dan segera memperhatikan bapak jutek itu. Yah, sepertinya memang benar dia adalah penumpang baru bis ini. Jamnya terlihat berkilau, di tambah cincin batu giok yang seolah menyala. Ternyata yang berkilau juga bukan hanya jam dan cincinya, kumisnya yang lebat pun tampak berkilau. Sepertinya sang bapak habis mandi madu pikirku ke sana ke mari. “Mba, tasnya saya pangku aja boleh?” tiba-tiba ibu yang duduk di depanku mengejutkanku. Setengah ragu aku melihat ibu itu, rasa takut akan copet atau penjahat kelamin terus menghantuiku. “Kedempet ya bu? Maaf.” Kataku kemudian. “Iya engga apa-apa, daripada berat di pundak saya mending saya pangku” kata ibu itu kemudian. Aku mengangguk dan memberikan tas ranselku ke ibu di depanku sembali berkata “taru di bawah juga engga apa-apa bu” namun ibu itu hanya terus memangku tas ranselku. Lumayan juga, berdiri jadi tidak terasa berat.
Bis memasuki jalan tol bebas hambatan, sepanjang perjalanan aku teringat kembali pria yang tadi di halte. Aku belum sempat bertanya namanya, bahkan aku tidak menghiburnya ketika wajahnya mulai terlihat sendu. Bagaimana ya perasaan pria tadi? Apakah dia akan menyusul wanita berbaju batik itu? Ah, mengapa aku jadi memikirkan laki-laki itu?
Setengah perjalanan telah di tempuh, aku selalu melirik tas di pangkuan ibu dan sesekali melirik kalau ada laki-laki hidung belang yang akan melayangkan tangannya yang tidak masuk kursi sekolahan. “Mba, ibu duluan” kata ibu di depanku dan berdiri menuju pintu bis. Aku menduduki empat duduk ibu itu. Lega rasanya mendapat duduk di saat perjalanan masih setengah jalan. Dari belakang kursiku terdengar bapak-bapak yang serba berkilau bertanya pada penumpang di sebelahnya “Pak, kalau Fly over masih jauh?” katanya. “Wah masih jauh pak, nanti juga kondekturnya bilang” jawab penumpang di sebelahnya yang kebetulan berjenis kelamin sama. Sekitar lima menit, bapak serba berkilau itu bertanya lagi “disini ya pak?” penumpang di sebelahnya dengan sabar bilang “Belum pak, masih jauh.” Dan perckapan seperti itu terus terulang hampir lima kali sampai penumpang di sebelahnya gerah “Nanti pak turun bareng saya, saya juga turun di sana.” Dalam hati aku tertawa puas, ternyata bapak serba berkilau itu sangat tidak tahu daerah ini. Pantas sejak tadi dia cemas.
Setelah sampai di tujuan bapak serba berkilau sangat berisik sekali. Penumpang yang duduk di sampingnya dengan sabar menemani. Aku melirik setiap langkah dan raut wajah mereka berdua dari kaca jendela disampingku. Perlahan namun pasti sosok mereka menghilang seiring berlajunya bis yang aku tumpangi. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam namun jalanan Jakarta masih saja padat dan sibuk. Hasratku ingin segera sampai rumah dan memeluk mesra serta bonek-boneka kesayanganku.
(bersambung)
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
No comments:
Post a Comment