Wednesday, November 6, 2013

SORE



            Pandangan mataku tertutup embun yang membasahi kaca mobil. Hujan lebat sore ini amat sangat tidak terprediksi. Jalanan ibu kota tersendat habis-habisan. Hening dan dinginnya, membuatku memutar memori 10 tahun lampau...

*** 

            Aku dan seorang lelaki berambut lurus duduk berhadapan tanpa suara. Hati kami sedang tidak baik. Air mata hanya tinggal menunggu waktu untuk membasahi suasana malam ini. “Mama tetep sama prinsipnya” satu kalimat pembuka dari mulut lelaki berambut lurus dihadapanku. Sigap mataku melirik jemarinya yang sedikit gemetar. Aku tetap diam. Banyak kata yang ingin sekali meluncur dari bibirku, namun segan. 

            “Nya.. maafin aku” setengah jam waktu lelaki berambut lurus dihadapanku mengatakannya. Panggilan yang sudah 4 tahun aku sandang sebagai panggilan sayang darinya, Nyonya. “Kamu salah apa, Tuan?” Gemetar. Suaraku hampir tak terdengar olehnya. Beruntunglah lelaki yang selama 4 tahun aku panggil Tuan memiliki pendengaran yang baik. Amat sangat baik.

            “Aku harus pergi. Ini berat. Kamu tahu, bukan Cuma kamu yang sakit. Aku juga, Nya. Aku sakit.” Suaranya parau. Aku lamat menatap wajahnya. Meastikan ia tidak meneteskan air mata sedikitpun. Jika lelaki dihadapanku menangis, hancur sudah hidupku. Dia adalah segalanya. Segalanya yang tidak akan pernah terganti.

            Setengah jam berlalu kami lewati hanya dengan sesekali saling pandang. “Tuan boleh pergi. Nyonya ikhlas.” Ucapan dibibir yang sama sekali tidak sama dengan ucapan hati. Andai saja aku boleh berteriak, aku ingin memintanya kembali. Aku ingin Tuan-ku tetap disisiku, selamanya.

            Lelaki berambut lurus itu tetap diam. Ia menatapku tajam. Bola matanya berair. Sedang mataku sudah basah. Isakanku memenuhi suasana malam ini. Isakan yang terhenti tanpa sedikitpun disentuh oleh lelaki dihadapanku. Ini pertama kalinya ia membiarkan aku menangis terisak, sendiri. “Terima kasih.” Punggungnya perlahan menjauh. Isakku kembali. Namun ia tidak pernah kembali.

*** 

            Suara klakson membuyarkan lamunanku. Hujan mulai beranjak pergi. Aku membelokkan mobil ke sebuah resto dibilangan Jakarta Timur. Aku datang sedikit terlambat namun ternyata orang yang ingin ku temui belum juga datang. Aku duduk disalah satu sudut ruangan, memesan minuman untuk menunggunya. Lima belas menit waktuku menunggu sampai aku melihat sosok yang amat sangat aku rindukan. Lelaki berambut lurus dengan model rambutnya yang lebih dewasa daripada terakhir kali aku melihatnya. “Hai, sudah lama?” sapa lelaki itu sambil menyalamiku. Tanganku gemetar. “Lumayan” jawabku singkat.

            “Kamu naik apa tadi?” suaranya terdengar tegas. “Bawa mobil, kamu baru pulang kerja?” aku mencoba menimpali. “Siang udah balik sih, tadi anter istri dulu ke salon. Usaha sampingan..” suaranya mengecil. Aku tak berani menatap wajahnya, meski aku amat rindu. “Suami kamu apa kabar?” suaranya terdengar ragu-ragu. “Baik” jawabku singkat. Dua jam kami habiskan dengan membicarakan banyak hal, meski aku hanya mampu menatapnya sesekali. 

            “Eh, udah magrib. Kamu ngga sembahyang?” pertanyaan lelaki rambut lurus itu mengejutkanku. “Hmm.. iya nih mau magriban. Sekalian pulang aja kali ya, ngga enak nanti kamu kelamaan nunggu aku sholat” aku berusaha bertoleransi. Lelaki berambut lurus dihadapanku tersenyum, dengan senyum yang sama. “Ya udah yuk, kebetulan musholanya deket parkiran. Aku anter kamu sekalian.” Kami berjalan beriringan. Ia menggandeng tanganku. Rasa nyaman itu masih ada, namun keyakinan telah memisahkan kita.

END

nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)