Pandangan mataku
tertutup embun yang membasahi kaca mobil. Hujan lebat sore ini amat sangat
tidak terprediksi. Jalanan ibu kota tersendat habis-habisan. Hening dan
dinginnya, membuatku memutar memori 10 tahun lampau...
***
Aku dan seorang lelaki
berambut lurus duduk berhadapan tanpa suara. Hati kami sedang tidak baik. Air
mata hanya tinggal menunggu waktu untuk membasahi suasana malam ini. “Mama
tetep sama prinsipnya” satu kalimat pembuka dari mulut lelaki berambut lurus
dihadapanku. Sigap mataku melirik jemarinya yang sedikit gemetar. Aku tetap
diam. Banyak kata yang ingin sekali meluncur dari bibirku, namun segan.
“Nya.. maafin aku”
setengah jam waktu lelaki berambut lurus dihadapanku mengatakannya. Panggilan
yang sudah 4 tahun aku sandang sebagai panggilan sayang darinya, Nyonya. “Kamu
salah apa, Tuan?” Gemetar. Suaraku hampir tak terdengar olehnya. Beruntunglah
lelaki yang selama 4 tahun aku panggil Tuan memiliki pendengaran yang baik.
Amat sangat baik.
“Aku harus pergi. Ini
berat. Kamu tahu, bukan Cuma kamu yang sakit. Aku juga, Nya. Aku sakit.” Suaranya
parau. Aku lamat menatap wajahnya. Meastikan ia tidak meneteskan air mata
sedikitpun. Jika lelaki dihadapanku menangis, hancur sudah hidupku. Dia adalah
segalanya. Segalanya yang tidak akan pernah terganti.
Setengah jam berlalu
kami lewati hanya dengan sesekali saling pandang. “Tuan boleh pergi. Nyonya
ikhlas.” Ucapan dibibir yang sama sekali tidak sama dengan ucapan hati. Andai
saja aku boleh berteriak, aku ingin memintanya kembali. Aku ingin Tuan-ku tetap
disisiku, selamanya.
Lelaki berambut lurus
itu tetap diam. Ia menatapku tajam. Bola matanya berair. Sedang mataku sudah
basah. Isakanku memenuhi suasana malam ini. Isakan yang terhenti tanpa
sedikitpun disentuh oleh lelaki dihadapanku. Ini pertama kalinya ia membiarkan
aku menangis terisak, sendiri. “Terima kasih.” Punggungnya perlahan menjauh. Isakku
kembali. Namun ia tidak pernah kembali.
***
Suara klakson
membuyarkan lamunanku. Hujan mulai beranjak pergi. Aku membelokkan mobil ke
sebuah resto dibilangan Jakarta Timur. Aku datang sedikit terlambat namun
ternyata orang yang ingin ku temui belum juga datang. Aku duduk disalah satu
sudut ruangan, memesan minuman untuk menunggunya. Lima belas menit waktuku
menunggu sampai aku melihat sosok yang amat sangat aku rindukan. Lelaki
berambut lurus dengan model rambutnya yang lebih dewasa daripada terakhir kali
aku melihatnya. “Hai, sudah lama?” sapa lelaki itu sambil menyalamiku. Tanganku
gemetar. “Lumayan” jawabku singkat.
“Kamu naik apa tadi?”
suaranya terdengar tegas. “Bawa mobil, kamu baru pulang kerja?” aku mencoba
menimpali. “Siang udah balik sih, tadi anter istri dulu ke salon. Usaha
sampingan..” suaranya mengecil. Aku tak berani menatap wajahnya, meski aku amat
rindu. “Suami kamu apa kabar?” suaranya terdengar ragu-ragu. “Baik” jawabku
singkat. Dua jam kami habiskan dengan membicarakan banyak hal, meski aku hanya
mampu menatapnya sesekali.
“Eh, udah magrib. Kamu
ngga sembahyang?” pertanyaan lelaki rambut lurus itu mengejutkanku. “Hmm.. iya
nih mau magriban. Sekalian pulang aja kali ya, ngga enak nanti kamu kelamaan
nunggu aku sholat” aku berusaha bertoleransi. Lelaki berambut lurus dihadapanku
tersenyum, dengan senyum yang sama. “Ya udah yuk, kebetulan musholanya deket
parkiran. Aku anter kamu sekalian.” Kami berjalan beriringan. Ia menggandeng
tanganku. Rasa nyaman itu masih ada, namun keyakinan telah memisahkan kita.
END
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada
kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)