Wednesday, June 11, 2014

aku, kamu dan dia (3)




          Semenjak duet waktu itu, Youfri jadi sering menyapaku dan mengajakku jalan. Sebenarnya aku masih suka sebal kalau ingat kejadian awal kuliah, namun sifat lembutnya melunturkan semua rasa sebal itu. “Mir, gue denger lu jago ciptain lagu ya?” Kak Youfri memulai percakapan ketika kami sudah sampai di cafe. “Haha ngga juga ah kak, lu denger dari siapa?” aku mulai malu-malu. “Yaa siapa sih yang ngga tau lu? hehe” kak Youfri meledek. “iihh, ada juga lu kak yang terkenal, gue mah Cuma mahasiswa biasa. Ngga ada lebihnya, Cuma lebih di kapalan, mungkin” jawabku sambil manyun. “Haha nanti juga lu bakal terkenal, percaya sama gue” kak Youfri menggenggam tanganku, seolah mengalirkan energi semangat yang tinggi.

          “Mir, gue perhatiin lu kok jadi deket sih ama Kak Youfri?” Andien menatapku berbeda. “eh, hmm. Biasa aja sih, hehe” jawabku kaku. “Kak Youfri tuh udah cukup terkenal loh Mir, lu jangan banyak ngarep deh” Andien berkata tegas, dan ini bukan Andien yang biasanya. “Ndien? Gue tau kok kapasitas gue, lu ngga usah takut gue ngarep” jawabku sedikit emosi. “Bagus deh kalo gitu” Andien membuka bukunya dan fokus membaca. Hatiku seperti tertampar. Memang benar aku ini sudah berharap pada kak Youfri, tapi apa itu salah?

          Seharian kepalaku pusing. Sampai di rumah aku segera membanting tubuhku di sofa dan menonton tv. Sebenarnya tv hanya sebagai backsound, aku sama sekali tidak dapat menikmati tayangan yang ada di depan mataku. “Miraa.. Miraa” ada suara yang memanggilku dari luar. Aku segera keluar untuk melihat siapa yang datang. “Sasa? Lia? Huaaa kangeeen” aku segera memeluk mereka berdua.
Lia: “Gimana mir kabar lu? Sombong nih anak kampus negeri..”
Sasa: “iya nih, udah ngga mau gaul ama kitaa”
Mira: “Yaampun.. kaga segitunya keleees, ah kalian lebay, gue kangen tauu”
Lia: “Kangen tapi ngga ada kabar, huh”
Sasa: “eh, lu sekampus sama Ranu ya? Ciee barengan teruuss”
Mira: “Buset, lu masih aja ngeledekin gue ama Ranu, kita sohib keless”
Lia: “Sohib apaan yang bisa peluk-peluk? haha”
Mira: “ooh, lu mau peluk Ranu? Ntar gue bilangin deh, haha”
Sasa: “Eh, tapi emang lu ngga ada rasa ama Ranu? Doi kan ganteng, pinter juga”
Mira: “ Yah gue udah sohiban banget, kaga ada rasa. Buat lu aja deh”
Lia: “Eh tapi kalo gue liat Ranu, kayaknya dia ada rasa deh sama lu, Mir”
Mira: “kagak, gue jamin ngga deh. Malah gue lagi deket ama cowok nih”
Sasa: “Waaaah, siapaaaa?”
Mira: “Lu pada tau band Black Melody ngga?”
Lia: “Pernah denger sih”
Sasa: “Oh band indie ya? Tau gue, vocalisnya doang sih, namanya Youfri”
Mira: “Nah! Gue lagi deket sama kak Youfri”
Sasa dan Lia : “APAA?? KOK BISA??”
Suara Sasa dan Lia seperti petasan mercon, aku sampai menutup kuping rapat-rapat. Mereka segera mengguncang-guncang tubuhku untuk minta penjelasan. Tapi aku malah diam seribu bahasa.
Sasa: “Mir, lu lagi bahagia kok murung gitu sih?”
Mira: “Gue bingung Sa, Li. Kalian tau kan kalo deket ama orang tenar tuh gimana?”
Lia: “Iya sih, tapi kalo kalian emang cocok ya ngga ada salahnya”
Mira: “Gue takut terlalu berharap aja sih, mungkin Kak Youfri emang baik kesemua orang”
Sasa: “WAAAAAHH, ini sih kalian emang deket”
Sasa histeris sambil memegang handphoneku. Ternyata Sasa melihat foto aku berdua dengan kak Youfri. Aduh! Malu bangeet..

***

*to be continue

aku, kamu dan dia (2)



           Seminggu sudah aku resmi menjadi anak kuliahan. Setiap hari aku harus berinteraksi dengan jadwal kuliah yang aneh, ruangan yang selalu berpindah, dosen yang hobi telat dan dosen yang hobi marah. Ternyata masa sekolah memang masa yang paling menyenangkan, setidaknya tidak banyak tugas seperti kuliah. Padatnya kuliah tidak membuatku lupa dengan tragedi hari pertama masuk kelas. Lelaki sombong yang mengaku senior. “Mir, bengong aja sih?” Andien mengagetkanku, aku hanya tersenyum tipis. Entah, batinku seperti menunggu sosok lelaki sombong itu.

          “Kak Youfri kan ya?” Dea tiba-tiba menghentikan keributan dikelas. Sosok lelaki sombong itu akhirnya datang dan melempar senyum tipis ke Dea. “Ya ampun kak, kemaren aku nonton kakak manggung dipensi sekolah adek aku” Dea dengan mata berbinar mengagung-agungkan sosok lelaki sombong, siapa namanya tadi? Youfri?

          Selama jam Pak Gio aku tidak fokus. Aku seperti terhipnotis dengan kesombongan Youfri, kenapa sih cowok kayak dia bisa populer? Aku jadi ingin tahu kemampuan dia. “Okey, karena hari ini bapak agak kurang sehat, ada yang bisa hibur bapak?” Pak Gio tiba-tiba meminta kami untuk unjuk kebolehan, seisi kelas menyebutkan namaku. Selama seminggu ini memang aku sering curi-curi memainkan gitar milik Tio untuk melepas penat. Aku dengan senang sekaligus gugup maju kedepan kelas dengan membawa gitar kesayangan Tio yang selalu ia bawa kemana-mana. “Kak Youfri dong yang nyanyiiii” spontan Dea berteriak, mukanya memerah dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Degup jantungku menjadi kencang, ada apa ini? Pak Gio akhirnya meminta Youfri untuk maju ke depan kelas juga. Akhirnya kami mulai menghibur kelas dengan lagu sheila on 7 berjudul “kita”.

          Sepanjang lagu aku menatap kagum pada Youfri, suaranya sangat bening dan tidak menampakkan sosok sombongnya. Aku selain mengontrol petikan gitar juga harus mengontrol jantungku yang seolah ingin loncat keluar. Seisi kelas kompak bertepuk tangan ketika kami selesai. Pak Gio memutuskan untuk mensudahi jam kuliah, tanpa disadari Youfri memegang tanganku “Pantes main gitarnya bagus, tangan lu kapalan gitu” kemudian Youfri mengambil tasnya dan meninggalkan kelas. Astaga, tadi dia bilang apa? Ya Tuhan, bolehkah aku pingsan?

          ***

          Perutku tidak terasa lapar, padahal sejak pagi aku belum sarapan. Suasana dikelas tadi benar-benar membuatku kenyang seketika. Aku menikmati kicauan burung siang ini diarea saung kampus. “Mir, tumben nongkrong disini?” tiba-tiba saja Ranu duduk disampingku dan tidak lupa mengacak poniku. “Duduk gue, ngga nongkrong!” jawabku sebal sambil membenarkan poniku. “Haha lagi pms lu ya? Marah-marah mulu” aku hanya manyun dan enggan menjawab. Ranu mengeluarkan buku biru kesayangannya. Buku biru adalah buku kumpulan puisi karya Ranu. Puisi dia memang selalu bagus, terkadang aku iseng membuat puisinya menjadi sebuah lagu. Ranu tidak terlalu suka kalau puisinya dijadikan lagu, katanya “lu ngerusak rasa di puisi gue”.

          “Ran, lu kenal sama kak Youfri ngga?” tanyaku disela keasyikan Ranu menuliskan bait-bait puisinya. “Youfri yang vokalis band indie ya?” jawab Ranu santai. “Hah? Lu kenal? Band dia terkenal?” aku segera menyerang Ranu. Ranu segera menutup bukunya “Kaga kenal juga sih, doi kan kemaren abis manggung di Avicenna. Kanapa sih?” Ranu menatapku heran. Aku terdiam sejenak. Aku ini cinta musik, tapi aku malah kalah sama Ranu soal band indie. “Dia sekelas ama gue di matkul Pak Gio, tadi doi duet ama gue” jawabku lesu. Ranu menatapku beda.
“Lu duet? Kok bisa? Sepupu gue ngefans banget tuh ama dia”
“Semua orang aja deh ngefans ama dia, kayaknya gue doang yang ngga tau siapa dia”
“Haha, baru tenar kok band dia. Nama bandnya Black Melody”
“Kok Black melody?”
“Tiap manggung mereka pasti pake atribut serba hitam”
“Oh gitu, hmm”
“Kenapa lu? Suka?”
“Yang ada gue sebel ama dia, dia sombong banget!”
“Sebel apa senang betul? haha”
“udah deh lu ngga usah ngeledek, huh”
Kamipun memutuskan untuk makan siang bareng, berhubung perut sudah mulai terasa lapar. Memang, Ranu itu sohib paket lengkap.

***      

*to be continue

Monday, June 9, 2014

aku, kamu dan dia (1)



“Ranuuu, kita lulus juga akhirnya! Lepas juga akhirnya beban gue” erat sekali aku memeluk Ranu, sohib dari kelas X yang selalu mau diajak gila-gilaan. “Lepas? Lu mau masuk PTN ga? Masih harus belajar oii” lagi-lagi Ranu mengacak-acak poni-ku yang lucu. Hoby dia yang suka mengacak-acak poni sebenarnya sangat menyebalkan namun punya sahabat kayak Ranu itu keuntungannya banyak, jadi aku harus suka rela. 

          *** 

          Seminggu sudah aku tidak keluar rumah, setelah pengumuman kelulusan kegiatan aku hanya berlatih soal-soal untuk tes Perguruan Tinggi Negeri.         Hampir setiap sore teras rumahku dipenuhi teman-teman yang ingin belajar bersama. Sebenarnya aku tidak terlalu ambil pusing untuk tes, karena aku sudah yakin akan diterima dijurusan yang aku inginkan. “Jika aku yakin, aku pasti bisa!” ini adalah prinsip hidupku.
          “Mir, lu kok santai sih?” tanya Sasa yang daritadi sibuk menggambar perspektif. “hehe ngapain panik? Gue udah cinta musik, dan gue yakin bakal masuk dengan kemampuan yang gue punya” jawabku santai sambil memetik gitar. “Kok gue ga seyakin lu ya, Mir?” kini Lia menghembuskan nafas pajang. Aku hanya tersenyum dan memainkan lagu yang menggugah semangat teman-temanku. Kamipun bernyanyi bersama dan hanyut dalam setiap liriknya.

          *** 

          Ketika dalam hidup kita masih dipersilahkan untuk memilih, maka pilihlah sesuatu yang baik. Sama seperti yang aku rasakan, ketika aku dapat memilih untuk optimis atau pesimis? Aku segera memilih optimis, dan aku-pun membuktikannya dengan lolosnya aku dijurusan yang aku inginkan. Seni musik. Sayangnya kedua temanku gagal mendapatkan jurusan yang mereka inginkan, mungkin karena mereka terlalu pesimis. Kabar baiknya, Ranu masuk kampus yang sama denganku namun di jurusan bahasa Indonesia.
          “Astaga Miraaa, kapan ya gue bisa jauh gitu dari lu? Masa dikampus ketemunya ama lu lagi sih?” Ranu memasang muka malas saat berpapasan denganku di saung kampus. “Ah, bilang aja lu seneng ketemu gue. haha”  aku tertawa lepas dan mengajak Ranu ke kantin. Kami makan sambil bercerita panjang lebar tentang hari-hari suntuk setelah kelulusan. Setelah kelulusan kita tidak pernah bertemu karena Ranu harus membantu usaha percetakan ayahnya. “Tapi gue sedih nih Nu, si Sasa ama Lia engga masuk sini. Padahal kita selalu belajar bareng loh” aku teringat hari-hari bersama Sasa dan Lia diteras rumah. “Nanti juga mereka masuk kampus swasta, yang penting kan sama-sama kuliah” Ranu lagi-lagi mengacak poni-ku, huh!

          *** 

        Aku masuk kelas dengan perasaan asing, lebih dari separuh kelas berisi cowok-cowok rambut gondrong. “Hai” sapa seorang wanita berambut ikal. “Eh, hai. Kelas sini juga?” tanyaku basa-basi.
“Iya, nama gue Andien, lu?”
“Mira”
Suara sepatu dosen membuat kelas menjadi tenang. Dosen itu memperkenalkan diri kemudian menjelaskan apa saja yang harus kita kuasai jika ingin lanjut kuliah di seni musik. Aku sangat semangat mendengarkan setiap kata dari dosen itu, Pak Gio.
“Mir, lu suka musik apa?” Andien memulai percakapan ketika Pak Gio meninggalkan ruang kelas. “Pop sih, tapi gue suka semua musik. Entahlah, musik udah mendarah daging gitu di gue, hehe” jawabku asal. Andien tertawa renyah. Kami berkenalan dengan seluruh isi kelas, namun ada satu laki-laki yang hanya diam di kursinya. “Misi, kenapa diem aja?” sapaku. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, meledek. Ia mengambil jaket jeansnya, merapikan barang-barangnya kedalam tas dan berkata “gue senior. Taun kemaren gue engga ambil matkul ini, teori banget” kemudian lelaki itu pergi meninggalkan kelas. “Gila, songong banget tuh cowok!” gerutuku. “Siapa sih dia, Mir?” tanya Andien dan aku hanya mengangkat bahu, sebal.

          *** 

*to be continue