Wednesday, June 11, 2014

aku, kamu dan dia (3)




          Semenjak duet waktu itu, Youfri jadi sering menyapaku dan mengajakku jalan. Sebenarnya aku masih suka sebal kalau ingat kejadian awal kuliah, namun sifat lembutnya melunturkan semua rasa sebal itu. “Mir, gue denger lu jago ciptain lagu ya?” Kak Youfri memulai percakapan ketika kami sudah sampai di cafe. “Haha ngga juga ah kak, lu denger dari siapa?” aku mulai malu-malu. “Yaa siapa sih yang ngga tau lu? hehe” kak Youfri meledek. “iihh, ada juga lu kak yang terkenal, gue mah Cuma mahasiswa biasa. Ngga ada lebihnya, Cuma lebih di kapalan, mungkin” jawabku sambil manyun. “Haha nanti juga lu bakal terkenal, percaya sama gue” kak Youfri menggenggam tanganku, seolah mengalirkan energi semangat yang tinggi.

          “Mir, gue perhatiin lu kok jadi deket sih ama Kak Youfri?” Andien menatapku berbeda. “eh, hmm. Biasa aja sih, hehe” jawabku kaku. “Kak Youfri tuh udah cukup terkenal loh Mir, lu jangan banyak ngarep deh” Andien berkata tegas, dan ini bukan Andien yang biasanya. “Ndien? Gue tau kok kapasitas gue, lu ngga usah takut gue ngarep” jawabku sedikit emosi. “Bagus deh kalo gitu” Andien membuka bukunya dan fokus membaca. Hatiku seperti tertampar. Memang benar aku ini sudah berharap pada kak Youfri, tapi apa itu salah?

          Seharian kepalaku pusing. Sampai di rumah aku segera membanting tubuhku di sofa dan menonton tv. Sebenarnya tv hanya sebagai backsound, aku sama sekali tidak dapat menikmati tayangan yang ada di depan mataku. “Miraa.. Miraa” ada suara yang memanggilku dari luar. Aku segera keluar untuk melihat siapa yang datang. “Sasa? Lia? Huaaa kangeeen” aku segera memeluk mereka berdua.
Lia: “Gimana mir kabar lu? Sombong nih anak kampus negeri..”
Sasa: “iya nih, udah ngga mau gaul ama kitaa”
Mira: “Yaampun.. kaga segitunya keleees, ah kalian lebay, gue kangen tauu”
Lia: “Kangen tapi ngga ada kabar, huh”
Sasa: “eh, lu sekampus sama Ranu ya? Ciee barengan teruuss”
Mira: “Buset, lu masih aja ngeledekin gue ama Ranu, kita sohib keless”
Lia: “Sohib apaan yang bisa peluk-peluk? haha”
Mira: “ooh, lu mau peluk Ranu? Ntar gue bilangin deh, haha”
Sasa: “Eh, tapi emang lu ngga ada rasa ama Ranu? Doi kan ganteng, pinter juga”
Mira: “ Yah gue udah sohiban banget, kaga ada rasa. Buat lu aja deh”
Lia: “Eh tapi kalo gue liat Ranu, kayaknya dia ada rasa deh sama lu, Mir”
Mira: “kagak, gue jamin ngga deh. Malah gue lagi deket ama cowok nih”
Sasa: “Waaaah, siapaaaa?”
Mira: “Lu pada tau band Black Melody ngga?”
Lia: “Pernah denger sih”
Sasa: “Oh band indie ya? Tau gue, vocalisnya doang sih, namanya Youfri”
Mira: “Nah! Gue lagi deket sama kak Youfri”
Sasa dan Lia : “APAA?? KOK BISA??”
Suara Sasa dan Lia seperti petasan mercon, aku sampai menutup kuping rapat-rapat. Mereka segera mengguncang-guncang tubuhku untuk minta penjelasan. Tapi aku malah diam seribu bahasa.
Sasa: “Mir, lu lagi bahagia kok murung gitu sih?”
Mira: “Gue bingung Sa, Li. Kalian tau kan kalo deket ama orang tenar tuh gimana?”
Lia: “Iya sih, tapi kalo kalian emang cocok ya ngga ada salahnya”
Mira: “Gue takut terlalu berharap aja sih, mungkin Kak Youfri emang baik kesemua orang”
Sasa: “WAAAAAHH, ini sih kalian emang deket”
Sasa histeris sambil memegang handphoneku. Ternyata Sasa melihat foto aku berdua dengan kak Youfri. Aduh! Malu bangeet..

***

*to be continue

aku, kamu dan dia (2)



           Seminggu sudah aku resmi menjadi anak kuliahan. Setiap hari aku harus berinteraksi dengan jadwal kuliah yang aneh, ruangan yang selalu berpindah, dosen yang hobi telat dan dosen yang hobi marah. Ternyata masa sekolah memang masa yang paling menyenangkan, setidaknya tidak banyak tugas seperti kuliah. Padatnya kuliah tidak membuatku lupa dengan tragedi hari pertama masuk kelas. Lelaki sombong yang mengaku senior. “Mir, bengong aja sih?” Andien mengagetkanku, aku hanya tersenyum tipis. Entah, batinku seperti menunggu sosok lelaki sombong itu.

          “Kak Youfri kan ya?” Dea tiba-tiba menghentikan keributan dikelas. Sosok lelaki sombong itu akhirnya datang dan melempar senyum tipis ke Dea. “Ya ampun kak, kemaren aku nonton kakak manggung dipensi sekolah adek aku” Dea dengan mata berbinar mengagung-agungkan sosok lelaki sombong, siapa namanya tadi? Youfri?

          Selama jam Pak Gio aku tidak fokus. Aku seperti terhipnotis dengan kesombongan Youfri, kenapa sih cowok kayak dia bisa populer? Aku jadi ingin tahu kemampuan dia. “Okey, karena hari ini bapak agak kurang sehat, ada yang bisa hibur bapak?” Pak Gio tiba-tiba meminta kami untuk unjuk kebolehan, seisi kelas menyebutkan namaku. Selama seminggu ini memang aku sering curi-curi memainkan gitar milik Tio untuk melepas penat. Aku dengan senang sekaligus gugup maju kedepan kelas dengan membawa gitar kesayangan Tio yang selalu ia bawa kemana-mana. “Kak Youfri dong yang nyanyiiii” spontan Dea berteriak, mukanya memerah dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Degup jantungku menjadi kencang, ada apa ini? Pak Gio akhirnya meminta Youfri untuk maju ke depan kelas juga. Akhirnya kami mulai menghibur kelas dengan lagu sheila on 7 berjudul “kita”.

          Sepanjang lagu aku menatap kagum pada Youfri, suaranya sangat bening dan tidak menampakkan sosok sombongnya. Aku selain mengontrol petikan gitar juga harus mengontrol jantungku yang seolah ingin loncat keluar. Seisi kelas kompak bertepuk tangan ketika kami selesai. Pak Gio memutuskan untuk mensudahi jam kuliah, tanpa disadari Youfri memegang tanganku “Pantes main gitarnya bagus, tangan lu kapalan gitu” kemudian Youfri mengambil tasnya dan meninggalkan kelas. Astaga, tadi dia bilang apa? Ya Tuhan, bolehkah aku pingsan?

          ***

          Perutku tidak terasa lapar, padahal sejak pagi aku belum sarapan. Suasana dikelas tadi benar-benar membuatku kenyang seketika. Aku menikmati kicauan burung siang ini diarea saung kampus. “Mir, tumben nongkrong disini?” tiba-tiba saja Ranu duduk disampingku dan tidak lupa mengacak poniku. “Duduk gue, ngga nongkrong!” jawabku sebal sambil membenarkan poniku. “Haha lagi pms lu ya? Marah-marah mulu” aku hanya manyun dan enggan menjawab. Ranu mengeluarkan buku biru kesayangannya. Buku biru adalah buku kumpulan puisi karya Ranu. Puisi dia memang selalu bagus, terkadang aku iseng membuat puisinya menjadi sebuah lagu. Ranu tidak terlalu suka kalau puisinya dijadikan lagu, katanya “lu ngerusak rasa di puisi gue”.

          “Ran, lu kenal sama kak Youfri ngga?” tanyaku disela keasyikan Ranu menuliskan bait-bait puisinya. “Youfri yang vokalis band indie ya?” jawab Ranu santai. “Hah? Lu kenal? Band dia terkenal?” aku segera menyerang Ranu. Ranu segera menutup bukunya “Kaga kenal juga sih, doi kan kemaren abis manggung di Avicenna. Kanapa sih?” Ranu menatapku heran. Aku terdiam sejenak. Aku ini cinta musik, tapi aku malah kalah sama Ranu soal band indie. “Dia sekelas ama gue di matkul Pak Gio, tadi doi duet ama gue” jawabku lesu. Ranu menatapku beda.
“Lu duet? Kok bisa? Sepupu gue ngefans banget tuh ama dia”
“Semua orang aja deh ngefans ama dia, kayaknya gue doang yang ngga tau siapa dia”
“Haha, baru tenar kok band dia. Nama bandnya Black Melody”
“Kok Black melody?”
“Tiap manggung mereka pasti pake atribut serba hitam”
“Oh gitu, hmm”
“Kenapa lu? Suka?”
“Yang ada gue sebel ama dia, dia sombong banget!”
“Sebel apa senang betul? haha”
“udah deh lu ngga usah ngeledek, huh”
Kamipun memutuskan untuk makan siang bareng, berhubung perut sudah mulai terasa lapar. Memang, Ranu itu sohib paket lengkap.

***      

*to be continue

Monday, June 9, 2014

aku, kamu dan dia (1)



“Ranuuu, kita lulus juga akhirnya! Lepas juga akhirnya beban gue” erat sekali aku memeluk Ranu, sohib dari kelas X yang selalu mau diajak gila-gilaan. “Lepas? Lu mau masuk PTN ga? Masih harus belajar oii” lagi-lagi Ranu mengacak-acak poni-ku yang lucu. Hoby dia yang suka mengacak-acak poni sebenarnya sangat menyebalkan namun punya sahabat kayak Ranu itu keuntungannya banyak, jadi aku harus suka rela. 

          *** 

          Seminggu sudah aku tidak keluar rumah, setelah pengumuman kelulusan kegiatan aku hanya berlatih soal-soal untuk tes Perguruan Tinggi Negeri.         Hampir setiap sore teras rumahku dipenuhi teman-teman yang ingin belajar bersama. Sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing untuk tes, karena aku sudah yakin akan diterima dijurusan yang aku inginkan. “Jika aku yakin, aku pasti bisa!” ini adalah prinsip hidupku.
          “Mir, lu kok santai sih?” tanya Sasa yang daritadi sibuk menggambar perspektif. “hehe ngapain panik? Gue udah cinta musik, dan gue yakin bakal masuk dengan kemampuan yang gue punya” jawabku santai sambil memetik gitar. “Kok gue ga seyakin lu ya, Mir?” kini Lia menghembuskan nafas pajang. Aku hanya tersenyum dan memainkan lagu yang menggugah semangat teman-temanku. Kamipun bernyanyi bersama dan hanyut dalam setiap liriknya.

          *** 

          Ketika dalam hidup kita masih dipersilahkan untuk memilih, maka pilihlah sesuatu yang baik. Sama seperti yang aku rasakan, ketika aku dapat memilih untuk optimis atau pesimis? Aku segera memilih optimis, dan aku-pun membuktikannya dengan lolosnya aku dijurusan yang aku inginkan. Seni musik. Sayangnya kedua temanku gagal mendapatkan jurusan yang mereka inginkan, mungkin karena mereka terlalu pesimis. Kabar baiknya, Ranu masuk kampus yang sama denganku namun di jurusan bahasa Indonesia.
          “Astaga Miraaa, kapan ya gue bisa jauh gitu dari lu? Masa dikampus ketemunya ama lu lagi sih?” Ranu memasang muka malas saat berpapasan denganku di saung kampus. “Ah, bilang aja lu seneng ketemu gue. haha”  aku tertawa lepas dan mengajak Ranu ke kantin. Kami makan sambil bercerita panjang lebar tentang hari-hari suntuk setelah kelulusan. Setelah kelulusan kita tidak pernah bertemu karena Ranu harus membantu usaha percetakan ayahnya. “Tapi gue sedih nih Nu, si Sasa ama Lia engga masuk sini. Padahal kita selalu belajar bareng loh” aku teringat hari-hari bersama Sasa dan Lia diteras rumah. “Nanti juga mereka masuk kampus swasta, yang penting kan sama-sama kuliah” Ranu lagi-lagi mengacak poni-ku, huh!

          *** 

        Aku masuk kelas dengan perasaan asing, lebih dari separuh kelas berisi cowok-cowok rambut gondrong. “Hai” sapa seorang wanita berambut ikal. “Eh, hai. Kelas sini juga?” tanyaku basa-basi.
“Iya, nama gue Andien, lu?”
“Mira”
Suara sepatu dosen membuat kelas menjadi tenang. Dosen itu memperkenalkan diri kemudian menjelaskan apa saja yang harus kita kuasai jika ingin lanjut kuliah di seni musik. Aku sangat semangat mendengarkan setiap kata dari dosen itu, Pak Gio.
“Mir, lu suka musik apa?” Andien memulai percakapan ketika Pak Gio meninggalkan ruang kelas. “Pop sih, tapi gue suka semua musik. Entahlah, musik udah mendarah daging gitu di gue, hehe” jawabku asal. Andien tertawa renyah. Kami berkenalan dengan seluruh isi kelas, namun ada satu laki-laki yang hanya diam di kursinya. “Misi, kenapa diem aja?” sapaku. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, meledek. Ia mengambil jaket jeansnya, merapikan barang-barangnya kedalam tas dan berkata “gue senior. Taun kemaren gue engga ambil matkul ini, teori banget” kemudian lelaki itu pergi meninggalkan kelas. “Gila, songong banget tuh cowok!” gerutuku. “Siapa sih dia, Mir?” tanya Andien dan aku hanya mengangkat bahu, sebal.

          *** 

*to be continue

Wednesday, May 7, 2014

Masa Sekolah (ending)



Jam istirahat dikelasku sudah heboh. Terjadi aksi saling lempar dan lari-lari semua cowok dikelas. Aku jadi pusing melihat semua ini. “Lagi ada ngapain sih?” teriakku. Yudha tertawa terbahak-bahak. Kali ini barang yang dijadikan bahan saling lempar berada ditangannya. “Wah Fay, lu mau tau engga tunangannya Ichsan? Nih ambil dompetnya” kata Yudha sambil melempar barang yang ada ditangannya ke arahku. Tanganku dingin saat menerima dompet itu. Apakah benar ini dompet Ichsan? Dan didalamnya ada foto tunangannya. Aku berusaha berekspresi meledek kearah Ichsan. “Ohh, gue buka yaaa” aku segera membuka dompetnya dan melihat ada foto wanita berbaju biru disana. Aku melihatnya sekilas dan menghadapkan ke arah yang lainnya. “ohh Ichsan sukanya cewek rambut panjang coyyy” teriakku yang langsung ditertawakan teman-teman cowok yang lain. Aku segera melemparnya lagi ke Didi. “Tuh liat temen lu seleranya bagus, masa lu kalah Di” kataku meledek sambil melirik ke arah Ichsan. Ia menatapku dengan pandangan yang berbeda. Tidak ada senyum ataupun tawa. Dia hanya diam seperti patung. Aksi saling lempar terus berlanjut dan aku pergi meninggalkan kelas.

Deri, Cuma dia yang ingin aku temui sekarang. Aku berlari menuju kelasnya. Sampai dikelasnya Deri sedang asik ngobrol dengan Shinta. Aku ingin mengurungkan niat namun Deri terlanjur melihatku. Ia segera menghampiriku yang masih sesak. “Lu kenapa Fay? Duduk sini” kata Deri sambil menarik kursi. “Sorry Der, gue jadi gangguin PDKT lu nih” kataku lemas. “Udah santai, gue udah cerita ke Shinta kalo lu sahabat gue kok. Gue juga bilang lu lagi jatuh cinta, tapi tenang.. gue ga bilang namanya kok” kata-kata Deri meredakan degup jantungku. “Der, Ichsan udah punya tunangan..” kataku hampir saja mengeluarkan air mata. “Hah? Kok lu udah tau?” jawab Deri shock. “maksud lu? Lu udah tau lebih dulu dari gue? Kok lu engga bilang sih Der? Lu jahat banget tau!” aku berdiri bermaksud untuk meninggalkan Deri. Namun Deri menarik tanganku. “Duduk dulu bisa engga? Lucu banget gue harus ngejar-ngejar lu yang lagi nagis begini. Gue bisa jelasin Fay” aku hanya menurut dan Deri mulai menjelaskan masalah yang ada.

“Sebenernya gue kemaren mau kasih tau lu tentang masalah tunangan itu. Tapi gue fikir lu lagi sakit, pas gue telfon juga lu bilang masih sakit kan? Ya udah gue milih buat nunggu. Tapi gue engga nyangka lu bisa tau secepat ini. Gue juga engga tega Fay ngeliat lu kayak gini. Lu itu udah gue anggep sebagai adik gue. Jahat banget kalo gue biarin lu jatuh cinta sama orang yang salah. Kan dari kemaren juga gue udah bilang Fay, jangan banyak berharap.” Deri berbicara panjang lebar. Aku hanya menunduk dan menghapus perlahan air mataku. Deri diam akupun diam. Hatiku hancur mengetahui ini semua. Mengapa harus Ichsan, orang yang sejak awal membuatku berbunga namun hanya dalam hitungan detik dia mampu membuatku menangis tersedu seperti ini.

“Gue tau Fay ini berat. Tapi seperti yang gue bilang. Kalo lu mau suka sama orang, lu mesti tau seluk beluknya dulu. Jangan asal kalo suka. Sayang banget air mata lu itu.” Gue hanya mengangguk. Makasi banget Deri, aku engga tau harus apa kalo engga ada Deri. Aku tak mampu berbicara, bahkan bilang makasi untuk Deripun aku tak sanggup. Aku meredakan isakkanku, merapikan raut wajahku sampai tidak terlihat habis menangis. Baru aku bergegas ke kelas.

Dikelas aku hanya duduk dan menulis lirik-lirik lagu tidak jelas. Riri bertanya aku kenapa, namun aku hanya menggeleng. Kali ini jam Kimia, karena kacamata Riri tertinggal ia pindah ke kursi depan agar tulisan di papan tulis terlihat. Aku hanya duduk sendiri namun tanpa diundang Didi duduk dikursi Riri. Aku hanya melirik sebentar lalu melanjutkan menulis yang tidak jelas.

“Itu cewek jauh kok Fay, engga di Jakarta” kata Didi. Aku hanya diam. Sama sekali aku tidak ingin menjawab pernyataan dari Didi. Didi menatapku tajam. Aku hanya melirik dan memberi senyum tipis. “Lu abis nangis Fay?” tanya Didi cukup keras. Pak Dodi segera menegur Didi. “Didi, jangan banyak bicara. Catat yang benar” omelan Pak Dodi hanya disambut senyuman manis Didi. “Dasar anak bandel” pikirku. Didi merasa di cuekin olehku dan segera pindah lagi ketempat duduknya semula. Setelah Didi ada lagi saja yang duduk disampingku, aku hanya menoleh sekilas namun aku shock. “Lu kenapa Fay?” tanya Ichsan padaku. Iya, Ichsan yang kini duduk disampingku. Aku hanya menggeleng. “Gimana foto Dewi? Cantik engga?” tanyanya. Hati aku seperti dutusuk duri-duri kaktus. Sakit sekali. Aku hampir saja menangis namun ku mampu membendungnya. “Cantik” kataku singkat. Ichsan kemudian diam. “Kita Cuma pacaran Fay, bukan tunangan dan ...” belum selesai Ichsan memberi penjelasan aku segera memotongnya “bukan urusan gue san” kataku dan segera beranjak dari dudukku. “Pak,saya izin ke kamar mandi” kataku yang hanya dijawab anggukan kepala Pak Dodi. Entah apa yang akan aku lakukan di kamar mandi. Aku hanyaingin pergi dari situasi ini. Apa sih yang ada dalam fikiran Ichsan? Dia sangat menyiksaku dengan memperlakukanku seperti boneka.

***

Saat malam aku hanya duduk diteras depan dengan menikmati susu dan brownise ciptaan mama. Mataku menatap tinggi ke atas langit. Mencari celah jawaban akan kegundahan hatiku.
“Fay, lagi apa” SMS dari Ichsan lagi. Aku tak mau membalasnya. Namun jari-jariku bergerak sendiri. Entah siapa yang mengendalikannya.
“Lagi makan kue” jawabku singkat                  
“Asik dong. Hehe. Fay, gue mau minta maaf”
“buat?”
“entahlah, gue ngerasa salah aja sama lu.”
“Oh. Iya. Lu SMSan sama pacar lu aja lah. Ntar gue dikira ngerebut pacar orang lagi”
“Dia jauh Fay, dan engga bisa di SMS”
“Maksud?”
“Dia di pesantren. Engga boleh bawa HP”
Aku tidak membalas lagi. Benar saja kata Deri. Dia hanya menganggapku pelampiasan. Karena pacar tidak bisa di SMS bukan berarti aku bisa dijadikan perempuan penghibur. Cowok zaman sekarang kadang bertingkah seenaknya saja. Sudahlah aku malas.
Aku masuk ke dalam rumah, mama menatapku seperti patung namun aku tetap berlalu menuju kamar. Salah jatuh cinta memang membuat orang menjadi tidak sehat.

***

Seminggu setelah kejadian itu, aku seperti bermusuhan dengan Ichsan. Aku merasa terhina dengan perlakuannya. Hampir seisi kelas mengetahui tragedi ini, karena aku yang cukup dikenal jadi jika ada gosip sedikit pasti cepat menyebar. Biasanya Didi yang rutin mengajakku ngobrol, aku menanggapi dengan baik jika obrolan kita banyak tentang musik atau gosip kelas IPA. Namun ketika sudah membahas Ichsan, aku segera mengalihkan ke topik yang lain. Kali ini Didi meminta tukeran duduk dengan Riri, Riri hanya menurut daripada kena di kerjai oleh Didi dan kawan-kawan.
“Fay, lu tau engga gosip terbaru?”
“Apaan?”
“Ada yang baru putus loh, wah lu pasti seneng deh dapet berita ini” aku hanya mendengarkan dengan mata berbinar.
“Iya Fay, ini orang pacaran udah lama. Tapi akhirnya putus juga. Sebenernya sih ni orang juga lagi deket sama orang. Tapi orangnya kayak jaga jarak gitu. Sekarang udah putus berarti mereka bisa deket lagi dong Fay, hehe”
“Iya di, bener banget. Wah bisa dapet PeJe nih. Asik. Eh, siapa si?” tanyaku
“Tuh si Ichsan” jawaban Didi membuatku diam. Sial aku dikerjai, tapi biarlah. Berita apapun dari Ichsan aku tidak mau peduli lagi. Tak sengaja aku menengok ke arah Ichsan, dia sedang menatapku lama. Aku terpaku. Wajahnya yang sejuk menentramkanku. Segera ku tepis tatapan itu dan fokus belajar lagi namun gagal. Didi terlanjur membuatku gundah. “Lu masih ada kesempatan Fay, engga ada salahnya kok buat dicoba” kata Didi sambil berlalu. Riri kembali duduk disampingku. Sepertinya Riri tidak ingin banyak tahu tentang masalahku, aku memang cukup pendiam.

Pelajaran fisika yang seharusnya berjalan tidak dapat terlaksana, alhasil kami hanya bercanda-canda tak jelas. Aku lebih memilih diam dikursiku sambil main game di Hp-ku. Riri menghampiri Ika dan asik ngobrol, tak sadar dari tadi ada yang sedang duduk disampingku.
“Lagi seru ya main gamenya?” tanya Ichsan basa-basi. Aku hanya diam. Permainanku jadi payah dan langsung game over.
“Fay, gue mau minta maaf. Lu pasti udah denger dari Didi kan kalo gue udah putus? Gue tau kalo gue jahat banget sama lu waktu itu, lu pasti ngerasa Cuma sebagai pelampiasan. Tapi engga gitu faktanya Fay, gue emang ngerasa deket sama lu. Buat Dewi, dia itu Cuma status aja sama gue. Engga lebih.” Ichsan berusaha menjelaskan panjang lebar. Aku hanya diam. Cuma status tapi fotonya dibawa kemana-mana? Aku bukan orang bodoh yang bisa terbuai dimakan cinta. Ichsan terus menjelaskan kepadaku bagaimana hubungannya dengan Dewi. Sampai akhirnya jam pulang berbunyi. Aku masih diberi keterangan yang sangat tidak aku butuhkan dari Ichsan. “Lu mau ngapain sih san? Mau bikin sahabat gue nagis lagi” bentak Deri tiba-tiba. Aku hanya melihat kejadian ini dengan terpaku. Mereka berdua hampir berkelahi hebat namun Didi berhasil membuat mereka tidak melanjutkan aksinya. Aku lari pulang tanpa menoleh lagi. Aku hampir gila dengan masalah ini. Namun hatiku menjadi lega dengan penjelasan Ichsan. Berarti dia masih peduli padaku, hatiku mulai sedikit tertarik kembali.

***

Entah bagaimana, setelah penjelasan panjang lebar dari Ichsan. Aku jadi kembali lagi memujanya, bahkan rasa sayang yang ada semakin besar. Aku setiap hari SMS-an. Kadang menemaninya bermain futsal, dan jalan bareng. Semua ini sebenarnya tidak disetujui oleh Deri. Tapi aku tak mampu memendam rasa ini, seperti apapun sakit hatinya aku dulu tak mampu membuatku membenci Ichsan. Kini Deri juga sudah resmi pacaran sama Shinta, sudah jarang aku curhat karena menjaga perasaan Shinta juga.
Mama sudah kenal dengan Ichsan, dan mama juga suka. Katanya Ichsan anak yang manis. Wah senangnya. Namun kita belum punya hubungan yang resmi, walau aku dan Ichsan sama-sama saling sayang. Kadang banyak yang menanyakan status aku dengan Ichsan, aku hanya menjawabnya dengan senyum.

***



END

nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)