Thursday, February 27, 2014

Masa Sekolah (3)



Pulang sekolah aku langsung mencari angkutan umum untuk pulang. Jam kerja papa lebih lama dari jam sekolah aku, jadi aku selalu pulang sendiri. Duduk paling pojok adalah posisi paling aku suka. Disini aku dapat melihat banyak teman dan tersenyum bebas seperti artis. Sekarang di posisi ini aku mencari sosok cowok, cowok tinggi yang memiliki senyum yang tak dapat aku artikan. Angkutan semakin menjauh dari sekolah. Aku terpaku dipojokan dengan kecewa karena sosok itu tak terlihat. Aku bersenandung dalam hati selama perjalanan menuju rumah. Mengamati jalanan yang macet adalah makanan wajibku. Jakarta memang suram, namun aku sudah ditakdirkan tinggal di sini jadi harus menerima semua ini apa adanya.
 
***

“Gubrak” bunyi tasku cukup kencang saat menyentuh meja belajar. Aku melempar tubuhku keranjang. Bayangan wajah Ichsan masih melekat di benakku. Sepertinya bayangannya menggunakan lem paling mahal hingga bisa menempel sekuat ini. Perlahan mataku terpejam dan tenggelam dalam dunia mimpi.

“FAY…” suara yang memaksaku keluar dari dunia mimpi.
“Iya mah..” suaraku terdengar sangat berat, aku masih ngantuk!
“Cepat mandi, udah sore ini”
“Iya mah..”
Aku beranjak dari ranjang empukku. Berjalan lunglai dan meraih handuk kemudian bergegas ke kamar mandi.
“Papa kok belum pulang mah?” tanyaku selesai mandi.
“Tadi udah telfon, katanya ada rapat.”
Aku hanya terdiam.
“Gimana tadi di sekolah?”lanjutnya.
“Ya gitu mah, tadi langsung belajar kayak biasa” jawabku dan segera kabur ke kamar. Suara ribut mama di dapur terdengar sampai kamarku, haduh mama. Aku melirik HP dan meraihnya. Aku mengetik SMS untuk Deri. Aku ingin mencari info tentang Ichsan dari Deri. Deri ini adalah sahabatku, aku baru tahu tadi siang ternyata Deri teman Didi sejak SMP.  Aku memaksanya mencari info sedetail mungkin tentang Ichsan. Walau tidak kenal namun Deri tahu Ichsan, biasalah cowok. Mereka mudah sekali bergaul, aku cukup iri pada mereka. Deri cukup lama membalas sms ku, aku tidak sabar dan langsung menelponnya. “Serius lu suka sama Ichsan?” suaranya mengejutkan. Tumben Deri menyapaku seperti ini.
“Apa sih Der? Bikin kaget aja”
“hehe sorry deh Fay, gue kira lu sukanya cowok yang gantengnya kayak Kevin Aprillio”
“iihh beda kagum sama cinta, kalo ganteng udah pasti banyak yang suka. Gue males ahh. Mendingan Ichsan, dia lucu..”
lu suka yang lucu? Didi aja, gue lebih kenal.”
“aduh Deri… lu tuh kayak belum pernah jatuh cinta dehh.”
“iya iya.. malem-malem udah bawel deh”
“Usahain yaa, gue Cuma mau Ichsan”
gue Cuma mau lu
“hah? Mulai deh resenya ..”
“haha iya, yaelah ni anak ketus bgt sii. Pasti gue bantu kok”
Kata-kata Deri membuat aku tenang,  Deri memang sahabat yang bisa diandalkan. Pasti malam ini aku bisa tidur nyenyak..

***

Pagi kali ini aku memandang wajahku di cermin cukup lama. Aku merasa selama ini aku sangat berantakan sebagai perempuan. Rambutku yang biasa terurai, kali ini aku kuncir setengah. Yaa lumayan rapi lah buat ketemu Ichsan, hehe. Aku juga menggosok bajuku sendiri dan menggunakan parfum lebih banyak dari biasanya. Jatuh cinta itu membuat orang menjadi sangat sensitiv terhadap hal-hal kecil.

Aku bergegas ke meja makan dan menyantap masakan mama yang tak kalah lezat dengan masakan koki handal. Setelah selesai sarapan, aku menghampiri mama dan berpamitan. Mama menatapku dengan heran, aku hanya tersenyum lepas. Papa seperti biasa sedang asik minum teh di teras depan.
“papa ayo berangkat!” aku menarik tangan papa. Tanpa perlawanan papa pun masak ke dalam mobil dan melaju menuju sekolah.
“tumben kamu semangat berangkat sekolah..” papa mulai meledek.
“iya dong, kan aku belum ngerjain PR, hehe” jawabku asal.
“dasar kamu, inget ya Fay. Kamu udah kelas 3.” Wajah papa serius.
“iya pa, aku bercanda tau. Lagian baru hari kedua, belum ada PR pa..” jawabku.
Papa diam sepanjang perjalanan, sepertinya papa sangat khawatir dengan kelulusanku nanti. Aku pasti berusaha pa! kami berdua hanya diam dan terbawa dalam fikiran masing-masing. Suasana menjadi hening.

***

Sampai di sekolah, aku mencium tangan papa dan segera beranjak menuju kelas. Aku terkejut. Kelas masih sepi. Ya ampun Fay, ini benar-benar keajaiban, baru kali ini aku datang pagi. Aku tertawa sendiri dan segera duduk. Setelah sekitar 5 menit Riri datang dan tersenyum padaku. “Lu keliatan beda Fay” ucapnya dengan ramah. Aku hanya tersipu malu.
 Jam sudah menunjukkan jam 7, namun Ichsan belum juga datang. Pelajaran Bahasa Indonesia telah dimulai dan aku tidak konsen. Aku menunggu kehadiran sosok cowok tinggi itu. Namun sudah hampir setengah jam aku menunggu sosok itu.
“Selamat pagi Bu..”
Tiba-tiba terdengar suara cowok dengan nada kelelahan. Aku terkejut dan segera menatap ke arah pintu kelas. Ichsan!
“Pagi” jawab Ibu Wina. Ichsan segera masuk dan mencium tangan Ibu Wina.
“Kenapa kamu bisa terlambat ?” tanya Ibu Wina dengan lembutnya.
“Macet Bu” jawabnya masih kelelahan. Pasti dia lari sangat kencang tadi.
“ya sudah, duduk sana” perintah Ibu Wina.
Ichsan segera duduk dan mengatur nafasnya. Iya menengok ke arahku dan bibirnya bergerak mengatakan “ada minum ga?” aku terdiam dan menggeleng. Dia mencari-cari orang yang membawa minum dan akhirnya dapat. Aku sedikit lega.
“Fay?” tiba-tiba terdengar suara disampingku.
“iya, kenapa Ri?” jawabku heran.
Lu suka sama Ichsan ya?” tanyanya cepat. Aku sangat terkejut dan mukaku memerah.
“Riri apaan si? Kok nanya kayak gitu” jawabku sebisanya
“Jujur aja sama gue Fay..” Riri terlihat memakasa. Aku hanya diam. Maafkan aku Riri, ini belum saatnya kamu tahu. Aku masih belum siap, kenapa bisa aku seperti ini? Perasaan yang aneh, aku belum tahu sifat dia, belum tahu asal usulnya tapi dengan mudahnya aku merasakan desiran angin di hati ini saat melihatnya. Siapa yang bisa menolong aku?
Bel istirahat mengejutkanku dari lamunan panjang. Aku hanya duduk di kursiku.
“Bawa makan Fay?” tanya Riri. Aku menggeleng “lagi ga laper Ri, lu makan aja”.
Gue ga bawa makan, ini mau kekantin bareng Ika, mau ikut?” aku menggeleng dan mereka perlahan meninggalkan aku. Aku menaruh kepalaku di meja, memejamkan mata untuk menenangkan fikiran. Rasanya banyak benang kusut dikepalaku siang ini..
Tiba-tiba terasa ada yang duduk disampingku, aku fikir Riri. Namun terlalu cepat ia kembali, aku mengangkat kepalaku dan menatap orang disampingku. “DERI” ucapku lantang. Aku sangat terkejut, kenapa tiba-tiba ia ada di sampingku? Deri hanya tersenyum menjijikan. “Ngapain neng tiduran? Mau mimpiin Ichsan? haha” ledek Deri membuatku makin pusing. “Apaan si Der? Kok bisa ada di sini?” tanyaku ketus.
“Iseng, tadi liat Riri ke kantin tapi ga sama lu, jadi gue langsung ke sini aja. Tumben di kelas, kenapa?”
“Andai aja lu cewek, udah gue peluk lu Der!”
“Sekarang? Kenapa engga?” Deri membentangkan tangannya.
“Gila ah. Der, gue lagi pusing ni.. salah engga si kalo gue suka sama Ichsan?”
“Kenapa emang? Baru sadar dia engga ada bagusnya? haha”
“iih jahat banget sii, bukan gitu. Kayaknya kecepetan aja”
“Makanya, kalo mau suka sama cowok liat dulu semuanya, jangan maen asal demen”
“Deri, dia lucu. Beneran ni gue langsung suka banget”
“Dasar anak kecil, udah jangan kebanyakan mikir. Makan yuk..”
“Lagi engga laper Der, lu makan aja duluan”
“Ya udah terserah lu aja, gue ke kantin yaa”
Aku hanya mengangguk dan melihat Deri menjauh, dia baik banget deh. Semoga aku bisa membalas semua kebaikan dia. Meski kadang Deri ngeselin, namanya juga cowok beda sama cewek. Beberapa menit kemudian Deri menghampiri aku lagi sambil membawa roti.
“Ayo makan bareng..” teriaknya lantang. Aku terdiam.
“Udah makan aja sana, gue engga laper. Daritadi juga..” jawabku ketus
“Makan, kalo engga gue marah yaa”
Dengan terpaksa aku makan roti yang dia bawa. Dasar anak yang keras kepala. Kalo sampe beneran engga dimakan pasti rotinya dibuang sama Deri. Kami berdua makan roti bareng. Kalo orang yang engga kenal pasti mikirnya kita pacaran, haha.

***


*to be continue

Masa Sekolah (2)



Bel jam istirahat berbunyi. “Bawa bekal makan siang?” pertanyaan Riri mengejutkanku. Aku menggeleng. “Lu beli makan aja dulu dikantin, gue tunggu biar kita bisa makan bareng” Riri teman yang baik, aku tidak salah menerimanya sebagai teman satu mejaku.
“Udah lu makan aja duluan, gue juga masih bingung mau makan apa”
“Ya udah sana cepat ke kantin, nanti lu kelaperan loh..”

Aku mengangguk dan beranjak dari tempat dudukku. Sepanjang aku berjalan menuju kantin, banyak juga yang menyapaku. Bukan karena aku terkenal, tapi karena papa aku bekerja di sekolah ini. Dengan keberadaan papaku di sekolah juga yang membuatku cukup takut untuk PDKT dengan cowok-cowok. Karena pasti papaku tahu bagaimana bebet dan bobotnya. Sedikit merasa terpenjara, namun aku bukan termasuk cewek yang pengen buru-buru punya pacar, tapi kalo ada yang mau sih boleh aja. Hehe  

Setelah membeli makanan dikantin aku kembali ke kelasku. Aku terhenti di depan pintu. Deg! Cowok itu lagi, kenapa dia di depan pintu kelas sih? Aku memutar otak agar dapat masuk kelas tanpa gemetar. Ada cowok yang menghampiriku, tapi itu bukan dia. Aku terdiam menunggunya sampai tepat di hadapanku. “Hai Fay, kenapa diem aja dari tadi?” sapa cowok itu, garing!
“Kok lu tahu nama gue sih?”
“Yaiyalah, anaknya Pak Lian siapa yang ngga tau?”
“Oh karena papa lagi, huh.. udah ah gue mau masuk kelas”
Langkahku pasti namun terhenti begitu melihat cowok yang…
“Santai aja Fay, dia emang suka iseng” cowok itu berbicara padaku, oh. Tunggu. Tadi dia juga menyebut namaku, ya ampun. Aku mengatur nafas perlahan. “Siapa sih dia?’ sepertinya aku sedikit gemetar. “Namanya Didi, dia udah biasa jahil kayak gitu. Gue juga jadi ketularan” dia tertawa, aku pun tertawa sebisanya. “Lu liat sendiri kan tadi. Nama gue Ichsan” oh Tuhan, dia memperkenalkan namanya, yang sejak tadi pagi aku inginkan. “Gue Fay” ada getaran halus disetiap sudut hatiku. Rasanya aku ingin pingsan.
“Udah tahu, lu kan cukup terkenal, hehe” Deg! Ah senyumnya, aku tak dapat berkutik.
“Yang disebelah lu siapa namanya?” lanjutnya lagi. Aku terkejut, aku fikir dia tidak akan berbicara lagi. “Riri” jawabanku sangat singkat. Aku tersenyum padanya, yeah pada Ichsan. Ichsan tidak lagi tersenyum padaku, ia berjalan ke arah Didi dan menuju kantin. Aku berlagak cuek dan berjalan memasuki kelas lalu duduk disebelah Riri.

Lu ngapain tadi di depan?” suara Riri agak beda. Raut wajahnya menunjukkan sedikit amarah. Matanya menyipit seperti ingin membidik sesuatu.
“Cuma kenalan, mereka Cuma anak usil Ri, tadi juga nanyain nama lu kok” jawabku pelan. Semoga Riri tidak membenci mereka, terutama Ichsan. Kalau aku jadi Riri mungkin juga sedikit kesal, tapi aku yakin nanti Riri akan membaik. Riri terlihat seperti anak yang baik, hanya saja dia sering diam dan mungkin mencintai HPnya. Aku cukup nyaman duduk disampingnya, dia pintar dan ini cukup membantuku lebih serius untuk belajar. Materi palajaran IPA banyak yang aku tidak mengerti, sulit dipelajari. Namun disinilah aku, aku harus lulus. Demi papa. Demi harga diri keluarga. Karena papa pasti akan malu jika anaknya tidak lulus SMA.

***

 “Kerjakan soal yang ada pada buku paket kalian, hitung dengan benar” suaranya lantang, membuyarkan lamunanku. Matematika, soal mudah pun terasa berat dipundakku. Badanku seperti tak bertulang dan mataku kunang-kunang. Aku memang tidak layak berada di jurusan ini. “Riri, lu ngerti soal-soal ini?” suaraku lemas sekali. Riri pasti menganggapku sangat malas, memang. “Gue coba dulu ya Fay, nanti gue bantu kok” mukanya serius, aku tersenyum lalu meletakkan kepalaku diatas meja. Wajahku menghadap kearah.. Ichsan. Wajahnya sungguh sejuk, angin semilir berhembus di hatiku. Deg! Ichsan menatapku, aku terpaku. Mulut mungilnya bergerak mengatakan “Kenapa?” tanpa suara. Aku tersenyum. Dia pun tersenyum. Deg! Lagi-lagi jantungku ini, rasanya ingin terbang bersamanya. Tanpa aku sadari, mataku tetap memandangnya. Dia tersenyum. “Riri, kerjain yang bener ya! Ntar gue liat, hehe” suaranya lantang, aku terkejut sampai bangun dari posisiku tadi. “Dasar, kerjain dulu sana” kata Riri ketus namun bersahabat. Aku cukup lega. Aku melirik ke Ichsan, dia tersenyum lalu malihat buku matematikanya lagi. Riri sudah memberikan lampu hijau pada Ichsan, semoga ini berlanjut untuk seterusnya. Supaya aku dan Ichsan bisa lebih dekat.

***

*to be continue