cerpen ini udah masuk blog kandang gagas loh :) KLIK DISINI !
Suasana sore itu selalu sepi bagiku dan ayahku. Kami hanya sibuk dengan fikiran kami masing-masing. Sebenarnya diusiaku yang baru 16 tahun ini aku tidak banyak fikiran, hanya saja aku selalu bertanya pada diriku sendiri tentang raut wajah ayah yang selalu murung saat sore tiba. Aku hanya mampu diam dan sesekali mengajaknya berbincang tentang sekolahku dan kegiatanku. Wajah ayah tetap tidak berubah seusai percakapan berakhir. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa arti dari raut wajah itu, aku kesal sendiri tidak dapat mendapat jawabannya.
Suasana sore itu selalu sepi bagiku dan ayahku. Kami hanya sibuk dengan fikiran kami masing-masing. Sebenarnya diusiaku yang baru 16 tahun ini aku tidak banyak fikiran, hanya saja aku selalu bertanya pada diriku sendiri tentang raut wajah ayah yang selalu murung saat sore tiba. Aku hanya mampu diam dan sesekali mengajaknya berbincang tentang sekolahku dan kegiatanku. Wajah ayah tetap tidak berubah seusai percakapan berakhir. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa arti dari raut wajah itu, aku kesal sendiri tidak dapat mendapat jawabannya.
Saat malam
datang aku mengajak ayah untuk makan malam. Maklum, kami hanya berdua sehingga
hampir semua kegiatan dirumah ini kami lakukan bersama. Ayah merupakan sosok
bapak dan juga ibu sekaligus bagiku. Aku tidak pernah tahu dimana dan bagaimana
keadaan ibuku. Aku hanya tahu kalau ayah dan ibuku bercerai sejak aku bayi dan
ayahku meminta agar aku diasuh olehnya. Maklumlah jika untuk seorang wanita aku
termasuk tomboy, bahkan hampir seluruh teman dekatku adalah pria. Ayahku sama
sekali tidak melarangku melakukan apapun, dia sangat percaya kepadaku. Kasih
sayang ayah ini yang membuatku sangat ingin terus menjaganya dan mengetahui
segala yang ia rasa. Tapi sayangnya aku hanya anak 16 tahun yang belum mengerti
apa-apa, bahkan rasanya jatuh cintapun aku tidak tahu.
“Lyla, kamu
tidak ingin bertemu ibumu?” kata-kata itu meluncur lembut dari mulut ayah.
Sorot matanya fokus pada taplak meja kami yang lusuh. Raut wajah yang belum
juga berubah sejak tadi sore. Ucapan itu seolah masuk kejantungku dan
membuatnya berhenti berdetak. Mulutku seakan terkunci oleh debaran hati yang
aku sendiri tidak mengerti apa maksud dari debaran-debaran itu. Ibu? Seperti
apakah dia? Apa dia seperti ayah yang sangat menyayangiku? Atau malah dia hanya
seorang perempuan yang tidak memiliki perasaan hingga meninggalkanku bersama
ayah? Aku sama sekali tidak mengerti. Aku hanya terdiam dan berusaha mengunyah
makanan yang sudah terlanjur masuk dalam mulutku. Suasana menjadi hening.
...
Pagi ini aku
libur sekolah, aku hanya bermalas-malasan didalam kamar. Suasana hatiku masih
tidak karuan. Aku bahkan tidak ingin bertemu ayah, biarlah sampai hati ini
tenang. Sesekali aku mencoba melihat kearah luar kamar, aku hanya melihat ayah
sedang nonton tv. Sebagai pensiunan, ayah menghabiskan banyak waktunya didalam
rumah walau terkadang keluar untuk berdagang alat-alat rumah tangga. Raut wajah
ayah masih sama sejak tadi sore, aku mulai merasa tidak tega dan keluar dari
kamarku.
“Ayah.. Apakah
ibu menyayangiku?” ucapku sampai hampir meneteskan air mata. Aku berusaha
membendungnya sedalam mungkin. Aku tidak akan menangis didepan ayah. Aku ini
wanita tegar. Ayah terkejut dan segera menengok ke arahku. Raut wajah yang sama
dan sorotan mata kasih sayang itu seolah memintaku untuk duduk disampingnya,
akupun duduk.
“Mengapa
bertanya seperti itu nak? Seorang ibu pasti menyayangi anaknya. Pasti!” ucap
ayah yakin. Mataku fokus menatap wajah ayah, mencari celah untuk kutemukan
jawaban dari pertanyaanku. Setelah mendengar
kata-kata ayah, hati ini mulai tenang. Senyum terasa mulai merekah dalam
wajahku.
...
“Ayah.. liburan
dirumah bete nih.. Jalan yukkk” ajakku. Kulihat ayah tersenyum manis padaku dan
bersiap menemaniku. Kamii berdua memang sepasang ayah dan anak yang sangat
kompak. Teman-temanku banyak yang iri, padahal keluargaku bukan keluarga yang
utuh. Ini semua karena kasih sayang ayah yang tidak pernah pudar.
Kami jalan-jalan
di pasar raya, melihat-lihat mungkin ada yang menarik untuk dibeli. Saat aku
tertarik dengan sebuah kaos lucu, aku tidak sadar bahwa ayahku tidak ada lagi
disampingku. Bola mataku mulai menelusuri ruangan ini sampai akhirnya ku lihat
ayah berjarak lumayan jauh dariku sedang bersama pria. Dari jauh kulihat pria
itu sangat tampan. Aku mulai merasakan sesak didalam dadaku. Degupan jantungku
mulai cepat, aku tidak mengerti perasaan apa ini.
Dari kejauhan
aku melihat ayah dan pria itu sangat akrab. Aku mulai merasa mataku tidak ingin
lepas memandang pria itu. Rasanya aku ingin segera berlari dan memeluknya, tapi
mengapa? Perasaan ini, apakah ini yang disebut jatuh cinta? Ah kurasa bukan.
Aku sibuk berbincang dengan diriku sendiri sampai akhirnya ayah dan pria itu
berjalan menuju kearahku. Nafasku mulai tercekat, aku bingung sendiri harus
berbuat apa. Kaos lucu yang kupegangpun hampir saja basah kuyup akibat keringat
ditanganku. Tuhan, mengapa aku seperti ini?
Ketika ayah dan
pria itu mulai dekat, aku hanya tersenyum. Berusaha menghadirkan senyuman yang
wajar, tapi ku yakin senyumanku terlihat sangat aneh. Saat ku beranikan diri
untuk menatap wajahnya, aku melihat raut wajah itu. Raut wajah yang selalu aku
pertanyakan. Raut wajah yang sama dengan milik ayah setiap sore datang. Mengapa
pria ini menatapku dengan raut wajah seperti ayah? Apakah dia merasakan apa
yang kurasakan sejak tadi? Semua pori dikulitku seperti mengeluarkan cairan,
aku merasa sangat gugup di tatap seperti itu. Semoga dia mengerti dengan yang
kurasakan.
Mencoba
menghilangkan kegugupanku, aku menoleh ke ayah. Muka ayah terlihat sangat
bahagia. Seperti seorang ayah yang ingin menikahkan anaknya, ah ini cuma
perasaanku saja. Semua ini membuatku sangat gugup dan aku tidak mengerti harus
berbuat apa.
“Mengapa kamu
menatapku seperti itu?” ucapku refleks. Aku tidak ingin seluruh bajuku basah
karena keringatku. Kini dingin mulai terasa di tangan dan pipiku, aku seperti
menggigil melihatnya tetap menatapku. Aku memfokuskan mataku pada kaos lucu
yang kupegang sedari tadi, perasaan ini membuatku tidak nyaman.
Dia memelukku.
Jantungku seperti berhenti, aroma parfum dikemejanya tercium jelas. Badannya
yang jauh lebih tinggi dan cukup berisi membuatku merasa kecil. Ku rasakan
detak jantungnya sangat kencang. Nafasnya seperti orang habis lari marathon.
Mengapa dia melakukan ini? Aku seperti patung, aku tidak menolak dan membantah.
Aku malah menikmati pelukkannya. Otakku berputar mengartikan semua ini, nafasku
mulai membuat badanku naik turun.
Tidak terasa air
mataku jatuh. Entah mengapa aku menangis kali ini. Mungkin ini pertama kalinya
aku menangis didepan ayahku. Pria itu segera melepaskan pelukkannya. Wajahnya
menatapku dan mengusap air mataku.
“Kenapa kamu
menangis?” ucapnya lembut. Suaranya merdu dan semakin membuatku ingin menangis.
Aku sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaannya. Aku menutup wajahku dan
semakin tersedu-sedu. Aku bingung dalam keadaan seperti ini, mengapa seolah
perasaan membuatku diam seribu bahasa. Ah aku memang belum siap jadi dewasa,
pikirku kalut.
“Lyla..” ucap pria itu lagi. Aku ingin lari
meninggalkan ini semua. Aku sangat bingung. Otakku belum siap menerima situasi
seperti ini. Ah, ayah.. bantulah aku.
Aku menatap
wajahnya, kali ini aku beranikan menatap jauh ke dalam matanya. Matanya mirip
mataku. Sorotan matanya sama seperti sorotan mata ayah saat menatapku. Dan aku mulai
menemukan jawaban dari pertanyaanku.
“Aku, Rizki.
Kakak kandungmu. Kamu sudah besar ya dik, jangan nagis lagi..”
Raut wajah itu.
Sebuah ekspresi kerinduan. Kerinduan yang sangat dalam.
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)
hehe....
ReplyDeletegu pikir laki" asing itu ibu'y (LOH?)
haha,,,
abis'y kan di awal dy kepingin ktmu ibu'y. eh ga tau'y kakak'y.
*siilittleprimate