Tuesday, May 28, 2013

Rindu masa kecil


Wanita itu memang rumit. Terkadang sulit sekali berkata-kata, walau hanya satu kata rindu. Jam dinding berdetak dengan cepat namun hati Aisya seperti berhenti di satu titik. Masa kanak-kanak.

*** 

          “Mah, aku mau kerumah eyang deh” kata Aisya tiba-tiba. Mama memberhentikan gerakan senamnya. “Tumben, mau ngapain kamu?” tanya mama sambil mengambil air es di meja. “Pengen refreshing aja mah” jawab Aisya singkat, mama melanjutkan senamnya.

          Seminggu setelah permintaan Aisya, mereka sekeluarga segera pergi kerumah eyang di daerah Solo. Kebetulan mereka memang jarang pulang karena kesibukan. Aisya sangat tidak sabar untuk bertemu eyang dan Rani teman semasa kecilnya. “Kamu masih inget Bu Leli ngga sya?” pertanyaan mama membuat hati Aisya semakin rindu. “Jelas inget dong, itukan mamanya Rani” jawab Aisya dengan sangat semangat.

          “Oalah cucu-ku wes gede” suara eyang segera disambut dengan pelukan erat Aisya. Aisya sangat merindukan eyangnya yang sudah lama sekali tidak ia temui. Mereka segera masuk kedalam rumah eyang, merebahkan badan yang lelah. Mama dan eyang ngobrol banyak, sedangkan Aisya hanya terdiam dan mengamati sekitar rumah yang sangat ia rindukan. Bayangan masa kecilnya satu per satu berdatangan dalam kenangan yang sangat indah.

          “eyang, rumahnya Rani masih sama kan? Dia ngga pindah kan?” tanya Aisya memotong percakapan eyang dengan mama. Mama dan eyang malah tertawa mendengar pertanyaan Aisya dan ekspresi wajahnya. “Iya nduk, sana main kerumahnya Rani” jawab eyang setelah puas tertawa. Aisya segera bergegas menuju rumah Rani, ia sudah teramat rindu dengan sahabat kecilnya itu.

          “Aisya? Aku ngga salah liat tho?” Rani terkejut melihat penampakan Aisya di depan rumahnya. Aisya malah berlari dan memeluk erat tubuh sahabatnya itu. Mereka sama-sama saling menghilangkan kangen yang sudah lama terpupuk. “Rani, kamu kok jadi cantik sih? ahahhaa” Aisya tertawa puas dan haru. “Walah emang kamu doang tho yang boleh cantik? haha” Rani ikut tertawa dan mereka berbincang tentantang banyak hal.

          “Kamu kangen sama aku tapi kamu inget si Radit ngga? hihi” Rani mulai geli mengingat kejadian waktu kecil. “Radit siapa ya Ran?” jawab Aisya bingung. “Walah masa kamu lupa, yang dulu ngejar-ngejar kamu itu loh” Rani semakin geli mengingat wajah Aisya dulu yang sebel sekali setiap Radit ngajak main bareng dan menggoda Aisya terus. “Astaga, masih idup tuh anak? Haha iya inget” jawab Aisya sambil tertawa bahagia. Radit dimata Aisya memang tidak ada apa-apanya. Radit itu dulu kecil, Aisya kan tinggi jadi males main sama Radit. Namun Radit selalu saja mendekati Aisya dan menggoda terus.

          “Radit” panggil Rani ketika melihat Radit berjalan di taman. Langkah kaki Rani dan Aisya-pun terpaksa berhenti karena melihat sosok yang dibicarakan sejak tadi justru muncul disaat yang tepat. “Rani, eh iki sopo tho?” tanya Radit masih dengan intonasi yang sama. Sementara Aisya malah hanya terdiam tak bergerak satu inci-pun. “Sok ngga kenal, ini Aisya tho” jawab Rani gemes. Aisya masih terpaku, Radit searang sudah tinggi sekali bahkan Aisya jadi lebih pendek darinya. Aisya juga melihat Radit yang sekarang berbeda dengan Radit yang dulu. Radit yang sekarang lebih tampan dan terlihat dewasa. “hehehe abis Aisya diem aja, lupa sama aku ya?” Radit seperti biasa saja bertemu aisya, walau wajahnya sudah bersemu merah. Aisya hanya tersenyum manis.

          Mereka membicarakan banyak hal, masa kecil memang selalu menyenangkan jika diingkat ketika sudah dewasa. “Aisya kuliah dimana sekarang?” tanya Radit mencoba mengajak Aisya berbicara banyak, karena adari tadi Aisya lebih banyak diam. “di UI dit, Radit dimana?” tanya Aisya mencoba biasa. “Aku UNS aja sama kayak Rani, nyari yang deket biar bisa bantu ibu tho” jawab Radit sambil terus bertatap mata dengan Aisya. “Wah kalian ini sekarang cocok loh, dulu berantem terus kan sekarang malah akur. Ganteng sama cantik juga” Rani mulai menggoda mereka berdua. Mereka berdua hanya diam dan tersenyum simpul.

          “Udah dit bilang aja kalo kamu masih nungguin Aisya ampe sekarang” Rani semakin menjadi. Aisya dan Radit menatap tanya pada Rani. “Iya Asya, dia tuh ngga pernah pacaran loh. Dia selalu bilang sama aku kalo dia maunya sama kamu aja” Rani mulai serius. Aisya sangat amat terkejut. “Masa segitunya sih?” aisya benar-benar heran. “Iya Aisya, aku emang nungguin kamu” jawab Radit singkat dan jelas.

END

nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Saturday, May 25, 2013

Kembang api


            November datang lagi, tanpa undangan tanpa ajakan. Harapan baru segeralah dibuat, agar tak terulang kesalahan dulu yang sudah telat. Mataku mulai berkeliling meratapi halaman rumah sakit yang terlihat sibuk. Sayangnya aku tak suka berbicara, aku lebih senang melihat dan merasakannya sendiri.

            Sosok berbaju putih itu mendekatiku, selalu sehari tiga kali dia menghampiriku dan mengajakku mengobrol yang sama sekali aku tidak paham. Aku selalu diam dan diam namun ia selalu saja bercerita, tentang apa saja. Setiap cerita ia selalu mengakhirinya dengan memaksaku makan dan meminum banyak pil pil warna warni yang amat sangat pahit. Andaikan saja ada wadah untuk berkeluh kesah tentang ketidaknyamanan hidup, aku ingin berteriak atas apa yang aku rasakan.

            Wanita berbaju putih itu pergi setelah menyiksaku dengan makanan hambar dan pil pahit. Aku kembali mengamati halaman yang di penuhi orang-orang yang sedang berusaha bahagia. Mereka bernyanyi. Mereka menari. Mereka bermain bersama. Mereka seperti tidak tersiksa sepertiku. Andaikan saja aku bisa bahagia seperti mereka. 

            Aku sering menghabiskan waktuku sendiri, berdiam diri. Banyak yang menghampiriku, mengajakku tertawa dan menari. Aku selalu menolak, karena aku tahu mereka sebenarnya tidak sebahagia itu. Aku tahu mereka tersiksa juga seperti aku. Mereka juga merasakan rindu yang sama seperti yang aku rasakan.

            “Hei Rara, lagi apa kamu?” suara lelaki itu lagi. Lelaki yang selalu berusaha tersenyum di depanku. Aku sering melihatnya menangis ketika berbicara dengan wanita berbaju putih yang suka menyiksaku itu. Aku menatap wajahnya lekat. Wajahnya tampak lelah. Ia hampir setiap sabtu datang hanya untuk menemaniku. Sering aku pukul dia, aku jambak rambutnya agar ia segera pergi namun ia tetap saja tinggal. Aku sama sekali tidak mengenal siapa dia, tapi wajahnya seperti terpancar ketulusan.

            “Ra, tadi aku baru gajian. Kamu mau aku kasih apa?” ia bertanya. Entah bertanya kepada siapa karena aku tidak pernah menjawab setiap pertanyaannya. Ia-pun segera menjawab sendiri setiap pertanyaan yang ia berikan kepadaku. “Oh ya, kamu suka kembang api kan ya? Nanti kita beli yaa” jawabnya dengan senyum yang selalu sama. 

            Langit sudah mulai menghitam, hawa dingin seperti menusuk-nusuk kulit. Aku berdiri dan meninggalkan lelaki yang sedari tadi bercerita di sampingku. Ketika langkahku mulai banyak, hawa hangat menempel di telapak tanganku. Ia menggenggam tanganku. Menahanku untuk tetap tinggal. “Ra, kamu mau kemana?” ucapnya lembut. Sorot matanya memancarkan ketulusan yang sangat dalam. Aku menghempaskan tangannya. Aku berlari menuju kamar. Di dalam kamar aku melihat anak kecil sedang tertidur pulas. Aku memeluknya erat, mencoba menghangatkan tubuhnya dari hawa dingin.

            Setengah jam aku berbaring, wanita berbaju putih itu terus menerus mengawasiku. wanita itu kini tidak sendiri, lelaki yang sedari tadi menghilang kini kembali. Ia mendekatiku dan menarikku keluar. Aku sama sekali tidak menolaknya lagi. Ia berjalan tanpa bersuara sampai tiba di halaman. 

            “Ra, aku sayang sama kamu” ucap lelaki itu sambil menuntunku duduk di besi dingin akibat embun malam. Aku terdiam, menikmati halaman yang sepi dan tenang. Lelaki itu mengambil sebuah kotak dan mengeluarkannya. Ia terlihat bersemangat, membuka kotak dan menaruhnya sekitar 5 meter dari kami kemudian menyalakan korek dan ia berlari kearahku. 

“DAR.... DAR...”

            Suara ledakan itu menejutkanku. Terlihat benda yang ia letakkan menyala dan menyembul keatas. Itu kembang api! Ketika dia menolak gravitasi dan memencar disana, aku tersenyum melihatnya. Aku tersenyum dan merasa sangat nyaman melihat api-api itu menari di udara. Senyumku seolah tak bisa berhenti.

            “Ra, kamu cukup tersenyum saja sudah mampu membungakan duniaku :)” lelaki itu terus menerus menatapku. Entah kenapa aku merasa senang dan menangkap rasa yang ia kirimkan dari ucapannya barusan. Ia memelukku dan mencoba menghangatkanku. 

*** 

“Sus, pasien 405 masih suka ngamuk?”
“Udah jarang, gue salut banget deh sama suaminya. Sabar banget. Sekarang lagi malam mingguan tuh mereka di halaman. Pasien itu sekarang lebih seneng diem, dikamar juga meluk guling terus. Dikira guling itu anaknya yang meninggal kali”
“Yah namanya juga sakit jiwa, suka aneh-aneh. Ya udah gue pamit yaa sus. Semangat jaga malemnyaa”

END
           
nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)

Thursday, May 23, 2013

Makhluk berjakun


          Makhluk berjakun itu adalah makhluk paling random. Beberapa kali menjalin hubungan dengan mereka sangat menguras hati. Semua pengalaman ini seperti membukit trauma yang mendalam. Sementara itu, aku memiliki sahabat berjakun yang supel melebihi sahabat wanita yang aku punya.

          “Wey mba bro, bengong aja lu. Mikirin gue ya?” suara cempreng khas Rudi selalu terdengar menyenangkan dan menghibur. “Iyee mikirin lu, makin jelek aja. haha” jawabku sambil mengacak-acak rambut gimbalnya. “Weits, jelek juga di kangenin mba bro. haha” kami tertawa bersama. Selalu saja menyenangkan jika berkumpul dengan dia. Rasanya Rudi ingin aku bawa pulang dan aku jadikan pajangan di kamar.

          Belakangan aku mulai malas kalau Rudi menanyakan status single yang masih melekat sudah lumayan lama, dia selalu saja berusaha mencarikan lelaki yang pas. Entah kenapa semua terasa menjenuhkan. Kebiasaanku sekarang adalah menanyakan status Rudi yang katanya lagi naksir cewek tapi belum berani bilang. “Mana Rud? Lu mah curhat doang kaga di jadiin ceweknya. Kan lumayan nanti kita bisa kumpul bertiga, haha” aku selalu senang meledek Rudi sambil memainkan rambut gimbalnya. “Ah belum saatnya Nez, lu dulu lah” jawab Rudi sebisanya. “Ah males gue kan, cowok jaman sekarang tuh kalo ngga selingkuh ya matre. Capek ah makan hati” ucapku dengan lemas, teringat mantan-mantan yang berkhianat dengan manis di belakangku.

          “Mba bro, liat cowok pake jaket ijo itu deh. Denger-denger dia naksir lu” Rudi mencoba mengalihkan. “Oh ya? Ah bukan tipe gue badan kotak-kotak gitu. Serem.” Jawabku. “Wah payah lu, keren tau” Rudi semakin memojokkan. Aku hanya diam dan tidak semangat untuk melanjutkan pembicaraan. Sialnya lelaki berjaket ijo itu pun benar saja menghampiri kita berdua. “Hai, Nezia ya?” suara lelaki itu terdengar sangat ngebass, memengkakkan telinga. Aku hanya tersenyum tipis. 

          Lelaki itu mencoba bergabung dan ngobrol bareng dengan aku dan Rudi. Bagusnya Rudi lebih sering menanggapi sehingga aku tidak terlalu kehabisan tenaga untuk meladeni. “Nez, aku suka liat karya kamu di blog jurusan. Keren banget loh” lelaki itu mulai menunjukkan sinyal-sinyal. “makasih” jawabku singkat. “hahaha iya mas bro, Nez emang keren. Makanya gayanya sok jual mahal gitu. haahaa” suara Rudi terdengar meledek. Andai saja tidak ada lelaki asing itu pasti sudah aku tarik rambut gimbalnya.

          Setelah berjuang selama satu jam akhirnya lelaki itu menyerah, ia pamit degan alasan ada kuliah. Sepertinya dia lupa kalau ini hari ulang tahun kampus, mana ada jam kuliah?

          “Sadis lu mba bro, cowok kece dan perhatian kayak gitu lu cuekin” Rudi masih saja membahas hal yang sudah membuatku mual-mual. “Lu tau trauma ngga sih? Paling ujung-ujungnya dia selingkuh, udah capek ah gue” jawabku ketus. Sudah tidak bersemangat.

          “Nez, lu beneran udah trauma? Trus lu mau ampe kapan kayak gini? Kalau ada cowok yang nungguin lu gimana?” wajah Rudi berubah serius. “Nantinya pasti ada titik dimana gue dapetin cowok yang gue mau lah Rud. Santai aja, toh gue ngga nyakitin orang” aku mendaratkan kepalaku di bahu Rudi. Kami terdiam. “Nez, kalo cewek yang gue ceritain selama ini itu lu, gimana?” tanya Rudi membuat mataku seperti terkena sambal, perih. 

          Aku mengambil tas ransel dan topi kesayanganku kemudian pergi meninggalkan situasi yang membuatku semakin mual.

END



nb: cerita ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, karakter, dan lokasi itu hanya kebetulan. Enjoy reading :)