Juara 1
lomba cerpen dari fakultas ilmu pendidikan universitas negeri jakarta..
temanya “Mom, My Ispiring Woman”
Merdunya nyanyian kutilang pagi hari menghiburku yang sedang dilanda
kegelisahan hati. Mendapat ijazah SMA berarti waktunya aku meninggalkan
kota Jakarta. Kota tempat aku lahir dan hidup sampai sebesar ini. Kota
yang mengajarkanku banyak hal. Dengan keluarga kecil yang terdiri dari
Ibu, Ayah, aku dan Adam yang masih kelas 6 SD, kami menikmati setiap
detail kota ini. Namun bulan Juni ini adalah bulan terberat bagiku, aku
harus siap menjadi anak mandiri. Bermigrasi ke Jogjakarta demi
tercapainya cita-cita, menuju kampus terindah bagi keluargaku karena
disanalah ayah dan ibu bertemu. Di tempat yang belum pernah aku jajaki
ini, apakah aku bisa beradaptasi?
Berbekal tekat,
motivasi dari ayah dan wejangan dari ibu membuatku yakin akan mampu
melanjutkan sekolahku walau harus hidup sendiri. Dihari pertama kuliahku
ini aku menjadi anak yang sangat pendiam. Kampus merupakan dunia yang
penuh petualangan. Ketika aku melewati fakultas bahasa dan seni, tercium
aroma parfum mahal dan mata tersilaukan akan baju mereka yang sangat
berbeda dari mahasiswa lainnya. Lalu aku teringat akan pesan ibu, “kamu
tidak boleh membeda-bedakan orang dari aroma parfumnya”. Setelah
berjalan cukup lama, aku beristirahat di sebuah saung kecil milik
fakultas tehnik. Aku celingukan mengamati sekitarku, aku merasa salah
tempat. Setiap orang yang berlalu di depanku adalah pria, sama sekali
tidak ku temukan wanita disini. Ah, aku lebih baik melanjutkan
perjalananku karena ibu pernah berkata “jangan sembarangan memilih
tempat singgah”. Akhirnya aku memilih duduk di kantin kecil milik anak
tata boga. Aroma masakannya sangat menggoda. Aku mengisi perutku yang
sudah orasi minta di masukkan sesuatu.
Jalan-jalanku mengitari kampus ini cukup menyenangkan, sepertinya setiap
fakultas memiliki ciri khasnya masing-masing dan aku tidak akan
membeda-bedakan mereka untuk berteman nantinya. Seperti apa yang telah
dipesankan oleh ibu. Ah ibu, baru sebentar saja aku sudah kangen. Memang
benar, aku ini sangat manja padahal aku anak pertama. Aku tidak boleh
terlarut dalam perasaan ini, sekarang saatnya aku berjuang. Berjuang
dalam kampus terindah dan fakultas terkeren, fakultas matematika dan
pengetahuan alam.
***
Setelah seminggu aku menjadi mahasiswi, aku sudah memiliki teman yang
cukup dekat. Dengan kesamaan hobby yaitu membaca novel, kamipun sering
jalan ke toko buku bareng. Banyak yang bilang kami seperti saudara
kembar karena kemanapun selalu bersama. “Wah ada Cindy sama Shanti nih
saudara kembar yang beda ibu, haha” kata-kata Lely membuatku dan Shanti
tersenyum malu. Namun ucapan Lely mengingatkanku pada pesan ibu, “Pilih
teman yang tidak merugikanmu ya nak”. Aneh, mengapa ucapan ibu yang itu
yang melintas. Menurutku Shanti anak yang baik, walau aku belum banyak
tahu tentang dia. Ah mungkin aku hanya kangen dengan ibu.
Siang ini aku dan Shanti mengagendakan untuk pergi ke sebuah toko buku
yang cukup jauh dari kampus, menurut kabar yang beredar sedang ada bazar
buku disana. Sejak pagi tangan kami sudah berkeringat karena tidak
sabar memilih-milih buku dengan harga murah. Panas terik sama sekali
tidak menyurutkan niat kami untuk sampai ke tujuan. Setelah samapi di
tempat tujuan, kami berdua terpisah akibat terlalu asik memilih-milih
novel. Saat aku sudah mendapatkan beberapa novel yang aku suka segera ku
hampiri kasir yang terletak tidak jauh dari tempatku berdiri. Seolah
bumi ini tidak mengizinkan aku untuk memenuhi hobby-ku, aku tidak
menemukan dompet dalam tasku. Udara dingin menjalar ke seluruh tubuhku,
mataku terasa kunang-kunang dan aku merasa ingin terjatuh kelantai
sampai akhirnya Shanti datang menghampiriku. “Kenapa Cindy?” tanya
Shanti dan segera ku ceritakan nasib burukku sampai berlinang air mata.
Shanti hanya diam dan bingung harus bagaimana. Aku mengerti, Shanti juga
mahasiswi perantau sepertiku. Pasti segala pengeluaran akan sangat
diperhatikan, dengan berat hati aku mengurungkan niatku untuk membeli
segala novel yang sudah ku pilih. Dan aku meminjam uang Shanti hanya
untuk ongkos menuju kosan. Hatiku seperti hancur berkeping-keping, saat
di Jakarta pasti aku sudah memeluk ibu dan menangis di pangkuannya. Ibu,
aku ingin pulang!
` Sampai di kosan aku segera
menelpon ibu, aku menceritakan segala kejadian yang aku alami. Namun aku
tidak percaya dengan apa yang ibu katakan. Aku samapi meminta ibu
mnegulang setiap detail kata-katanya. “Mungkin Shanti bukan teman yang
baik” mana mungkin ibu bisa berpikiran seperti itu? Ibu belum pernah
bertemu Shanti namun sudah bisa bicara seperti itu. Ah, aku agak kecewa
dengan ibu.
Setelah mendapat transfer uang dari
ayah, aku segera mengganti uang Shanti yang aku pinjam. Aku sangat
terkejut saat aku melihat ada sesuatu yang aku kenal. Segiempat berwarna
coklat muda yang sudah hampir 5 tahun aku miliki ada didalam tas
Shanti. Apakah ini berarti apa yang ibu bilang itu benar? Aku segera
menarik tas milik Shanti. Melihat gerakanku yang cepat Shanti seperti
tidak ingin aku melihat kedalam isi tasnya. Sayangnya gerakkanku lebih
cepat dan aku mengambil dompet coklatku dari dalam tas Shanti. “Ini apa
Shan? Kamu ternyata pelakunya” kataku dengan suara sedikit serak. Aku
sangat tidak menyangka harus Shanti yang melakukan ini. Air mataku yang
telah ku bendung akhirnya tumpah. Shanti hanya mengambil tas miliknya
kembali dan meninggalkan aku yang berlinang air mata sendiri. Ternyata
ibu benar. Aku menyesal telah menganngap ibu yang bukan-bukan.
Seharusnya aku lebih hati-hati. Ah, aku ini memang payah dalam
menganalisis sifat manusia. Sepertinya aku belum siap untuk hidup
sendiri, aku butuh ibu.
Dengan air mata aku
menelpon ibu, aku menceritakan apa yang aku alami dan meminta maaf telah
salah menilai ibu. Ibu mendengarkan ceritaku dengan baik dan segera
menerima maafku. Ibu memang wanita terindah yang Allah telah ciptakan
untukku. Beruntungnya aku memiliki ibu yang selalu mau mendengarkan
ceritaku dan menasihatiku yang sangat keras kepala ini. Aku ingat saat
ibu berpesan “kamu tidak boleh membeda-bedakan orang dari aroma
parfumnya” namun ibu juga berpesan “Pilih teman yang tidak merugikanmu
ya nak” aku baru sadar bahwa pesan ini merupakan satu kesatuan. Ah ibu,
sepertinya aku ingin di Jakarta saja..
Mendengar kalau aku ingin kembali lagi ke Jakarta, ibu hanya memberikan pesan padaku
“jangan
pernah kamu mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba dan
jangan pernah kamu menyerah sayang, jika kamu masih merasa sanggup dan
yang penting kamu harus bisa menghargai semua cobaan yang datang untukmu
karena semua ini adalah tahap menuju kehidupan yang lebih baik.”
Mendengar
pesan ibu, aku mengurungkan niat untuk menyerah. Aku akan meneruskan
perjuangan dan petualangan ini. Ibu memang segalanya, pemberi motivasi
dan wejangan terhebat untukku. Terima kasih ibu.
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)